KETIKA EROPA MENOLAK ANGKA NOL (0)
Coba bayangin hidup tanpa angka nol.
Mau nulis “2024” tapi gak ada tanda buat tempat kosong. Jadinya? Pusing.
Zaman Romawi, angka ditulis pakai huruf: C = 100, M = 1000, V = 5.
Mau nulis 204? Ribet.
Mau ngitung 1.000.000? Tambah mumet.
Angka makin besar, otak makin nyerah.
Orang zaman dulu harus pakai tulisan panjang dan rumit yang bikin bingung pembacanya. Kalau hitungannya mau ditambah atau dikalikan, harus pakai alat bantu seperti batu kerikil atau tongkat, yang bikin prosesnya lama dan rentan salah.
Dan ya, ini beneran kejadian dulu sebelum angka nol masuk.
Nol awalnya dari India, cuma tanda kosong doang (shunya: istilahnya). Nol saat itu belum terbilang angka dan bisa dihitung. Tapi ini sudah menjadi titik awal kemajuan manusia.
Tapi yang ngasih nyawa ke nol itu ilmuwan Muslim: Al-Khawarizmi. Dia gak cuma pakai nol, tapi juga ngenalin konsep angka tempat, sistem desimal.
Sederhananya gini:
Ilmuan India:
Nol (shunya) hanya pembantu posisi, seperti angka 102 menunjukkan “tidak ada puluhan.”
Ilmuan Islam:
Nol (sifr) diangkat jadi angka penuh, bisa dipakai dalam operasi hitung (ditambah, dikali, dll), dan menjadi bagian dari sistem bilangan desimal yang lengkap.
Nama Sifr (nol versi Arab) ini kelak dialih bahasakan oleh orang eropa sebagai Ciper, bahkan sampai hari ini dipakai di Crypto.
Kembali lagi, soal Khawatizmi beliau membuat kitab matematika yang sampai hari ini masih jadi pondasi matematika dunia:
“Al-Kitab al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabalah.”
Selain itu juga menulis,
“Kitab al-Jam’ wal-Tafriq bi Hisab al-Hind”
Yang artinya: Buku Penjumlahan dan Pengurangan Berdasarkan Perhitungan India.
Dari sinilah matematika modern lahir.
Tapi Eropa waktu itu? Panik.
Angka bulat (0), bentuknya kayak lubang neraka, asalnya dari kaum “Saracen” (sebutan mereka buat Muslim).
Langsung dicap: “Angka iblis!”
Beberapa kota di Italia larang pakai angka nol buat pencatatan dagang.
Alasannya? Gampang dipakai nipu.
Tapi sebenernya? Karena mereka gak ngerti. Takut sama ilmu dari Timur.
Lucunya, sekarang…
Dan sebuah fakta tak terbantahkan
Tanpa angka 0, gak ada komputer.
Gak ada kalkulator.
Gak ada Google.
Dan kamu wahai anti Islam, nggak bisa maen hp, gak bisa main AI sekarang.
Nama Al Khawarizmi sama orang Eropa hari ini diabadikan menjadi salah satu kawah di bulan.
Namanya dipuji oleh para matematikawan seperti George Sarton, Fredick Rosen dll.
Dan jangan lupa, semua ini bukan terjadi karena kebetulan atau sekadar rasa ingin tahu.
Kemajuan ini lahir karena syariat Islam sendiri yang mewajibkan umatnya melek hitungan.
Shalat harus dihitung waktunya. Warisan harus dibagi dengan rumus matematis. Puasa dan zakat ditentukan berdasarkan tahun, perhitungan bulan, dan kadar harta. Bahkan penentuan arah kiblat dan kalender hijriyah pun butuh astronomi dan geometri.
Ilmu hisab, falak, waris, muamalah, bahkan jihad, semua menuntut kemampuan berhitung.
Maka tak heran jika umat Islam terdorong bukan hanya untuk sekadar paham angka tapi menciptakan sistem bilangan, menyempurnakan matematika, dan membuka jalan bagi revolusi ilmu pengetahuan dunia.
(Ngopidiyyah)