MELURUSKAN SEJARAH PANCASILA

MELURUSKAN SEJARAH PANCASILA

Oleh: Dr. Adian Husaini

Sekali waktu, tanyakan pada anak-anak kita, “Kapan Pancasila lahir?” Mungkin mereka akan menjawab tegas, “Tanggal 1 Juni!” Jawaban itu tidak mengejutkan. Sebab, memang itu diajarkan di sejumlah buku Pelajaran Kewargaan Negara. 

Alkisah, pada 1 Juni 1945, untuk pertama kalinya, istilah “Pancasila” disebutkan oleh Bung Karno dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada hari itu, di forum BPUPK, Bung Karno mengusulkan rumusan dasar Negara Negara, yang terdiri atas lima sila: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.  

Jadi, benar! Untuk pertama kalinya istilah Pancasila diangkat oleh Bung Karno pada 1 Juni. Tapi, faktanya, tiga hari sebelum pidato Bung Karno itu, yakni pada 29 Mei 1945, anggota BPUPK lainnya, Mr. Muhammad Yamin, sudah terlebih dahulu menyampaikan pidatonya yang juga memuat “lima asas” dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu (1) peri kebangsaan (2) peri kemanusiaan (3) peri-Ketuhanan (4) peri kerakyatan dan (5) kesejahteraan rakyat. 

Tidak ada perbedaan fundamental antara rumusan “lima asas”  Yamin dengan “lima dasar”  Soekarno. Panjang naskah pidatonya pun sama, yaitu 20 halaman. Karena itulah, B.J. Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), menyimpulkan bahwa “The Pancasila was in fact a creation of Yamin and not Soekarno’s.” (Pancasila faktanya adalah karya Yamin dan bukan karya Soekarno).  

Bahkan, tentang nama Pancasila sendiri, diakui oleh Soekarno ia mengkonsultasikan nama itu kepada seorang ahli bahasa, yang tidak lain adalah Muhammad Yamin. Dalam buku Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila (Inti Idayu Press, 1984) disebutkan, bahwa Soekarno pada tahun 1966 mengakui, kata “sila” adalah sumbangan Yamin, sedangkan kata “Panca” berasal dari dirinya. (Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: GIP, 1997),hal. 18-19). Juga, Restu Gunawan, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hal. 48-50). 

Jadi, peringatan kelahiran Pancasila pada 1 Juni dan menyandarkannya pada Bung Karno semata, masih perlu penelaahan sejarah yang lebih serius. Bukti-bukti sejarah jutru menunjukkan, bahwa rumusan Pancasila resmi saat ini, sebenarnya lahir pada 18 Agustus 1945. Oleh sebab itu, lebih tepat jika hari lahir Pancasila disebut tanggal 18 Agustus 1945. Tanggal 1 Juni adalah peringatan Pidato Bung Karno yang mengungkapkan istilah Pancasila, dan bukan Hari Lahir Pancasila, sebagaimana rumusan saat ini. 

Bahkan, embrio rumusan resmi Pancasila sebenarnya sudah ditetapkan oleh Panitia Sembilan BPUPK, yaitu Pancasila versi Piagam Jakarta (Pembukaan UUD 1945). Bedanya dengan rumusan resmi, hanya  terletak pada “tujuh kata” pada sila pertama, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Jadi, Pancasila sebenarnya bukanlah rumusan seorang Bung Karno sendirian. Pancasila saat ini adalah hasil kesepakatan tokoh-tokoh bangsa yang memiliki berbagai aspirasi ideologis, termasuk para tokoh Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan di BPUPK, yaitu KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Muzakkir

Tokoh Masyumi, Mr. Mohamad Roem pernah mengingatkan kekeliruan pengkultusan seseorang dalam soal perumusan dan pemaknaan Pancasila. Di masa Orde Lama (1959-1965), pemikiran Soekarno banyak dijadikan sebagai tafsir baku terhadap Pancasila. Soekarno ditempatkan sebagai penafsir tunggal atas Pancasila. Padahal, menurut Mr. Mohamad Roem, Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, bukan lagi merupakan pikiran Soekarno semata. Ia telah merupakan buah pemikiran para anggota BPUPK, khususnya yang tergabung dalam Panitia Kecil (Panitia Sembilan).  (Dikutip dari makalah Mohamad Roem, Lahirnya Pancasila, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).

Adil dan Beradab

Tentu saja, ada perbedaan mendasar antara rumusan Pancasila versi 1 Juni 1945 dengan Pancasila rumusan resmi saat ini. Ambil contoh rumusan sila kedua. Rumusan Soekarno (Internasionalisme atau Perikemanusiaan) maupun Yamin (perikemanusiaan), sangat berbeda dengan rumusan resmi: Kemanusiaan yang adil dan beradab. 
Rumusan resmi itu membuktikan, bahwa Pancasila tidaklah berasal dari zaman nusantara sebelum-Islam. Sebab, istilah “adil” dan “adab” baru dikenal oleh seluruh manusia di wilayah Indonesia dan Nusantara, setelah kedatangan Islam. Kata “adil” dan “adab” termasuk sebagian dari istilah-istilah pokok dalam Islam yang dipahami secara universal oleh kaum Muslimin di mana pun (Islamic basic vocabularies). Sama dengan istilah “hikmah” dan “musyawarah”. 

Jika belum yakin dengan paparan ini – dan anda masih percaya bahwa Pancasila adalah produk asli bumi Indonesia dari zaman pra-Islam --   silakan mencoba menerjemahkan seluruh sila Pancasila ke dalam bahasa Jawa dan bahasa daerah lainnya!

Jadi, soal kemanusiaan, misalnya, sudah mengalami perubahan mendasar, dengan penambahan kata ”adil” dan ”beradab”. Dalam Islam, adab merupakan konsep pokok yang menentukan jatuh bangunnya suatu masyarakat. Imam as-Syafi’i, pernah ditanya, bagaimana dia mengejar adab. Ia menjawab, ”Aku akan selalu mencarinya seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.” 

Sesuai sila keempat, misalnya, rakyat Indonesia harusnya selalu berusaha mencari bimbingan hikmah; bukan suara terbanyak; bukan bimbingan klenik atau takhayul. Jika para pemimpin Indonesia mau mengamalkan Pancasila, harusnya mereka lebih menerima kebenaran wahyu, ketimbang konsep klenik.   

Kita berharap, pengambil kebijakan tidak keliru memahami dan meletakkan Pancasila pada tempatnya. Pancasila jangan sampai menggantikan peran agama sebagai worldview maupun pedoman dalam beramal. Jangan bertanya, apa konsep Tuhan menurut Pancasila. Sebab, konsep Tuhan sudah dijelaskan oleh agama. Juga, jangan lagi menjadikan Pancasila sebagai konsep dalam beramal. Jangan pernah bertanya, bagaimana cara makan, minum, dan gosok gigi menurut Pancasila! 

Sebagai Muslim, kita nasehati anak kita, “Singkirkan duri di jalan, sebab itu anjuran Rasulullah saw”. Kita tidak menasehati anak kita, “Singkirkan duri di jalan, sebab itu sesuai sila kedua Pancasila.”  

Wallahu a’lam bil-shawab.


Baca juga :