Meme Ciuman Vs. Kebodohan Fufufafa
Oleh: AS Laksana (Sastrawan)
Sebagian orang tampaknya senang dengan gerak cepat kepolisian dalam menangkap mahasiswi ITB pengunggah meme Jokowi-Prabowo berciuman. Saya membaca banyak komentar yang memperlihatkan kegembiraan itu. Apakah mereka keliru dengan kegembiraan mereka? Tidak. Mereka punya alasan sendiri untuk menyalahkan mahasiswi itu dan memuji kesigapan polisi.
Dan polisi mungkin merasa telah bertindak “presisi”, sebagaimana slogan mereka, dengan penangkapan itu.
Yang tidak disadari oleh aparat kepolisian ketika mereka menunjukkan kesigapan dalam menciduk si mahasiswi adalah mereka sedang memperlihatkan inkonsistensi dalam penegakan hukum. Mereka sigap terhadap mahasiswi, tetapi membeku terhadap kasus lain. Fufufafa, misalnya. Kita tahu fufufafa mengeluarkan sejumlah pernyataan di Kaskus, antara lain:
“Kasihan rumahnya dibakar, ampe gosong tuh kulit.” (komentarnya terhadap wanita Papua kader Partai Gerindra)
“Lulusan SD ingin gaji tinggi? Ngimpi lo” (menanggapi demonstrasi para buruh)
“Istri cerai. Anak homo. Trus mau lebaran sama siapa?”
“Saya membayangkan prabowo mendaki semeru/trus pas nyampe di puncak, dia mengibarkan bendera merah putih/lalu dia berteriak, “titiekkkkk kembalilah ke pelukanku”/ Trus habis itu dia menggelinding ke bawah seperti seekor landak/pas nyampe di bawah, dia langsung membeli jagung bakar”
“Kasian om wowo sudah lama cerai jadi gak pernah celup2 lagi tong. Pengertian dikit dong tong.”
Selain itu, dalam banyak komentarnya, Mas Fufufafa juga memperlihatkan obsesi terhadap “SUSU” para artis.
*
Dengan semua pernyataannya itu, fufufafa tidak menawarkan pemikiran apa pun atau kritik terhadap kekuasaan. Ia tidak mewakili aspirasi orang banyak atau siapa pun, kecuali dirinya sendiri; ia mendudukkan dirinya lebih tinggi ketimbang yang lain, karena itu ia merasa berhak menjadikan “yang lain” itu objek pelecehan.
Saya tidak paham apa yang membuat Fufufafa merasa berhak menempatkan dirinya superior, lebih mulia, lebih baik, sampai merasa bahwa tubuh wanita Papua, kader Gerindra, perlu dikasihani: “Kasihan rumahnya dibakar, ampe gosong tuh kulit.”
Kalimat semacam itu, kita tahu, tentu saja lahir dari kebodohan, dan orang bodoh bisa berbuat jahat tanpa menyadari bahwa perbuatannya jahat. Sebab ia terlalu bodoh untuk menyadari dampak dari perbuatannya sendiri.
Ia tidak tahu bahwa kalimat pelecehannya itu memanggil kembali sejarah panjang tentang perlakuan buruk terhadap suatu masyarakat, yang sama bermartabatnya dengan semua masyarakat lain. Ia tidak tahu bahwa ujarannya membawa serta seluruh beban kekerasan terhadap tubuh-tubuh yang selama ini dianggap pinggiran: kulit gelap, asal dari Timur, perempuan, dan bukan siapa-siapa dalam struktur kekuasaan nasional.
Dalam satu kalimat pendeknya, Fufufafa telah menyingkirkan semua kemungkinan tentang wanita Papua itu untuk berbicara sebagai subjek. Ia tidak dipandang sebagai seseorang dengan pengalaman, pandangan, atau posisi politiknya. Ia direduksi menjadi sekadar kulit—dan kulit “yang lain”, yang sah untuk ditertawai, dikasihani, dijadikan bahan lelucon.
Kita menyebutnya rasis karena ia memamerkan hierarki yang tidak setara dan memperkuatnya melalui kelakar bodoh. Kita menyebutnya kasar bukan karena nadanya tinggi, tapi karena ia menyembunyikan kekerasan di balik kebodohannya. Kita menyebutnya seksis bukan karena ia menyebut jenis kelamin, tapi karena ia menghapus keberadaan perempuan Papua itu dan menggantinya dengan kulit dan tubuh yang bisa diejek.
Dan ketika hukum menutup mata terhadap ujaran tersebut, itu berarti negara sedang berkata, “Kalimat seperti itu bukan masalah.”
Tapi ketika seorang mahasiswi mengunggah meme, hukum langsung datang kepadanya dan mengatakan, “Kamu melanggar susila.”
Pertanyaannya, mengapa yang satu dianggap pantas dipenjara, dan yang lain dianggap baik-baik saja dan boleh diabaikan?
Dan karena yang menciduk si mahasiswi ITB itu adalah polisi, yang memiliki slogan “Polri Presisi”, kita patut bertanya apa yang sedang diukur oleh presisi mereka.
Saya tidak ingin membahas ujaran-ujaran fufufafa lainnya. Saya hanya ingin bertanya: Jika hukum dijalankan secara “presisi”, mengapa penistaan terhadap seorang perempuan Papua, penghinaan terhadap para buruh, ejekan terhadap orientasi seksual seseorang, dan penghinaan vulgar terhadap kandidat presiden (yang sekarang sudah menjadi presiden) tak pernah disentuh aparat?
Mengapa polisi hanya sigap menghajar pengunggah meme, yang menyampaikan kritik terhadap perilaku kekuasaan, dengan pasal berlapis, penangkapan, dan pemidanaan?
Mengapa hukum tidak bertindak presisi ketika rakyat—wanita Papua, para buruh, putra Prabowo, dan Prabowo sendiri—dihina begitu rupa oleh fufufafa?
(*)