IJAZAH PALSU & DAMPAK SISTEMIKNYA
Oleh: Muhammad Iqbal
Tadi pagi, sembari bersantai di trotoar jalanan car free day, istri saya bertanya disertai senyum tak lazim: “Masih ingat ndak 29 tahun lalu, waktu ada keluarga saya yang meragukan apakah kak Iqbal benar-benar lulusan UGM?”
Saya jawab dengan tersenyum. Ingatan itu masih terasa segar. Dan jujur, cukup menentukan arah hidup saya.
Waktu itu, kami dalam proses menuju pernikahan. Namun, di balik niat baik dan cinta yang tulus, terselip kabar miring bahwa saya, calon suami yang katanya “lulusan UGM”, belum tentu benar-benar lulusan UGM. Sebuah gosip kecil, tetapi cukup mengusik.
Saya tidak membantah dengan kata-kata apalagi emosi. Tapi juga tidak berdiam diri apalagi berpura-pura bloon. Cinta butuh fakta. Saya tempuh solusi sederhana: ijazah asli UGM saya taruh di jok belakang mobil. Esoknya, seorang anggota keluarga calon istri saya melihat ijazah itu. Hanya itu. Fakta kukuhkan cinta. Dan gosip itu pun menguap begitu saja. Tanpa atraksi, tanpa somasi.
Sekarang, saat mengenang peristiwa itu, terbersit tanya dalam hati: mengapa selembar kertas—yang dalam bahasa hukum disebut dokumen resmi, dan dalam bahasa administrasi disebut ijazah—bisa memiliki kekuatan sedemikian besar? Apa yang sesungguhnya dimeteraikan oleh selembar ijazah?
NILAI DI BALIK IJAZAH UGM
Ijazah bukan hasil sulap, cetakan dadakan, ataupun warisan turun-temurun. Bagi sebagian orang, mungkin ijazah adalah rutinitas administratif: datang kuliah, ikut ujian, lalu lulus. Tapi bagi saya, selembar ijazah UGM itu menyimpan cerita panjang tentang perjuangan, cucuran air mata, dan tanggung jawab keluarga.
Saya sulung dari sepuluh bersaudara, tumbuh dalam keluarga guru. Ayah guru IPA, ibu guru Pendidikan Agama Islam. Gaji beliau cukup untuk hidup sederhana, tapi tidak cukup untuk menyekolahkan sepuluh anak hingga perguruan tinggi tanpa strategi.
Ketika saya diterima di Fisika UGM, itu bukan sekadar pencapaian pribadi. Itu amanah. Selama kuliah, saya mengajar les privat dan kelas-kelas informal, kadang di luar Yogya hingga larut malam, demi menambah uang makan dan ongkos buku. Saya berjuang menyelesaikan tugas-tugas kuliah, sembari membantu orangtua agar adik-adik saya juga tetap bisa sekolah. Tersisa skripsi, tahun 1990 saya putuskan tinggalkan kampus untuk total bantu orangtua, dan baru kembali lagi awal 1995.
Statistik saat itu menunjukkan hanya sekitar 10-15% mahasiswa di Indonesia yang berasal dari keluarga guru atau petani—golongan yang umumnya berada dalam tekanan ekonomi. Artinya, peluang saya untuk bisa kuliah dan lulus dengan baik sangat kecil jika tanpa perjuangan ekstra. Tetapi karena keyakinan bahwa ilmu adalah amanah, saya jalani semuanya. Bahasa gampangnya: tidak ada fajar tanpa belajar, tidak ada libur tanpa lembur.
Ketika akhirnya saya lulus dan menerima ijazah UGM, saya tahu bahwa saya tidak sedang memegang selembar kertas. Saya sedang menggenggam sebuah simbol kepercayaan dari keluarga, dari orang tua yang selalu bangun lebih awal untuk mendidik kami dan anak orang lain, dan dari adik-adik saya yang diam-diam menaruh harapan pada kakak sulung mereka.
Karena tahu beratnya perjalanan itu, saya tidak bisa membayangkan bagaimana seseorang bisa dengan enteng memalsukan ijazah. Itu bukan hanya kejahatan administratif. Itu adalah penghinaan terhadap setiap peluh yang menetes dari anak-anak bangsa, dari keluarga guru, dari mereka yang bertahan hidup sambil belajar.
