KOALISI PALOH-PRABOWO HANCURKAN DINASTI POLITIK JOKOWI
Oleh: Faisal Lohy
Jokowi memang pandai menjepit Megawati dan PDIP. Dua serangan paling mematikan yakni lewat terungkapnya kasus BTS dan Korupsi Timah Rp 271 triliun. Tapi Jokowi justru dibuat tak berdaya oleh Surya Paloh. Cemas, khawatir, panik. Itulah yang sedang dialami Jokowi dan kroni Istana.
Manuver politik Surya Paloh yang mendekat ke Prabowo, dinilai sebagian besar kalangan sebagai bentuk kekalahan dan tunduknya Surya Paloh terhadap Prabowo.
Tidak. Justru disitulah letak kecerdasan politik Surya Paloh. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, Paloh mengerti isi pikiran dan langkah politik Prabowo pasca dilantik nanti.
Bahwa Prabowo tidak ingin menjadi presiden boneka yg dikendalikan dinasti Jokowi pasca dilantik pada 20 Oktober mendatang. Tanda keretakan Prabowo dan Jokowi sudah terlihat bahkan mulai membesar saat dirinya memberanikan diri mengutus Bahlil mengambil alih pucuk pimpinan Golkar dari tangan Airlangga.
Selain itu, Jokowi juga mengerahkan ketua partai pendukung Paslon 02, baik yang parlemen maupun non-parlemen untuk mendorong pembentukan koalisi besar di Parlemen.
Ditargetkan 7 dari 9 partai pemenang pemilu 2024, masuk dalam koalisi besar pendukung kekuasaan baru. Dimana Jokowi mendorong agar dirinya menjadi ketua tim koalisi besar tersebut.
Tentu saja Prabowo menolak. Jika Jokowi berhasil menjadi ketuanya, maka Jokowi yang akan menjadi pengendali utama kekuatan politik besar di parlemen.
Itu artinya, Jokowi akan mengendalikan setiap kebijakan politik Prabowo yang dibawa masuk untuk mendapatkan persetujuan di parlemen. Secara politik, ini akan menjadi instrumen bagi Jokowi untuk mengendalikan Pemerintahan Prabowo.
Jelas saja prabowo menolak. Prabowo menginginkan koalisi yang bisa dikendalikannya bukan mengendalikannya.
Keresahan Prabowo disambut Surya Paloh. Dengan cerdas, Paloh melakukan manuver yang semakin mendekatkan dirinya dengan Prabowo. Itulah mengapa, Paloh menjadi salah satu pimpinan parpol pertama yang mendeklarasikan dukungan dan penerimaan secara terbuka terhadap keputusan KPU yang menetapkan Prabowo sebagai presiden terpilih pada 20 Maret kemarin.
Di saat yang sama sama, Paloh lewat Nasdem menjadi pihak terdepan yang mendukung Anies - Cak Imin melangkah ke MK untuk menggugat kemenangan Prabowo.
Nampak ambivalen. Sikap politik yang tidak konsisten. Namun itulah kecerdasan Paloh. Di satu sisi merangkul dan mendukumg kemenangan Prabowo. Di sisi yang lain, menggedor MK untuk menyerang aktor kecurangan pemilu.
Dengan langkah politik seperti ini, apa yang ingin dikejar Paloh?
Paling pertama, menggiring opini hukum untuk membawa pikiran kritis masyarakat ke puncak klimaksnya. Bahwa Jokowi adalah aktor utama Perusak demokrasi Indonesia.
Siapapun yang berkuasa, siapapun yang jadi presiden, Prabowo atau siapapun itu, asal jangan kekuasaan baru tersebut tidak dikendalikan kepentingan Jokowi dan dinasti politiknya.
Papan catur politik Paloh tambah mendidih, saat pihak Anies-Muhaimin mendesak para hakim MK untuk memanggil saksi dari kalangan sejumlah menteri kabinet Jokowi.
Diantara sederet nama menteri yang diusulkan untuk dipanggil, nama menteri keuangan Sri Mulyani, menteri koordinator bidang ekonomi Airlangga Hartato dan Menteri Sosial Tri Rismaharini memiliki posisi paling urgen.
Usulan pemanggilan terhadap Ketiga menteri tersebut merupakan bentuk serangan Paloh yang sangat menakutkan terhadap Jokowi. Berkaitan dengan serangan politisasi dan penyelewengan bansos yang dikendalikan Jokowi sebagai alat politik suap pada pilpres 2024 ini.
Jika langkah politik Paloh di MK ini berjalan sesuai harapan dan disambut oleh rakyat dengan bentuk people power, maka ini akan menjadi pukulan bagi partai-partai koalisi lainnya untuk keluar dari lingkaran setan cawe-cawe Jokowi.
Sesungguhnya, manuver politik Paloh akan lebih maksimal jika didukung oleh PKB, PKS dan PDIP. Bila ketiga partai ini turut merapat ke Prabowo dengan satu skenario yang sama seperti yang sedang dimainkan Paloh dan Nasdem, tentu saja akan menambah tekanan perlawanan untuk proses di MK hingga lebih maksimal menyulit reaksi kecerdasan rakyat. Ujungnya tekanan People Power akan menjadi desakan paksa bagi seluruh partai agar bersatu keluar dari sandera politik cawe-cawe Jokowi.
Jika hal itu terjadi, maka akan terbentuk "common enemy", kesadaran politik bangsa akan terbentuk: bahwa musuh utama rakyat dan Indonesia adalah dinasti politik Jokowi.
Ujungnya, posisi Gibran yang dipaksakan menjadi Wakil Presiden berpotensi tergusur dalam proses di MK. Bilapun tetap lanjut dilantik, maka statusnya akan kebiri tanpa peran strategis seperti bapaknya memperlakukan wapres Ma'ruf Amin selama ini.
Hanya saja, PKB, PKS dan PDI-P tampaknya menyembunyikan skenario lain. Para aktor di lingkaran masing-masing partai masih membangun konsolidasi secara elegan, meracik dan menghitung setiap kalkulasi untuk melakukan manuver teehadap Jokowi dan Gibran.
Pada akhirnya rakyat akan menyaksikan. Bahwa peta politik saat ini sedang mengarah pada negosiasi setiap parpol untuk berjalan berbarengan, lepas dari kendali cawe-cawe politik Jokowi.
Proses di MK adalah satu-satunya jalan dan satu-satunya harapan bagi semua elit dan partai, bukan hanya Paloh dan Prabowo untuk memutus mata rantai kendali dinasti Politik Jokowi terhadap kekuasaan baru yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang.
(*)