Jualan itu ada faktor jodohnya, setelah gagal berkali-kali, Pak Aris temukan jodoh kedelai goreng

KEDELAI PAK ARIS

Oleh: Joko Intarto

Sembari menunggu tukang bubur kacang ijo yang terlambat buka warung, saya bertemu dengan Pak Aris yang punya usaha sebagai supplier kacang kedelai goreng. Ia sedang mengirim kedelai goreng pesanan warung bubur ayam Ojo Lali milik pedagang asal Pekalongan, Jawa Tengah. 

Pria paruh baya asal Cilacap, Jawa Tengah itu, sudah dua tahun menekuni bisnis ini. Pelanggannya ada 37 orang. Semua tukang bubur ayam.

Menggunakan sepeda motor sebagai alat angkutan utama, Pak Aris berkeliling di wilayah Jakarta Utara. Lokasi ini dipilih karena dekat dengan rumahnya. Selain itu, jumlah penjual bubur ayam di sini memang banyak. Apalagi di kawasan Kelapa Gading. Hampir semua pelanggan Pak Aris buka usaha di sini.

Setiap hari Pak Aris rata-rata mendistribusikan 50 bungkus kedelai goreng. Setiap bungkus beratnya 1 kg. Harganya Rp26.000 per bungkus. Berarti omsetnya Rp1,3 juta per hari. Lumayan banget!

"Produksi sendiri?" tanya saya.

"Tidak. Saya pengecer. Ada bos agen yang mengirimi barang seminggu sekali. Kalau order 2 kuintal, bos agen mau mengantarkan. Gratis," jelasnya.

Pak Aris menemukan peluang bisnis ini secara tidak sengaja. Suatu ketika, ia mendengar keluhan salah satu kawannya yang menjual bubur ayam. Ia kesulitan mengatur waktu untuk memproduksi kedelai goreng sendiri. 

Tak berselang lama, Pak Aris bertemu bos agen asal Bogor yang kesulitan mendistribusikan kedelai goreng di wilayah Jakarta Utara. "Ibarat keranjang ketemu tutup. Klop!" kata Pak Aris. 

Dalam pandangan Pak Aris, bisnis itu ada faktor jodohnya. Beberapa produk yang ia pasarkan sebelumnya ternyata kurang berprospek. Padahal produknya dikenal luas oleh masyarakat. 

Tapi justru dari kedelai goreng yang kurang popular inilah ia memperoleh rezeki yang cukup. Target pasar kedelai goreng ini memang beda: 99% pedagang bubur ayam. Sisanya emak-emak yang punya usaha katering. Kadang-kadang mereka menerima orderan menyediakan bubur ayam sebagai konsumsi acara tertentu.

Selain kedelai goreng, Pak Aris sekarang juga memasarkan bawang goreng. Sehari dia membawa 25 bungkus kecil dan 25 bungkus sedang. Bungkus kecil dijual dengan harga Rp5.000. sedangkan bungkus sedang dipasarkan seharga Rp10.000.

"Kalau bawang goreng, pelanggan saya masih sedikit. Soalnya masih baru," jelasnya.

Pembeli bawang goreng juga spesifik. "Yang paling banyak membeli bawang goreng adalah pedagang nasi uduk. Tanpa bawang goreng, nasi uduk memang kurang sedap," ujar Pak Aris setengah promosi.
Di tengah obrolan, seorang perempuan paruh baya datang sembari menyodorkan uang Rp50.000. "Ini pembayaran untuk pengambilan yang kemarin," katanya.

"Oh, sistem pembayarannya kredit?" tanya saya.

"Kami sesama pedagang kecil, harus saling bantu. Saya bayar ke bos agen juga kredit," jelas Pak Aris.

"Harga cash dan kredit sama?" tanya saya.

"Sama," jawabnya.

Bisnis di level bawah,sering kali tampil dalam hubungan yang sangat manusiawi. Sementara di level atas, bisnis dijalankan dengan egois. Nir empati.

(fb)

Baca juga :