Ijazah UGM saya sudah berusia tiga dekade lebih. Tapi nilainya tak pernah usang. Karena ia bukan hanya milik saya. Ia adalah simbol dari selaksa cerita tentang bagaimana ilmu diraih dengan jujur, hidup dijalani dengan perjuangan, dan integritas dijaga sebagai bentuk pengabdian.
MAKNA IJAZAH DI NEGARA MAJU
Di banyak negara maju, integritas akademik dijaga sekuat sistem keuangan atau konstitusi kenegaraan. Karena mereka tahu bahwa tanpa pondasi kepercayaan pada otentisitas gelar, seluruh struktur sosial bisa runtuh secara perlahan dan tanpa terasa (Stephens, The Moral Weight of Academic Credentials, 2020).
Untuk menengok makna sosial-intelektual ijazah di negara maju, saya pilih beberapa diantaranya dimana saya pernah berdiskusi soal bagaimana dunia memandang pendidikan.
Di Jerman, Zeugnis atau sertifikat kelulusan adalah dokumen resmi yang tidak bisa dipalsukan tanpa risiko hukum berat. Negara ini memiliki sistem ZAB (Zentralstelle für ausländisches Bildungswesen) yang memverifikasi semua gelar asing, dan universitas Jerman sangat berhati-hati dalam mengeluarkan gelar dan transkrip (DAAD, Higher Education Compass, 2022).
Masyarakat Jerman memandang gelar akademik sebagai jaminan kompetensi profesional. Anda tidak bisa bekerja sebagai insinyur tanpa Diplom-Ingenieur atau gelar teknik setara. Ketika seorang pejabat politik atau dosen universitas ketahuan memalsukan atau memanipulasi karya akademiknya, maka keharusan etis mewajibkannya mengundurkan diri (Schmidt, Ethics and Public Scandal in German Academia, 2019).
Di Inggris, setiap gelar yang dikeluarkan oleh universitas terdaftar bisa diverifikasi melalui HEDD (Higher Education Degree Datacheck). Sistem ini menjadi andalan HRD dan lembaga-lembaga negara untuk memeriksa validitas ijazah (UK NARIC 2021). Bahkan CV palsu yang mencantumkan universitas fiktif bisa dengan mudah terbongkar melalui layanan daring publik ini.
Lebih dari itu, sistem akademik di Inggris menekankan public trust: bahwa gelar adalah komitmen kepada masyarakat. Maka mereka yang memalsukan gelar bisa menghadapi sanksi pidana, blacklist profesional, hingga kehilangan hak mengajar seumur hidup (Anderson & Bolton, Trust and Ethics in Higher Education Credentials, 2017).
Di Jepang, isu pemalsuan ijazah atau plagiat adalah aib sosial yang serius. Ada kasus di mana pejabat tinggi atau ilmuwan Jepang mundur dengan permintaan maaf publik hanya karena ditemukan kesalahan dalam metodologi atau kutipan referensi akademik (Yamamoto, Academic Shame and Public Responsibility, 2015).
Budaya giri (kewajiban moral) dan haji (rasa malu) menjadi filter etik yang kuat, jauh sebelum hukum turun tangan.
Dalam masyarakat Jepang yang sangat menghormati pendidikan, ijazah adalah bentuk janji diam kepada bangsa: bahwa seseorang akan menggunakan ilmunya untuk kemaslahatan, bukan sekadar untuk karier.
Di Amerika Serikat, pemalsuan ijazah termasuk dalam fraud (penipuan) dan dapat dipidana. Universitas memiliki Registrar’s Office yang khusus menangani otentifikasi dokumen, dan sistem nasional seperti National Student Clearinghouse mendukung proses ini (Kreuter, Verifying Academic Credentials in the Age of Fraud, 2020). Dunia kerja pun sangat selektif, terutama di sektor kesehatan, hukum, dan teknologi.
Yang lebih menarik lagi adalah budaya academic honor code—kode etik yang ditandatangani mahasiswa saat masuk universitas. Pelanggaran seperti plagiarisme, pemalsuan data, atau kerja sama tidak sah dalam ujian, dapat membuat mahasiswa dikeluarkan secara permanen. Artinya, ijazah bukanlah hak, melainkan anugerah berbasis tanggung jawab (Lukianoff & Haidt, The Coddling of the American Mind, 2018).
