MELAWAN KEMUSTAHILAN
Oleh: Yusuf Maulana
29 Mei 1453. Dari sekian banyak pelajaran di balik buah kesabaran dan ketelatenan Mehmed II (lebih akrab di telinga kita dengan nama: Muhammad al-Fatih), ada dua hal yang membekas buat patik.
Pertama, melawan kemustahilan. Kegagalan menaklukkan benteng Konstantinopel bukan semata fakta, melainkan juga mitos dan narasi yang kudu dipercaya. Menariknya, seturut kegagalan pasukan khalifah dari abad ke abad menduduki jantung Bizantium Timur itu, energi untuk menyusun pikiran dan kekuatan baru selalu hadir. Dan puncak itu kelak terbukti di masa Mehmed II. Ia berhasil memenuhi nubuwat Rasulullah berabad lampau, juga mengonfirmasi komitmen diri. Meskipun semua itu diarali kemustahilan yang hadir membukit.
Kemustahilan yang telanjur menjadi mitos ternyata bukan untuk diingkari. Ia malah harus dihadapi dengan sabar yang ekstra. Fokus pada misi yang diperjuangkan dan niat tulus yang terawat ajek. Maka, formulasi menyeberangkan kapal ke darat ala Mehmed II merupakan agregat cum kumulasi totalitas pengabdian. Bukan sebentuk pelarian dan uji coba memilah strategi tentatif. Apalagi sebuah katarsis atas deraan putus asa. Di sinilah ikhtiar insani beririsan dengan pengalaman kegagalan dan, tentu saja, pertolongan Empu Langit: Allah. Ada inspirasi di sebalik munajat dan lakon tawakal.
Proses seperti itu berjalan dengan tidak monoton dan homogen. Tapi lewat kebersamaan para prajurit bertenaga ekstra dari sisi keimanan. Bahkan, prajurit yang tak seiman tapi sekubu pun tercelup dalam resonansi kesungguhan menggapai kemenangan. Di sinilah kolaborasi kreatif terjadi. Dan ini hal kedua yang menarik buat dipetik sebagai ibrah direbutnya Konstantinopel.
Dalam beda yang ada, bahkan spektrum iman sekalipun, kolaborasi itu niscaya ada. Dengan tetap pucuk pimpinan adalah nakhoda yang paham ke mana perahu hendak berlabuh. Mehmed II tahu bagaimana melibatkan orang-orang beriman di ring satu, dua dan seterusnya. Juga bagaimana ia membina kerja sama dengan komitmen kuat dengan orang-orang nasrani yang bekerja karena di bawah pengabdian buat Ottoman. Semua dilibatkan karena kapasitas. Dari tukang gali terowongan, prajurit tempur, hingga pembikin meriam gahar untuk masanya.
Arkian, kemustahilan selalu hadir. Sesuai zaman dan situasi berbeda. Pula di depan mata kita. Ada kekuatan yang seolah muatahak kalah. Begitu narasi diolah media dan intelektual semasa. Hingga kita, umat lengah dan putus asa.
Di sisi lain, dalam lengah yang dibuat itu, kita selalu dibikin saling tak percaya. Ikatan iman di tubuh umat sendiri begitu rapuh. Selalu ada yang menikmati untuk jadi pemimpin penikmat remehan kue dari hasil kolaborasi dengan seteru umat. Dalil selalu siap direproduksi demi melegitimasi. Tapi yang hadir sejatinya ada ghil, hasad dan kesumat pada kawan seiman. Kolaborasi hanya utopia belaka. Manis diucapkan di mimbar majelis tokoh ugama.
Lantas, sampai kapan kita mau mengarungi kemustahilan dan ketulusan berkolaborasi? Berjamaah walau beragam rumah? Jangan sampai 29 Mei 1453 hanya jadi impian semu saban tahun belaka. []
Ilustrasi: (1) Panorama 1453; (2-3) @HistoryTime_