Gas Air Mata Pencabut Nyawa
Oleh: Fahd Pahdepie
Entah bagaimana perasaan keluarga para korban tragedi Stadion Kanjuruhan, mereka pamit dari rumah untuk menonton pertandingan sepak bola, kini pulang tinggal nama. Kita melihat video puluhan ambulans yang berbaris di RS Wava Husada, Malang, dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Antara sedih dan geram.
Sedih karena kehilangan lebih dari 129 nyawa (Data Resmi Polda Jatim, Minggu, 2 Oktober 2022 pukul 11.40 WIB). Geram karena seburuk ini wajah sepak bola dan aparat keamanan kita. Suara sirine meraung-raung, isak tangis keluarga korban tak terbayangkan lagi, dan suara dari rekaman video yang beredar di media sosial begitu terngiang, “Woy, jancuk! Polisi jancuk!”
Tragedi yang terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang, usai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya adalah tragedi sepak bola terburuk sepanjang sejarah, nomor 1 dalam sejarah Indonesia dan ke-2 dalam sejarah dunia. Sampai artikel ini ditulis, korban meninggal dunia sudah mencapai 129 orang dan terus bertambah, ratusan lainnya luka-luka, masih dirawat di rumah sakit. Jelas harus ada pihak yang bertanggung jawab: klub, panpel, PSSI, hingga kepolisian. Harga yang harus kita bayar untuk tragedi ini begitu mahal.
Peristiwa kerusuhan di Estadio Nacional, Lima, Peru, adalah yang terburuk dalam sejarah sepakbola dunia. Korbannya mencapai 328 jiwa. Waktu itu digelar pertandingan panas antara Peru melawan Argentina. Dipicu wasit yang marah kepada seorang suporter Peru yang memasuki lapangan pertandingan, fans Peru meluap ke lapangan. Polisi menghalau mereka dan menembakkan gas air mata ke arah tribun. Penonton blingsatan dan sesak nafas, mencari jalan keluar. Mereka saling injak dan kehabisan napas. Hasilnya, lebih dari 300 orang tewas dalam peristiwa nahas tersebut.
Namun itu terjadi tahun 1964, jauh sebelum FIFA mengeluarkan peraturan resmi yang melarang penggunaan gas air mata atau ‘crowd control gas’ di lapangan sepakbola. 58 tahun kemudian, di tahun 2022, peristiwa Kanjuruhan segera masuk ke ranking ke-2 tragedi sepak bola terburuk sepanjang sejarah. Seolah tak berkaca pada sejarah, mengabaikan aturan FIFA, aparat menembakkan gas air mata ke arah tribun. Membuat suporter panik dan berhamburan mencari jalan keluar, anak-anak dan perempuan terinjak-injak, menewaskan lebih dari 129 orang korban jiwa. Ini lebih parah dari tragedi Accra Sport Stadium pada tahun 2001 di Ghana (126 korban jiwa), tragedi Hillsborough 1989 di Sheffield, Inggris (96 korban jiwa), bahkan dibandingkan tragedi Kathmandu, Nepal, yang menewaskan 93 orang akibat badai gumpalan es tahun 1988.
Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta, pada konferensi pers di Mapolres Malang (2/10/2022) menyebut bahwa penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian ke arah kerumunan sudah sesuai prosedur yang berlaku. Nico menyebut suporter merangsek turun ke lapangan dan berbuat anarkis. Ia bahkan menyatakan bahwa banyaknya korban jiwa bukan karena gas air mata, tetapi karena penumpukkan di pintu 10 dan 12 stadion. “Saat terjadi penumpukan itulah banyak yang mengalami sesak nafas,” ujarnya. Ia juga terkesan hanya menyalahkan suporter yang tidak patuh. “Seandainya suporter mematuhi aturan, peristiwa ini tidak akan terjadi,” lanjut dia. Seolah mengabaikan fakta bahwa penggunaan gas air mata adalah pangkal utama banyaknya korban jiwa dalam tragedi ini.
Kalau penembakan gas air mata sesuai prosedur, ini prosedur siapa? Bukankah aturan FIFA jelas tentang pelarangan ‘crowd control gas’ dan ‘firearms’ di lapangan sepak bola? Aturan ini ada karena tragedi-tragedi sebelumnya yang menewaskan puluhan orang di stadion sepak bola. Fakta bahwa kepolisian mengabaikan semua ini adalah kekeliruan besar yang perlu dipertanggungjawabkan. Apalagi jika kita melihat puluhan video amatir yang beredar, menunjukkan bagaimana perlakuan kasar dan sadis aparat Polri dan TNI kepada penonton yang memasuki lapangan.
