“Di mana mereka itu, wahai Rasulullah?” “Di Baitul Maqdis dan sekitarnya”

Aku membaca sabda Nabi ﷺ:

“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tampil di atas kebenaran, menang terhadap musuh-musuh mereka. Mereka tidak akan terlukai oleh siapa pun yang mengkhianati mereka, kecuali oleh penderitaan yang mereka alami. Dan mereka akan tetap seperti itu hingga datang ketetapan Allah.”

Para sahabat bertanya: “Di mana mereka itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “𝗗𝗶 𝗕𝗮𝗶𝘁𝘂𝗹 𝗠𝗮𝗾𝗱𝗶𝘀 𝗱𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗸𝗶𝘁𝗮𝗿𝗻𝘆𝗮.”

Dalam sabda itu, aku merasakan pahitnya rasa dikhianati—saat seseorang merasa terputus dari akar pohonnya. Yang mengherankan, Nabi ﷺ tidak berkata “tidak akan membahayakan mereka orang yang memusuhi mereka”, karena musuh memang wajar jika menyakiti. Tapi beliau berkata: “𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗵𝗮𝘆𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗸𝗵𝗶𝗮𝗻𝗮𝘁𝗶 𝗺𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮”, sebab pengkhianatan itu datang dari pihak yang seharusnya menjadi harapan kebaikan.

Betapa pedihnya:
- Saat mereka kehausan, sementara sungai-sungai mengalir di negeri-negeri saudara mereka.
- Ketika ambulans mereka tak lagi bisa bergerak karena kehabisan bahan bakar, padahal bangsa mereka termasuk yang terkaya akan minyak.
- Ketika mereka kelaparan, dan tak satu pun makanan masuk kecuali dengan izin musuh.
- Ketika mereka dihujat dari mimbar-mimbar, kadang atas nama gegabah, kadang atas nama bid’ah.
- Saat media massa mengoyak mereka tanpa menghargai pemandangan kepahlawanan mereka, bahkan tak menghormati jenazah-jenazah mereka.
- Saat tubuh mereka disayat oleh pena-pena, sungguh menyakitkan ketika tinta ingin menundukkan darah!
- Ketika kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi berkumpul untuk mengajari mereka akidah, wala', dan bara'!

Dan betapa menyedihkan, ketika kelompok-kelompok yang seluruh riwayat perjuangannya hanya berupa 𝗹𝗶𝗺𝗮 𝗿𝗶𝗯𝘂 𝗽𝗲𝗿𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮𝗮𝗻 𝘀𝗶𝗸𝗮𝗽 𝘀𝗲𝗷𝗮𝗸 𝗯𝗲𝗿𝗱𝗶𝗿𝗶, kini merendahkan orang-orang yang dalam satu hari saja mampu meluncurkan lima ribu roket!

Namun satu kata dari Nabi ﷺ cukup untuk mengubah semua pahitnya pengkhianatan itu menjadi manisnya keteguhan:
“Tidak akan membahayakan mereka!”

Aku yakin bahwa jihad ini akan terus berlanjut, dan tak akan terhenti oleh pengkhianatan orang terdekat, atau oleh kejahatan musuh. Sejarah sedang ditulis hari ini, dan sejarah tidak akan memaafkan siapa pun!

Jika daging mereka dilahap di atas mimbar-mimbar, ingatlah bahwa dahulu 𝗲𝗻𝗮𝗺 𝗽𝘂𝗹𝘂𝗵 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗳𝗮𝘁𝘄𝗮 𝗵𝗮𝗹𝗮𝗹 𝗱𝗮𝗿𝗮𝗵 𝘁𝗲𝗿𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽 𝗜𝗺𝗮𝗺 𝗔𝗵𝗺𝗮𝗱 𝗯𝗶𝗻 𝗛𝗮𝗻𝗯𝗮𝗹! Kini, mereka semua telah lenyap ke tempat sampah sejarah, sementara nama Imam Ahmad tetap hidup abadi dengan huruf-huruf bercahaya.

Jika mereka dicabik oleh pena-pena jahat, ketahuilah bahwa surat kabar Barqah pada hari ketika Umar al-Mukhtar ditangkap, menulis dengan huruf besar:
“Telah ditangkap pemimpin pemberontak, Umar al-Mukhtar!”

Kini orang-orang yang menulis berita itu telah sirna, namun nama Umar al-Mukhtar tetap bersinar cemerlang!

Jika kelompok-kelompok dan partai-partai mencela mereka, ketahuilah bahwa itulah tabiat orang yang duduk: 𝗶𝗮 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮 𝘁𝗲𝗿𝗴𝗮𝗻𝗴𝗴𝘂 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗽𝗲𝗿𝗷𝘂𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗶 𝗽𝗲𝗷𝘂𝗮𝗻𝗴.

Mereka melihat lubang pada jubahnya, dan 𝘀𝗶𝗮𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗲𝗺𝗮𝗵 𝗮𝗺𝗮𝗹𝗻𝘆𝗮, 𝗽𝗮𝗻𝗷𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗶𝗱𝗮𝗵𝗻𝘆𝗮!

Tak seorang pun selamat dari celaan manusia, bahkan Nabi dan para sahabat pun tidak. Ingatlah: pernah ada masa dalam sejarah umat ini di mana kaum Khawarij menganggap Ali bin Abi Thalib kafir dan halal darahnya!

Mereka pun akhirnya sirna ke tong sampah sejarah, dan Ali bin Abi Thalib kini berada di surga, berdekatan dengan kekasihnya, Nabi Muhammad ﷺ.

Ini adalah hari-hari yang akan berlalu, entah panjang atau lebar waktunya. Kebenaran akan keluar dari masa-masa ini dalam keadaan terluka, namun ia akan segera mengobati lukanya, dan akan melanjutkan jalannya tanpa peduli dan tanpa menoleh ke belakang.

Dan di sisi Allah lah, tempat kita semua akan bertemu.

(Abu Abdillah)

Baca juga :