Oleh: Rudi Wahyudi
Pesan politik dari BPIP kemarin, orang berjilbab "haram" mengibarkan bendera. Kemerdekaan ini bukan milik orang beragama yang jilbaban, kemerdekaan ini hanya boleh dirayakan oleh kaum Nasionalis-Sekuler, bukan oleh kalangan pesantren, santri, dan kaum nasionalis-relijius lainnya.
Jilbab itu sektarian, tidak mau melebur dalam kehidupan berbangsa, jilbab itu anti-nasionalisme.
Sebisa mungkin singkirkan jilbab dari ruang-ruang publik berbangsa dan bernegara.
Belum lagi narasi kebencian, diskriminatif, rasis dari kaum "Jawa Fasis" (istilah ini tidak mewakili Jawa Toleran) yang seakan-akan Indonesia itu harus Jawa ala Mataram, kebaya, sanggul, dll.
Kaum "Jawa Fasis" ini lebih mirip disebut Islamophobia daripada pecinta budaya. Selain mereka sendiri sehari-hari berbudaya barat, mengenakan kemeja, jas, sepatu pantofel, jeans, dll.
Yang selalu mereka serang pasti simbol-simbol agama Islam saja, simbol budaya lain mereka bisu, apalagi simbol budaya barat.
Ya, mereka lebih mirip kaum-kaum yang dulunya adalah antek-antek kompeni yang biasa dipakai menindas rakyat sebangsanya sendiri. Yang tidak rela kehilangan status priyayinya lalu ngamuk-ngamuk gak jelas. Biasanya orang-orang seperti ini kalau ditelusuri bacaannya gak jauh-jauh referensinya dari Kitab Darmogandul dan Gatoloco yang bersumber dari Babad Kediri, naskah palsu bikinan Belanda yang sumbernya dukun dan orang kesurupan.
Orang-orang seperti ini, dan sebagian non-muslim yang gembira (tidak semua non-muslim) bila simbol-simbol agama Islam dijauhkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah benalu-benalu bagi persatuan Indonesia.
Mereka-merekalah yang harus dibuang dari kehidupan berbangsa dan bernegara ini karena hanya akan menyebabkan perpecahan semata.
Wallahu a'lam.