Krisis Sex?

𝐊𝐫𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐒𝐞𝐱?

Berlalu di media lokal bahwa Pemerintah Jepang menggelontorkan dana senilai US$ 26milyar (Rp 385trilyun) karena panik akibat terjadinya "krisis sex". [lihat: Gambar #1]

Well, media lokal memang suka menulis headline bombastis, yang terjadi bukanlah "krisis sex", karena orang Jepang tetap saja melakukan sex (namun bahasan ini bukan sekarang dan di sini), tetapi yang terjadi adalah Pemerintah Jepang sampai menganggarkan senilai US$ 26milyar (Rp 385trilyun) untuk "child care" dan "parenting support". [lihat: Gambar #2]

Anggaran besar itu adalah akibat menurunnya Fertility Rate perempuan Jepang ke level 1,2565. [lihat: Gambar #3]
Apa arti Fertility Rate 1,2565 itu?

Artinya setiap perempuan Jepang (di usia produktif) secara rata-rata dianggap punya 1,2565 anak.

Belum terbayang?

Begini, coba bayangkan seorang pria menikāh dengan seorang perempuan, lalu si perempuan itu hanya punya 1 anak. Artinya jumlah keluarga itu berkurang atau bertambah?

Nah, lipat gandakan keluarga yang cuma punya satu anak ini ke RT, lalu RW, lalu Kelurahan, Kecamatan, dst sampai ke level Negara, maka artinya tidak bisa tidak melainkan jumlah populasi yang terus menurun. Ya iyalah, kalau dibayangkan terjadi di 3 level saja pada 2 keluarga asal… dari 4 orang (2 pria 2 perempuan), lalu punya 2 anak (laki dan perempuan), lalu cuma punya 1 anak. Maka apa tak akan habis masyarakatnya?

Makanya sustainable Fertility Rate itu menurut para ahli Demografi adalah di level 2,07, yang artinya populasinya tidak meningkat, dan tidak menurun.

Populasi menurun itu akan berakibat decaying society, di mana piramida demografinya pasti akan jadi terbalik. Generasi tua lebih banyak dari generasi muda. Sehingga beban social care jadi luar biasa bagi golongan usia produktif.

Ini bukan hanya terjadi di Jepang saja, bahkan Korea Selatan itu sudah sangat parah dengan Fertility Rate-nya di level 0,78. [lihat: Gambar #4]
Ini tidak hanya terjadi di Jepang, Korea Selatan, tetapi juga di Singapura, Hongkong SAR, dan Taiwan.

Data bisa dilihat di:

Oya, krisis anak juga dialami oleh RRC…

Iya RRC, dan RRC itu sudah lama meninggalkan "One Family One Child Policy"-nya karena terlalu sukses. Pemerintah RRC takut akan mengalami decaying society, sehingga mereka meluncurkan program menganjurkan warganya untuk menikāh dan punya anak, sampai berusaha menciptakan lingkungan yang kondusif agar perempuan mau punya anak. [lihat: Gambar #5]

Tak sampai di situ, bahkan Pemerintah RRC membuat program agar perempuan yang tak menikāh bisa membekukan sel telurnya untuk suatu saat dibuahi. [lihat: Gambar #6]

👉Jadi yang sebenarnya kita lihat ini adalah pembatasan kelahiran oleh Negara yang kebablasan, sehingga warga tak mau lagi punya anak… ya apalagi kalau bukan akibat biaya membesarkan anak yang jadi sangat mahal.

Makanya di dalam Islām, Family Planning itu bukanlah dengan membatasi jumlah anak, akan tetapi mempersiapkan generasi penerus yang kuat secara àqīdah dan ìlmu, santun adabnya, serta memiliki ġīroh keagamaan yang tinggi.

Bukankah Baginda Nabī ﷺ‎ mengatakan:

تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ

“Nikāhilah perempuan yang penyayang dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sungguh aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan ummat-ummat (yang terdahulu).”

(Arsyad Syharial)

Baca juga :