Perlu dicatat, jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa kelam di markas Arema Malang adalah karena suporter berdesak-desakan untuk keluar stadion, terinjak-injak, dan kehabisan napas. Jelas ini karena penggunaan gas air mata yang tidak sesuai aturan. Jatuhnya banyak korban jiwa bukan karena baku hantam antar suporter. Seorang korban selamat, Septia, 18 tahun, menuturkan kesaksiannya, “Saat semprotan gas air mata pertama, kita itu panik. Mencoba mencari jalan keluar, karena kondisi gelap dan mata perih,” tuturnya.
Sebenarnya, tragedi Kanjuruhan adalah salah satu puncak gunung es permasalahan sosial kita, bukan hanya sepak bola. Fakta bahwa pengelolaan sepak bola kita berantakan, mentalitas suporter kita yang kampungan, panpel bebal yang cuma cari untung, persatuan sepak bola yang korup, juga aparat yang belum paham tentang pengamanan di industri sepak bola, memang tak terelakkan. Tetapi, lebih dari itu, terasa ada amarah dan kekecewaan besar dari masyarakat kepada pihak kepolisian, otoritas yang berwenang, kecemburuan sosial, situasi sosial-ekonomi yang sedang dihadapi.
Coba lihat sekali lagi detik-detik bagaimana kerusuhan di Stadion Kanjuruhan terjadi. Bermula dari beberapa suporter Arema yang turun ke lapangan pasca pertandingan, memunculkan euforia yang memicu suporter lain melakukan hal yang sama. Sampai di sini, masalah belum kompleks. Ia menjadi rumit setelah beberapa petugas polisi dan TNI berusaha mengamankan dan memukul mundur ratusan orang yang memasuki lapangan dengan menggunakan tameng dan pentungan. Di sana muncul solidaritas dan amarah yang terakumulasi dari para penonton, mereka melawan aparat. Dalam kerumunan, keberanian memang kerap muncul dan melampaui batas, ditambah rasa kesal kepada ‘aparat berseragam’ yang belakangan sering pamer kekuasaan, para suporter ini makin beringas melawan mereka.
Masalah semakin runyam ketika aparat mulai menembakkan gas air mata. Tiba-tiba dari sisi kanan lapangan pertandingan, polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun kanan. Lalu ke arah lain yang menimbulkan kepanikan. Mereka pun berhamburan mencari jalan keluar, situasi gelap dan mata perih. Bahkan diceritakan oleh seorang saksi yang menulis utas di Twitter, banyak anak-anak dan balita terinjak. Seorang ibu menangis meraung-raung mencari anaknya, “Anakku di mana? Anakku di mana? Anak saya nggak ada,” isaknya.
Memang tidak mudah saat ini jadi penonton sepak bola Indonesia. Situasi ekonomi sedang sulit, hidup yang sedang kalah, para penonton ini berharap setidaknya tim kebanggaan mereka jangan kalah juga. Terlebih, jangan kalah sama kota sebelah yang kelihatannya hidup warganya lebih baik dari kota ini. Rivalitas antar suporter klub boleh jadi dibakar oleh kecemburuan semacam ini juga, bukan? Sementara, di tengah semua itu, pengelolaan sepakbola kita amburadul: PSSI malah sibuk berpolitik dan pencitraan, PT Liga Indonesia Baru tak peduli nasib penonton karena hanya mementingkan cuan. Uang dan rating jadi pertimbangan utama, keselamatan penonton nomor sekian saja.
Sedih rasanya ketika mendengar fakta lain bahwa sebenarnya Arema FC sudah meminta panpel untuk memajukan jadwal pertandingan karena alasan keamanan. Tapi PT LIB tak menghiraukannya karena alasan rating, pertandingan harus digelar pukul 20.00 WIB. Setidaknya ada 129 korban jiwa dan ratusan orang luka-luka karena keputusan yang bebal ini. Kita hanya bisa geleng-geleng kepala. Semua memang salah. Tapi tetap harus ada yang bertanggung jawab atas tragedi nasional sebesar ini. Kita semua terpukul dan berduka.
Apa yang akan kita bayar dari semua ini? Selain korban jiwa, sanksi FIFA menanti untuk dunia sepak bola kita yang sebenarnya sedang mulai bangkit. Bahkan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 terancam dicabut. Cukupkah Ketum PSSI minta maaf? Cukupkah negara hanya turut berbela sungkawa? Cukupkan Menpora hanya bertakziah kepada keluarga korban, sesuai perintah Presiden? Cukupkah polisi menghimbau agar sepak bola jangan rusuh lagi dan suporter harus patuh pada aturan?
Gara-gara gas air mata pencabut nyawa, mata ini perih, situasi gelap, kelam, kepanikan melanda. Duh Gusti, mesakke bangsaku!
(Sumber: Inilah)