ADIAN TURUN GUNUNG

ADIAN TURUN GUNUNG

(Utas By @Leonita_Lestari)

Dan benar, Jokowi dan keluarganya pun kini seperti mulai disasar. Dalam tulisan panjang dan lebar, Adian Napitupulu terlihat seperti sedang mencari celah pada narasi seolah keluarga itu lupa kacang akan kulitnya.

Ini tentu sungguh menyakitkan bagi pendukung Jokowi. Dan saya adalah salah satunya. Dan maka penting bagi saya meng-counter tulisan itu. Tendensius narasi seolah Jokowi seperti makna kacang lupa akan kulitnya itu harus diluruskan. Itu tidak benar dan jauh dari fakta yang ada.

Bisa dibilang, konstruksi berpikir Adian ini kacau. Seseorang bisa jadi Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota, di matanya semata hanya adalah hadiah atau pengasihan belaka, jelas sesat pikir.

Itu seperti barang jadi, barang yang sudah ada bentuknya sebagai pemberian dari langit dan narsis rasa bahwa partai seolah digambarkan sebagai penghuni langit, itu kini diungkap tanpa malu.

Dia membutakan diri bahwa Pilkada dan Pilpres pada hakekatnya adalah arena pertempuran. Menurunkan jenderal terbaik sebagai Panglima perang dengan target MENANG jelas bicara kualifikasi si jenderal bukan semata - mata alat tempur yang disediakan.

Jokowi mendapat suara 55% pada pilpres 2019 dan partai (PDIP) hanya 20% misalnya, sangat jelas bicara kualifikasinya sebagai seorang capres. Itu bukti yang sulit untuk bisa dibantah.

Meski panjang cerita di balik komponen suara yang masuk, fakta bahwa Jokowi memang diinginkan oleh rakyat, itu nyata. Partai pengusung menjadi satu - satunya penyebab bagi mayoritas rakyat memilih, itu masih butuh banyak bukti dan debat panjang.

Dan maka, gak perlu kita bicara seandainya Jokowi saat itu dibawa oleh Golkar, PPP atau Gerindra akan tetap menang atau kalah. Meski memiliki relevansi, debat itu akan panjang dan membuat bias tulisan ini.

Pun pada Gibran atau Bobby menantunya yang turut disebut dalam 7 kemenangan oleh Adian, narsis banget kalau itu seolah hanya karena mesin Partai. Jokowi yang sangat fenomenal, pada faktanya memang mampu membawa coattail effect pada partai, apalagi pada anak dan menantunya. Itu logika PALING SEDERHANA.

Gibran dan Bobby dijadikan panglima perang pada pilkada Solo dan Medan, itu jelas karena hitung - hitungan politik sederhana bahwa potensi menangnya sangat besar karena masuknya unsur nama besar Bapaknya.

Tanpa hitung - hitungan itu, mustahil partai akan menjadikan keduanya panglima perang dua laga pilkada Solo dan Medan. Itu jauh dari makna pemberian dari partai sebagai bukti bahwa partai sudah baik hati, santun dan penuh pengertian.

Dan lalu semua kebaikannya di masa lalu itu diungkit dan diminta balik sebagai silih atas sikap Jokowi yang masih belum benderang berpihak pada pilihan partai hari ini.

"Tapi mosok politisi senior macam Adian selugu itu?"

Dia tak selugu dan sekacau itu jalan pikirannya. Dia hanya sedang menjalani peran dalam cerita ini. Bahwa dia ditampilkan justru pada sesi pembuka, itu mencerminkan jenis permainan yang kelak akan dijalankan.

Dalam benakku, ini baru hanya sebagai permulaan. Seperti prolog, seperti overture dalam opera, mereka (PDIP) hanya sedang memperkenalkan warna. Layaknya sebuah drama harus sudah dipentaskan, mustahil mereka tak sudah punya rencana lain bila prolog ini tak ditanggapi.

👇👇
Baca juga :