INI KEANEHAN HASIL TPF NOVEL BASWEDAN


[PORTAL-ISLAM.ID]  Setelah bekerja enam bulan, tim pencari fakta (TPF) kasus Novel Baswedan akhirnya merilis hasil kerja mereka, Rabu siang (17/7/2019).

Lewat laporan utama setebal 170 halaman, mereka mencoba mengungkap peristiwa penyiraman air keras yang terjadi 11 April 2017.

Namun, tingginya ekspektasi publik atas hasil kerja TPF ini hanya dibalas kekecewaan. Jangankan dalang, pelaku lapangan saja tak becus diungkap tim yang dibentuk Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada 8 Januari 2019 ini.

Dalam keterangan pers yang disampaikan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, juru bicara TPF Nurkholis hanya memberikan sejumlah rekomendasi kepada Tito untuk ditindaklanjuti tim teknis yang bakal dikomandoi Kabareskrim Komjen Idham Aziz.

Salah satu rekomendasi dari tim yang juga dianggotai Indriyanto Seno Adjie, Hendardi, Hermawan Sulistyo, Ifdhal Kasim, serta 60 orang lain itu adalah pendalaman identitas tiga orang tidak dikenal dari hasil penyelidikan lapangan mereka.

“TPF rekomendasikan Kapolri untuk mendalami satu fakta tentang keberadaan orang tak dikenal yang datangi rumah Novel pada 5 April 2017, dan dua orang tak dikenal yang berada di dekat tempat wudlu Masjid Al Ihsan menjelang subuh pada 10 April 2017,” kata Nurkholis, Rabu siang.

Temuan ini bukan barang baru. Saat kasus ini mencuat dua tahun lalu, keberadaan tiga orang ini sudah mulai dilaporkan sejumlah media lantaran tertangkap kamera CCTV.

Direktur Eksekutif Lokataru sekaligus anggota tim advokasi Novel Baswedan, Haris Azhar, menganggap temuan tersebut sebagai pengingat belaka. “TPF memperkuat memori dan pengetahuan lama kita, bahwa [memang] ada 3 pelaku lapangan,” kata Haris dalam keterangan tertulisnya, Rabu sore.

Tak Logis dan Malah Menyalahkan Novel

Selain hanya mengumumkan ‘barang lama’, hasil investigasi tim yang dibentuk menjelang Debat pertama Pilpres 2019 ini juga malah punya kesimpulan yang mencengangkan. Penyerangan dianggap terjadi lantaran KPK dan Novel diduga menggunakan kewenangan berlebihan dalam mengusut perkara atau “excessive use of power.”

Haris pun balik mempertanyakan kesimpulan tersebut. “Kewenangan yang mana yang melampaui hukum?” kata Haris.

Sama seperti Haris, Alghiffari Aqsa, yang juga salah satu anggota tim advokasi Novel, merasa kesimpulan TPF soal kewenangan berlebih Novel dan KPK saat mengusut sekurang-kurangnya enam kasus itu malah menyudutkan kliennya. Padahal dalam kasus penyiraman air keras ini Novel jelas-jelas seorang korban.

“Wewenang apa yang dimaksud dan dalam kasus apa harus bisa dijelaskan oleh Satgas. Jika tidak hal tersebut hanya menjadi opini dari satgas,” kata Alghifari.

Sama seperti Haris dan Alghiffari, Manager Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, menyebut TPF tak pantas menuduh seperti itu.

“Tuduhan yang tidak etis bagi seorang korban yang sedang mencari keadilan,” kata Puri dalam keterangan tertulisnya kepada Tirto.

Namun di balik semua itu, keganjilan paling mendasar dalam investigasi ini adalah tidak adanya nama pelaku yang diungkap. Ketidakbecusan TPF mengungkap pelaku ini jadi aneh lantaran TPF malah bisa membuat simpulan-simpulan lain.

“Tidak logis jika tim belum menemukan pelaku tapi malah punya kesimpulan terkait probabilitas di balik serangan Novel, terlebih Polri maupun tim pakar tidak mampu memberikan bukti atau penjelasan lebih lanjut terkait tuduhan tersebut,” kata Puri.

Kata Wadah Pegawai KPK

Wadah Pegawai KPK juga ikut mengomentari hasil investigasi ini. Dalam keterangan tertulis kepada Tirto, WP KPK menilai tim yang berisi pakar hukum yang punya rekam jejak mentereng itu gagal total.

Bagi WP KPK, kasus Novel ini bukan semata kegagalan TPF, tapi juga kegagalan polisi karena penanggung jawab dari tim ini adalah Kapolri.

Selain itu, WP menilai ada kontradiksi dalam penjelasan TPF yang mengaku menemukan banyak alat bukti, tapi malah bilang tidak ada alat bukti saat membacakan kesimpulan. Pun demikian saat TPF menyalahkan Novel terkait kewenangannya. Menurut WP, menyalahkan Novel tanpa ada pelaku sama saja dengan membangun opini yang spekulatif.

Mereka pun mempersoalkan rekomendasi TPF untuk membentuk tim teknis. Bagi WP KPK, tim itu hanya upaya untuk mengulur-ngulur waktu dan semakin mengaburkan pengungkapan kasus ini.

Oleh karena itu, WP KPK meminta Presiden Jokowi mengambil alih tanggung jawab pengungkapan kasus Novel Baswedan dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bersifat independen.

“Menuntut Presiden Republik Indonesia sebagai kepala negara serta panglima penegakan hukum untuk tidak melempar tanggung jawab pengungkapan kasus ini ke pihak lain dan secara tegas bertanggung jawab atas pengungkapan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan,” demikian pernyataan pamungkas WP KPK.

Sumber: Tirto

Baca juga :