Tragedi Besar Akibat Suporter Tak Siap Kalah dan Polisi Represif

Tragedi Besar Akibat Suporter Tak Siap Kalah dan Polisi Represif

Oleh Asyari Usman

Kita semua beduka. Sebanyak 127 orang (data resmi terbaru: 174 orang) meninggal dunia dalam kerusuhan usai pertandingan Arema Malang lawan Persebaya Surabaya di stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, 1 Oktober 2022 malam. Arema kalah 2-3 dari Persebaya.

Korban nyawa yang tidak perlu terjadi. Kerusuhan ini semata-mata disebabkan oleh para supporter hooliganis yang tidak siap menerima kekalahan klub mereka. Hampir pasti, inilah penyebab tunggal kerusuhan yang sangat memalukan itu.

Berbagai laporan dan rekaman video menunjukan sejumlah supporter Arema, yang dikenal dengan julukan Aremania, langsung melompat ke lapangan seusai pertandingan. Mereka mengejar para pemain Persebaya. Ini jelas memperlihatkan bahwa mereka tidak terima kekalahan.

Arogansi supporter Arema. Tidak ada lain. Aremania merasa Arema tidak boleh kalah. Dunia sepakbola, atau dunia olahraga pada umumnya, adalah ajang kontestasi yang tidak mungkin didominasi secara permanen. Rekor juara bisa saja dipegang bertahun-tahun, tetapi tidak mungkin melawan kodrat alami bahwa kehebatan akan berpindah ke individu atau tim lain.

Seperti disebut terdahulu, penyebab kerusuhan Kanjuruhan adalah sejumlah supporter yang tak rela menerima kekalahan. Bagaimana dengan penyebab kematian yang begitu banyak?

Aspek ini perlu didalami dengan serius. Besar kemungkinan tindakan pihak keamanan dalam mengendalikan kerusuhan itu menyebabkan banyak korban nyawa. Sejumlah pihak meyakini penggunaan gas air mata oleh Polisi menyebabkan situasi sangat kacau.

Bukti-bukti foto dan video menunjukkan gas air mata disemprotkan di dalam stadion. Tindakan ini memicu kepanikan. Kepanikan memicu “movement” (hamburan) orang yang tak beraturan. Pada gilirannya, “movement” yang kacau itu menyebabkan banyak orang yang terinjak-injak. Sebagian mereka diduga meninggal akibat terinjak-injak (stampede) itu.

Gas air mata membuat penonton pertandingan mengalami pedih mata dan sesak napas. Kondisi ini membuat hamburan mereka untuk menyelamatkan diri tak terkendali.

Di lain sisi, banyak penonton yang tidak sigap menyelamatkan diri. Khususnya mereka yang menonton bersama keluarga. Bahkan bersama anak yang masih kecil. Stadion Kanjuruhan disebut sebagai arena bagi keluarga untuk menikmati hiburan sepakbola.

Diperkirakan, keluarga-keluarga yang berada di stadion tidak mungkin melakukan gerak cepat. Ada laporan, suami-istri tewas terinjak-injak sementara anaknya yang masih kelas 5 SD selamat.

Penggunaan gas air mata sebetulnya dilarang oleh Asosiasi Federasi Sepaknola Internasional (FIFA). Juga penggunaan senjata api, tidak diperbolehkan.    

Khairul Fahmi dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) meminta agar dilakukan investigasi penggunaan gas air mata.

"Perlu diinvestigasi seksama, dugaan bahwa aparat kepolisian mengabaikan ketentuan FIFA yang melarang penggunaan senjata api dan gas air mata. Apalagi penggunaan gas air mata untuk penghalauan saat itu kurang mempertimbangkan keadaan," ujar Fahmi kepada tvOne, hari ini (02/10/2022).

Seorang analis masalah keamanan, Dr Anton Permana Simioni, mengatakan Polisi yang bertugas di stadion tidak mengikuti prosedur operasi baku (SOP). “SOP yang salah itu mulai dari upaya cegah dini dan tangkal dini yang tidak berjalan,” kata Anton.

Menurut pakar masalah keamanan dan pertahanan ini, Polisi menyamaratakan supporter bola dengan pengunjuk rasa. “Akibat salah doktirn, salah SOP. Menggeneralisasikan pola ancaman dengan penindakan yang sama,” ujar Anton menambahkan.

Kalau dilihat pengalaman operasi kepolisian selama ini dalam menghadapi massa yang dianggap mengancam, memang wajar disimpulkan bahwa Polisi lebih suka menerapkan tindakan represif. Inilah yang terjadi dalam demo pasca Pilpers 2019, demo Omnibus Law, dan demo-demo yang terjadi sebelum dan sesudahnya.

Polisi kelihatannya menomorsatukan cara-cara keras dan berdarah-darah ketika mereka menghadapi rakyat. Ini harus diperbaiki.

Selain itu, untuk urusan sepakbola, edukasi kepada supporter perlu diperhatikan dengan serius. Mentalitas “tak boleh kalah” tidak boleh dibiarkan merasuki benak mereka.

Banyak pelajaran dari tragedi suram dan seram di stadion Kanjuruhan. Pelajaran untuk PSSI, pengurus klub sepakbola, kepolisian, dan juga penggemar. Semoga tidak terulang lagi.

2 Oktober 2022
(Jurnalis Senior FNN)

Baca juga :