Ketika saya renungkan semua itu, dan terutama saat menyaksikan anak saya Avo mengurus dokumen-dokumen akademik yang sangat ketat di Teknik Informatika LMU Munchen, Jerman, saya semakin menyadari pentingnya kejujuran akademik. Peradaban yang maju bukan semata karena teknologi atau infrastruktur, kata Avo beberapa waktu lalu, tetapi juga karena mereka menjaga makna dari simbol-simbol akademik.
Ijazah, di tangan bangsa yang bermartabat, bukan hanya legalitas formal. Ia adalah ikrar keilmuan dan etika publik. Dan karena itu, setiap pelanggaran terhadapnya tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran administratif, tetapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai keilmuan dan kemanusiaan.
SANKSI ATAS KEJAHATAN AKADEMIK
Kepercayaan merupakan mata uang tertinggi di dunia akademik. Ia tidak dicetak di percetakan negara, tetapi lahir dari disiplin, kejujuran, dan ketekunan dalam menempuh jalan ilmu. Maka, ketika kejahatan akademik terjadi, yang dirusak bukan hanya institusi atau individu, tetapi arsitektur nilai yang menopang peradaban pengetahuan itu sendiri (Eaton, Plagiarism in Higher Education, 2021; Stephens 2020)
Bentuk kejahatan akademik bermacam-macam: mulai dari pemalsuan ijazah, plagiarisme atau flagiasi, ghostwriting dan jual-beli tugas akhir, hingga jual-beli gelar kehormatan yang seharusnya diperoleh melalui kontribusi keilmuan. Semua bentuk itu merupakan fraud epistemik atau pemalsuan terhadap hakikat ilmu.
Di Indonesia, pelanggaran semacam ini bisa dijerat pasal 263 KUHP dengan ancaman pidana penjara enam tahun, namun implementasinya kerap menghadapi tantangan. Bandingkan dengan Amerika Serikat, di mana pemalsuan ijazah dituntut sebagai wire fraud, dan lembaga penerbit gelar palsu dimasukkan ke dalam daftar hitam sebagai degree mill (Eaton 2021).
Di Korea Selatan, beberapa skandal nyata—seperti kasus Shin Jeong ah dan Cho Kuk—mengakibatkan pengunduran diri pejabat, dengan alasan publik melihat tindakan tersebut sebagai pengkhianatan berat terhadap kepercayaan masyarakat (Time 2015; University World News 2020).
Dalam khazanah keilmuan Islam—seperti yang digarisbawahi oleh Imam Al-Ghazali dalam Iḥya ‘Ulum al Din—ilmu dipandang sebagai amanah penuh tanggung jawab, bukan sekadar instrumen dunia. Ia menegaskan bahwa ilmu yang disampaikan tanpa landasan kejujuran dan niat lillah dapat menyesatkan, bahkan lebih berbahaya daripada kebodohan itu sendiri.
Tidak semua sanksi atas kejahatan akademik bisa ditegakkan oleh hukum tertulis. Namun demikian, ada sanksi sosial dan moral yang jauh lebih berat, yaitu hilangnya otoritas dan kepercayaan.
RUNTUHNYA KEPERCAYAAN PUBLIK
Pemalsuan ijazah bukan sekadar kebohongan individual, tetapi pengkhianatan terhadap sistem pengetahuan. Virus sosial ini diam-diam menyusup ke dalam sistem pendidikan, mencemari institusi, dan melemahkan kepercayaan publik terhadap dunia akademik dan profesional. Ibarat retakan kecil di pondasi bangunan, jika dibiarkan, ia akan menghancurkan seluruh struktur yang dibangun dengan susah payah.
Secara individual, ketika seseorang terbukti memalsukan ijazah maka ia kehilangan kehormatan sebagai sumber ilmu. Ia mencederai semangat kompetisi yang sehat, menciptakan ketimpangan terhadap mereka yang menempuh jalur akademik dengan jujur dan kerja keras. Ia juga menjadi simbol ketidakadilan bagi generasi muda yang sedang belajar bahwa jalan pintas lebih cepat dari kerja keras.
Dan secara institusional, jika lembaga pendidikan turut terlibat atau membiarkan pelanggaran ini, maka kepercayaan terhadap lembaga itu runtuh. Radiasi keruntuhannya pun luas: nama lembaga, reputasi alumninya, kerja sama internasional, dan kepercayaan masyarakat yang telah menggantungkan harapan pada pendidikan sebagai alat mobilitas sosial.
