Perempuan Berselendang Bintang

Oleh: Dani Ardiansyah*
Bicara tokoh sastra dan karya karya di dalamnya, tentu mengingatkan kita pada sederetan nama besar yang memang memiliki reputasi dan track record yang gemilang dalam bidang tersebut. Masing-masing nama tentunya memiliki sejarahnya sendiri. Gaya, peminat, dan bahkan periodenya sendiri. Nama-nama besar yang kemudian kita kenal dengan sebutan sastrawan, penyair, atau penulis, tentu menjadi bagian yang tak lepas daripada minat dan ketertarikan awam maupun profesional pada seni yang mereka usung. Secara tidak langsung, mereka berdiri di atas kaki para penikmatnya.

Mereka, para sastrawan tersebut, dengan ciri dan muatan seni yang diusung masing-masing, tidak jarang dapat mempengaruhi sikap dan pemikiran para penggemar. Tentunya, sikap dan pemikiran itu dapat terlihat ketika mereka menuangkannya dalam tulisan. Sastra, bagi sebagian sastrawan, bukan hanya sekedar estetika kata-kata. Sastra juga dapat menjelma lokomotif perjuangan dalam banyak bentuk. Dapat menjadi corong perjuangan untuk kemaslahatan umat.

Forum Lingkar Pena (FLP) adalah salah satu lokomotif perjuangan, yang menurut saya paling berhasil menghimpun kekuatan tersebut. FLP adalah sebuah komunitas yang kekuatannya layak diperhitungkan dalam kancah kesusastraan, bukan hanya dalam tataran lokal, tapi juga internasional. Betapa tidak, komunitas yang lahir dari semangat perjuangan, semangat bangkit dari keterpurukan ini --paling tidak dalam hal minat baca dan menulis, mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa dari masyarakat. Dan terbukti, dengan tumbuhnya komunitas tersebut, humanisasi (baca: Islami) kepenulisan pun dimulai. Lalu, dalam kegemilangan komunitas sastra itu, muncul satu nama di antara para pendirinya yang lain, yang juga gemilang; Helvy Tiana Rosa (HTR), seseorang yang oleh penyair cilik yang juga putranya, Abdurrahman Faiz disebut-sebut sebagai Perempuan Berselendang Bintang.

Helvy Tiana Rosa, adalah satu nama dari sekian banyak nama yang terbit dari himpunan komunitas, yang benar-benar memiliki pola tegas dalam berkarya. Islam adalah sumber inspirasi terkuat yang terus dibangun dalam komunitas ini. Dan lagi-lagi, HTR, sebagai salah satu penggagas forum tersebut adalah sosok yang benar-benar patut diperhitungkan. Saya mengenal banyak nama sastrawan hanya melalui karyanya saja. Karena kebanyakan, saya hidup dalam masa yang jauh dengan mereka. Tapi HTR, saya hidup di masanya. Saya mengenal sosoknya, pernah bertemu dengannya, memahami -lewat tulisan- pemikirannya. Usaha dalam menyelami segala hal tentang HTR, saya lakukan dengan membaca sebagian gagasan beliau tentang sastra, yang terangkum dalam bukunya, Segenggam Gumam.

Kepekaan HTR terhadap permasalahan-permasalahan global, dapat dengan mudah kita temui dalam setiap cerpen yang ia tulis. Kepeduliannya terhadap perempuan termanifestasikan dalam 'Tanah Perempuan'. “Penderitaan yang sesungguhnya adalah ketika kamu kehilangan kepercayaan diri dan harapan. Ketika Allah tak ada dalam tujuan hidupmu”.

Tanpa pernah menghilangkan tujuan yang paling esensi, HTR menegaskan bahwa harapan dan kepercayaan diri adalah modal dasar sebuah perjuangan. Masih dalam Tanah Perempuan, beliau menulis “Sebab musuh utama kita bukan penjajah atau bencana, tetapi ketakberdayaan yang beranak-pinak dalam diri.” Terlihat jelas, bahwa HTR dengan kekuatan katanya mencoba memberikan peringatan yang tegas untuk kaum perempuan, bahwa claim lemah dan tak berdaya yang disandang oleh kaum perempuan haruslah dihilangkan.

Dalam keseriusannya bersastra, HTR juga menyempatkan menulis surealis. Dalam Lelaki Kabut dan Boneka, Ia menulis “Seperti Ia akan pergi ke jalan yang paling cinta. Jalan yang tak pernah membedakan bau darah seseorang”. Lalu, HTR juga bicara tentang cinta “Setiap hari cinta harus ditumbuhkan dengan berbagai cara. Cinta harus tumbuh menembus semua rintangan. Kuncup-kuncupnya tak boleh merekah semua seketika, untuk kemudian layu. Ranting dan pokoknya harus kuat menjulang. Cinta harus ditumbuhkan sepanjang usia dengan bunga-bunganya yang bertaburan di sepanjang jalan kesetiaan. Jalan yang ditapaki dengan riang di bumi dan semoga kelak mempertemukan kita kembali dengannya di surga”. Betapa kebijakan seorang Perempuan, dan pengalamannya yang sarat, terlihat jelas dalam setiap kata-kata yang ia tulis.

Selain itu, HTR dalam setiap tulisannya juga kerap menyisipkan pesan-pesan pembakar semangat, motivasi yang ketika kita usai membacanya, selalu terbit harapan baru dalam hati, seperti dalam Risalah Cinta “Ketika kau masih bertemu pagi dan putuskan diri untuk berdiri menghadapi berjuang dengan hati di jalan Illahi, maka saat itu kau telah mengakhiri hari dengan satu lagi kemenangan sejati”. Atau, “Ternyata saya tak pernah benar-benar kalah, meski mungkin belum sampai pada menang”.

Saya mengagumi HTR bukan hanya sebatas karya. Sebagai pemula yang ingin menjadikan tulisan sebagai alat perjuangan dan dakwah, pribadi low profile yang dimiliki HTR benar-benar membuat saya 'terpikat'. Seorang senior yang mampu memberikan contoh, bukan hanya melalui tulisan, tapi juga dengan tindakan. Mungkin inilah pesan yang hendak ia sampaikan dalam Risalah Cintanya yang lain, “Sebab apapun itu. Bukankah hidup adalah untuk bergandeng tangan di jalan kebaikan, dan membuat Allah tersenyum?”.

Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan HTR, saya menyaksikan sendiri bagaimana penulis besar ini begitu sederhana dalam berlaku. Ia tak pernah sungkan untuk mendatangi para penggemarnya satu persatu, hanya untuk mempersilakan mereka mencicipi kue yang tersedia untuknya di meja depan, dari tangannya sendiri. Pantaslah jika Faiz mencintainya, seperti ia mencintai surga. “Aku mencintai bunda seperti aku mencintai surga”. Jika FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia, maka HTR adalah rangkaian pita yang mengikat hadiah tersebut, dan menjadikannya indah.(DAN)


*dicomot dari http://www.kabarindonesia.com/ dengan judul: "HTR: Pita yang Mengikat Hadiah Tuhan, dan Menjadikannya Indah"

---
posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :