Kenapa Saya Menolak Kontes-kontes Kecantikan
Pertama-tama, jelas bukan karena saya ekstrem kanan. Sama sekali tidak. Percayalah, tere-liye bukan golongan radikal, fundamentalis, dan sejenisnya.
Kedua, jelas bukan karena saya tidak suka dengan tampilan cantik, indah, asri, cerdas, elegan, dsbgnya. Saya menyukai keindahan (bahasa), dll, apapun yg indah itu menakjubkan.
Saya menolak kontes kecantikan karena sederhana saja, hei! Kalian sudah baca novel "Tentang Kamu"? "Dia Adalah kakakku"?
Saya ini menghabiskan banyak waktu untuk menulis, bahwa hidup ini bukan soal kecantikan. Apalagi kemewahan semata yang terlihat di TV, medsos, Tik Tok, website, koran-koran, dsbgnya. Hidup ini soal hati yang baik, niat yang tulus. Bacalah kisah Sri Ningsih, Kak Laisa, yg menghabiskan seluruh hidupnya demi keluarganya, mereka tidak cantik, tidak berpendidikan, tapi orang seperti mereka berharga.
Maaf, saya tidak percaya sedikit pun dengan argumen bahwa kontes kecantikan membawa manfaat bagi dunia. Meski mulut pesertanya buncah bilang tentang kedamaian, berbagi, dsbgnya. Kontes ini tidak lebih acara komersil tok.
Kalian itu nyadar nggak sih. Industri kosmetik, skincare, kecantikan itu crazy. Budaya topeng yang instan, 'tipu-tipu', dsbgnya. Dunia terpesona oleh sihir konsumerisme. Pencitraan. Bahkan urusan foto dan video saja, pakai filter, diambil berkali-kali, barulah diposting yg menurut kita paling bagus.
Saya menolak kontes kecantikan ini. Termasuk kontes cantik-cantikan berjilbab, kontes muslimah, seolah religius, dll, apapun itu bentuknya yg melombakan kecantikan wajah dan fisik, mau dibungkus apapun, sama saja. Itu tdk lebih ajang bisnis, ajang populer, menarik massa dan tujuan dunia lainnya.
Silahkan saja jika kalian punya pendapat berbeda, pun mau ikutan lomba-lomba ini. Tapi sst, jangan salahkan siapapun jika kamu merasa di-eksploitasi, dll. Lah, nyadar nggak ini acara apa? Ini adalah acara fisik, wajah, tubuhmu sedang dibanding-bandingkan, dicatat-catat, difoto-foto, dinilai-nilai. Dan kamu happy jejeritan saat menang.
(By Tere Liye)
*NB: tulisan ini diposting pertama kali 2012, alias 11 tahun lalu, di-repost dgn diedit sedikit utk penyesuaian konteks hari ini, sdh ada Tik Tok dkk.