Menurut survei Intelligent.com (2022), 84% manajer perekrutan mengatakan bahwa institusi pendidikan calon karyawan adalah faktor penting dalam keputusan perekrutan. Data serupa juga ditemukan dalam Corporate Recruiters Survey 2016, yang dilakukan oleh Graduate Management Admission Council (GMAC), dimana 45% perekrut memilih kampus berdasarkan reputasi institusinya.
Dampak pemalsuan ijazah tidak berhenti di institusi pendidikan saja. Ia meluas ke mana-mana. Ketika seseorang bisa menduduki jabatan karena ijazah palsu—entah sebagai guru, pejabat publik, konsultan, dokter, atau insinyur—maka yang dipertaruhkan adalah kualitas pelayanan publik dan keselamatan masyarakat.
Dokter gadungan bisa mengakibatkan malpraktik fatal, insinyur palsu bisa menyebabkan kegagalan konstruksi, pendidik palsu bisa membentuk generasi yang salah arah, pemimpin palsu bisa memporak-porandakan tatanan bahkan konstitusi. Di sini, pemalsuan ijazah berubah dari penipuan administratif menjadi kriminalitas berdampak sosial.
Generasi muda pun terdampak. Jika pemimpin publik atau figur akademik diketahui menggunakan ijazah palsu namun tetap dielu-elukan, maka akan tumbuh generasi yang kehilangan orientasi nilai. Keteladanan yang rusak melahirkan budaya sinisme dan oportunisme. Jika kejujuran tak lagi dihargai dan pemalsuan dibenarkan secara sosial, maka bukan hanya integritas akademik yang runtuh, tapi juga pondasi moral bangsa.
Dalam fisika dikenal konsep kestabilan sistem—suatu kondisi di mana keseimbangan dapat dipertahankan meski ada gangguan kecil. Tapi ketika gangguan itu terus-menerus dan tak tertangani, maka sistem akan menuju titik keruntuhan.
Begitu pula dengan dunia pendidikan. Pemalsuan ijazah, jika tidak ditindak tegas dan dijaga dari hulu ke hilir, bisa menghancurkan stabilitas keilmuan dan integritas sosial yang selama ini menopang kemajuan bangsa. Ijazah bukan hanya soal siapa yang lulus. Ia adalah simbol dari sistem kepercayaan, struktur harapan, dan janji kolektif bahwa ilmu akan dijaga sebagai cahaya, bukan dipakai sebagai alat penipuan.
MENJAGA IJAZAH, MENJAGA KEHORMATAN
Ijazah palsu mungkin bisa membuka pintu, tapi ia tak akan pernah menghadirkan cahaya. Ia bisa menipu sistem, tetapi tidak bisa menipu hakikat waktu, kejujuran diri, dan pengawasan Tuhan.
Ijazah itu diam. Ia tidak pernah berbicara atau membela diri—andaipun foto dan seluruh identitas di dalamnya diutak-atik. Namun di dalam diamnya, ia menyimpan narasi panjang tentang kerja keras, cucuran keringat dan air mata, harapan, juga integritas. Ia adalah saksi bisu dari malam-malam begadang, dari pagi-pagi penuh tanggung jawab, dari ruangan kuliah yang kadang sempit kadang penuh tawa. Ia adalah bukti bahwa seseorang pernah berdiri di depan ilmu, dan memilih untuk tidak menyerah.
Saya simpan ijazah UGM saya bukan di lemari kaca atau brankas, tetapi dalam memori batin yang hidup. Ia bukan dokumen untuk melamar kerja, tetapi pengingat bahwa saya pernah melampaui batas diri—bekerja sambil kuliah, menjadi anak sulung yang berbakti, dan berjalan tegak dalam dunia yang kerap tidak adil bagi mereka yang jujur.
Dan saya tulis catatan harian ini dengan kesadaran bahwa bangsa ini seharusnya besar dan berjatidiri, dan untuk itu kita harus mulai dari hal sederhana tetapi mendasar: menjaga kejujuran dalam dunia pendidikan. Karena dari sanalah martabat tumbuh, dan dari martabat itulah bangsa dihormati. Wallahu a'lam.
Salam takzim,
Andi Muhammad Iqbal Parewangi
(Alumni Fisika UGM Yogyakarta)