TIKTOK DAN KELELAHAN BADAN (TikTok itu sangat membuat otak capek, dan lama-lama ke tubuh secara umum)

TIKTOK DAN KELELAHAN BADAN
(TikTok itu sangat membuat otak capek, dan lama-lama ke tubuh secara umum)


Oleh: Doni Febriando*

Tulisan ini saya sengaja tulis untuk dibaca istri saya. Dan saya niatkan untuk siapa saja yang mengalami hal serupa.

Semoga jadi amal jariyah, aamiin...

Beberapa hari ini istri saya mengeluh kurang enak badan, terutama jadi sulit berkonsentrasi. Saya pribadi kaget. Selama satu minggu lebih aktivitas mudik kami jauh lebih padat merayap, bahkan berkali-kali pindah kota, tapi istri saya sehat-sehat saja.

Tapi, beberapa hari ini yang kegiatannya turun dratis bahkan sering di dalam rumah, istri saya malah mengeluh kurang enak badan. Setelah mengamati kondisi kami yang berbeda, saya jadi kepikiran apa perbedaan besar di antara kami, dan saya menaruh curiga pada aplikasi TikTok.

Sejujurnya saya sudah lama mewaspadai aplikasi TikTok. Saya mulai mencurigainya ketika saya mulai mengamati perubahan diri saya sendiri. Dulu, sewaktu sering-seringnya berselancar TikTok, saya sering mengalami letih lemas lunglai pada malam harinya. Sering tiba-tiba merasa ingin segera ganti hari lagi agar fresh.

Lalu, saya mulai berpikir, apa yang membedakan TikTok dengan Youtube?

Ternyata jawabannya sederhana yakni TEMPO VIDEO.

Sebenarnya otak melepaskan neurotransmitter dopamine juga ketika menonton Youtube seperti kita menonton TikTok.

Aliran dopamin membuat seseorang menginginkan lebih, lebih, lebih, itu aslinya tidak terbatas saat kita menyimak video. Saat kita membaca buku, membaca komik, atau makan permen sekalipun sebenarnya ada juga.

Tapi, ini buruknya TikTok, karena aplikasi TikTok itu konsepnya adalah video 1-3 menit, otomatis hampirrr semua tiktoker memakai fitur mode percepat. Pendapat saya pribadi, fitur speed 0.7x itulah yang mengakibatkan otak manusia jadi tidak normal setelah bermain TikTok, dan bisa rusak kalau bertahun-tahun seperti itu.

Begini...

Misal ada A ingin FYP di TikTok. Maka, dia harus membuat konten semenarik mungkin, dan biasanya dia akan mengaktifkan fitur speed 0.7x itu. Mengapa? Agar konten yang sebenarnya butuh waktu bicara 5 menit bisa tersampaikan dalam waktu 3 menit.

Sekarang bayangkan otak kita adalah anak kecil dan Tiktok adalah bubur sereal.

Hanya dengan menggeser jempol tangan, sudah ganti video yang sangat menarik, dan tentunya itu adalah informasi baru.

Jadi, bayangkan bila otak kamu yang masih kelelahan memproses informasi sebelumnya, tiba-tiba otakmu dipaksa oleh jari jempolmu untuk mengolah informasi yang baru lagi. Seperti anak kecil yang disuapi bubur sereal terus-menerus padahal belum selesai mengunyah.

Ini bukan artikel ilmiah, meskipun saya mengutip Wall Street Journal, bahwa TikTok di US sana dijuluki "toko permen", yang saya persingkat di sini maksudnya adalah mesin dopamin yang memperpendek rentang kinerja otak.

Selain itu karena saya mengaitkan TikTok dengan ilmu tasawuf sekalian. Guru saya, Kyai saya, pernah ngomong sesuatu yang sulit dimengerti, "Sebenarnya kekurangan-kekurangan di diri manusia itu anugerah dari Allah. Bayangkan jika kuping manusia bisa mendengar frekuensi suara seperti kuping hewan. Pasti peradaban manusia akan cepat hilang karena semua orang bisa mendengar tetangganya sedang mengghibah dan memfitnah dirinya dari radius 1 kilometer."

Hubungannya dengan TikTok?

Saya pernah berpikir kenapa manusia didesain Allah SWT berkomunikasi dengan mulut. Kenapa tidak pakai gelombang transmisi saja? Menurut saya, jauh lebih praktis dan jauh lebih cepat.

Misal umat manusia diciptakan Allah SWT tidak punya mulut tapi diberi tanduk semacam buat antena.

Singkatnya, berarti kecepatan otak manusia didesain Allah SWT untuk kompatibel dengan kecepatan mulut manusia, bukan dengan "bahasa patah-patah yang sangat cepat". Itulah sebabnya saya melarang istri saya main TikTok lebih dari 1 jam.

Bukan soal candunya, tapi soal tidak realistisnya.

Saya amati kebanyakan video yang FYP di TikTok sudah melalui edikit video, makanya kata-kata yang diucapkan terdengar patah-patah, kayak bisa nyerocos tanpa sempat mengambil nafas.

Saya bukan Youtuber, saya juga bukan TikToker, tapi saya rasa Youtube lebih manusiawi karena konsepnya video 10-30 menit. Jadi lebih manusiawi dan lebih realistis. Ada salam pembukanya dan salam penutupnya. Pembawa acaranya pun ada waktu diam dan ambegane.

Membaca buku apalagi...

Kalau teknik penulisan buku itu ada aturan jelasnya, dan sudah sangat teruji, karena umur peradaban buku sudah ribuan tahun. Tidak mungkin patah-patah kayak TikTok, yakni ujug-ujug kesimpulan, dan lembar berikutnya membahas hal lain.

TikTok itu sangat membuat otak capek, dan lama-lama ke tubuh secara umum, kalau matengin lebih dari 1 jam menurutku. Soalnya setelah kita nonton video tentang ceramah Gus Jakfar, begitu geser jempol, otak kita langsung disuguhi video artis hijrah yang suka selingkuh, lalu geser jempol lagi, otak kita disuguhi video lain lagi soal pengalaman mistis di gunung.

3 materi yang jauh berbeda disajikan dalam waktu kurang dari 10 menit lho. Bayangkan capeknya otak anda.

Di dunia buku tidak mungkin seperti itu. Bab 1 membahas persahabatan Once dan Ahmad Dhani, tiba-tiba Bab 2 membahas misteri gedung tua di Kota Semarang, lalu Bab 3 membahas cara membuat pupuk organik. Dst. Tidak mungkin ada isi buku sekacau itu.

Opo suwe-suwe ora kopyor dolanan TikTok?

Itulah kenapa tidak ada penonton Drakor yang pusing setelah maraton nonton Drakor 8 jam sekalipun. Rasakan bedanya kalau 5 jam saja matengin TikTok. 5 jam saja... Pasti rasanya drop.

(fb penulis)

Baca juga :