Indonesian media shouldn’t give platforms to pro-Israel voices
Media-media Indonesia tidak boleh memberi panggung kepada suara-suara pro-Israel
Oleh: Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat (Middle East Monitor)
Indonesia telah lama memposisikan dirinya sebagai penentang keras kolonialisme dan ketidakadilan. Sikap itu bukan sekadar retorika. Sikap itu tertuang dalam konstitusinya, yang dengan jelas menyatakan: “Penjajahan harus dihapuskan di dunia ini karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Pendudukan Israel selama puluhan tahun atas Palestina — rezim kontrol militer, perampasan tanah, pemindahan paksa, dan pembunuhan massal — adalah kolonialisme dalam bentuknya yang paling kasar. Media Indonesia tidak berhak melegitimasinya.
Namun, beberapa penyiar nasional, termasuk TVOne dan iNews, telah berulang kali memberikan waktu tayang kepada aktivis pro-Israel dengan dalih diskusi yang berimbang. Tokoh-tokoh ini tidak sekadar menyajikan pendapat alternatif; mereka mempromosikan narasi yang dirancang untuk membenarkan perampasan dan penghancuran seluruh bangsa. Mereka membela apa yang oleh organisasi hak asasi manusia global — termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch — telah dengan jelas didefinisikan sebagai apartheid dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ini bukan jurnalisme. Ini adalah keterlibatan.
Selama dua tahun terakhir, lebih dari 50.000 warga Palestina di Gaza telah terbunuh — sebagian besar dari mereka adalah warga sipil, termasuk ribuan anak-anak. Ini tidak terjadi begitu saja. Israel telah mempertahankan blokade yang melumpuhkan di Gaza selama lebih dari 17 tahun, mengendalikan perbatasannya, wilayah udaranya, dan aksesnya ke air, obat-obatan, dan listrik. Ini bukanlah operasi militer. Ini adalah metode hukuman kolektif dan pemusnahan sistematis.
Menonjolkan suara-suara yang berusaha membenarkan kebrutalan ini berarti mengabaikan peran pers sebagai pengawas dan mengubahnya menjadi platform propaganda. Ini bukanlah "mendengarkan kedua belah pihak." Tidak ada dua sisi dalam pembersihan etnis. Tidak ada posisi netral ketika suatu bangsa kelaparan dan dibom hingga punah.
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa menolak untuk menampung suara-suara pro-Israel merupakan pelanggaran kebebasan berbicara. Ini adalah distorsi dari konsep tersebut. Kebebasan berekspresi berarti hak untuk berbicara tanpa takut akan penindasan negara — bukan hak untuk disiarkan di televisi nasional. Lembaga media tidak berkewajiban untuk memperkuat setiap sudut pandang, terutama ketika sudut pandang itu membela kejahatan perang. Sama seperti kita tidak akan pernah memberikan waktu tayang kepada penyangkalan Holocaust atau supremasi rasial atas nama "keseimbangan," kita tidak boleh menyediakan panggung bagi mereka yang membenarkan kekerasan sistemik Israel terhadap Palestina.
Taruhannya tidak hanya teoritis. Menyiarkan narasi pro-Israel membingungkan publik, melemahkan kejelasan moral kita, dan membuka pintu untuk menormalkan kekerasan kolonial. Itu menunjukkan bahwa prinsip-prinsip konstitusional kita — dan penderitaan rakyat Palestina — dapat diperdebatkan, atau lebih buruk lagi, dapat dikorbankan. Itu adalah jalan yang berbahaya.
Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Solidaritas kita dengan Palestina tidak hanya politis; itu emosional dan berakar dalam sejarah kita. Kita tahu seperti apa pendudukan kolonial itu. Kita tahu apa artinya melawannya. Bagi media nasional untuk mengundang seseorang yang membela sistem pendudukan yang sama — untuk menggambarkannya sebagai rasional atau manusiawi — tidak hanya menyinggung. Itu adalah penghinaan terhadap ingatan nasional dan martabat kolektif kita.
Sebagian orang akan mengatakan perdebatan ini bersifat mendidik. Namun, apa yang diajarkan? Bahwa genosida terbuka untuk ditafsirkan? Bahwa apartheid layak didengar secara adil? Gagasan tidak ada dalam ruang hampa — terutama di media. Ketika seorang penyiar menampilkan suara, itu memberikan legitimasi pada suara itu. Itu memberi sinyal kepada audiens bahwa ini adalah perspektif yang layak dipertimbangkan. Ketika perspektif itu berakar pada pembenaran kekerasan kolonial, hasilnya bukanlah pendidikan. Itu adalah indoktrinasi.
Mari kita perjelas: menolak untuk menyuarakan suara-suara pro-Israel bukanlah penyensoran. Itu adalah kebijaksanaan moral. Tidak ada demokrasi yang serius yang berkewajiban untuk memberi ruang bagi ideologi yang mempromosikan penindasan. Media harus menggunakan penilaian. Penilaian itu harus sejalan dengan prinsip-prinsip nasional kita, nilai-nilai konstitusional kita, dan kewajiban etis kita kepada mereka yang hidup di bawah belenggu apartheid.
Media Indonesia harus bertanya pada dirinya sendiri: Masyarakat seperti apa yang ingin dibentuknya? Masyarakat yang meratakan perbedaan moral atas nama netralitas? Atau masyarakat yang berdiri teguh di pihak korban pendudukan dan genosida?
Ini bukan saatnya untuk ambiguitas. Ini saatnya untuk kejelasan. Tidak ada tempat netral antara penindas dan yang tertindas. Media harus memilih. Dan media Indonesia, jika benar-benar mencerminkan jiwa bangsa, harus berdiri bersama Palestina — tanpa kompromi, dan tanpa permintaan maaf.