Anies vs Ganjar: Nasionalis Islam vs Nasionalis Sekuler

Anies vs Ganjar: Nasionalis Islam vs Nasionalis Sekuler

OLEH: NUIM HIDAYAT

Dari berbagai survei politik yang dilakukan berbagai lembaga, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo selalu di nomor-nomor atas untuk calon presiden. Keduanya ‘masih muda’ dan punya talenta kepemimpinan yang kuat.

Bila banyak kalangan Islam mencalonkan Anies sebagai capres 2024, maka kalangan sekuler banyak yang mencalonkan Ganjar Pranowo untuk Capres 2024. 

Anies mempunyai kelebihan pemahaman agama, intelektualitas, manajemen dan komunikasi publik. Begitu pula dengan Ganjar. Ganjar hanya ‘kalah’ dengan Anies di bidang pemahaman agama (Islam).

Bagaimana bila Anies dan Ganjar bertarung di Pilpres 2024? Sebelum menganalisanya kita melihat dulu profil keduanya.

Anies Baswedan

Anies yang sudah menduduki orang nomor satu di ibu kota ini memang “The Rising Star.” Prestasi-prestasi sepanjang hidupnya membanggakan, baik dalam bidang akademik maupun organisasi. Dalam buku “Petarung Politik: Profil Capres dan Cawapres RI 2014” (karya Yugha Erlangga dan Tim Divaro) diceritakan :

“Menginjak usia remaja, Anies telah menampakkan kualitasnya sebagai pemimpin. Ia tumbuh menjadi pemuda aktif. Selain pernah menjadi Ketua OSIS ketika duduk di bangku SMA 2 Yogyakarta, ia ikut serta dalam program pertukaran pelajar AFS ke Amerika. Memasuki bangku kuliah, Anies melanjutkan pendidikan ke Fakultas Ekonomi UGM di tahun 1989.

Sebagai aktivis mahasiswa, Anies memilih ‘jalan lain’. Ketika sebagian besar aktivis lekat dengan kegiatan demonstrasi, sejak awal Anies memilih dunia penelitian. Sejak mahasiswa ia aktif menjadi peneliti di PAU (Pusat Antar Universitas) UGM. Ia juga mendalami jurnalisme melalui Tanah Merdeka, sebuah komunitas kreatif anak muda yang ditukangi oleh Ishadi SK yang ketika itu menjadi Kepala TVRI Yogyakarta. Melalui wadah itu, Anies mewawancai beberapa narasumber penting (di antaranya: Mendikbud Fuad Hasan dan Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto –red).

Anies pernah terlibat dalam penelitian tataniaga Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh (BPPC) yang dikendalikan anak kesayangan Soeharto yakni Tommy Soeharto. Penelitian itu menunjukkan telah terjadi penyimpangan besar yang menindas rakyat kecil. Anies berkeliling pabrik cengkeh di Indonesia untuk menelitinya. Ia menelusuri dan mengobservasi secara detail bagaimana BPPC melakukan praktik korupsi tersebut mulai dari pemetikan cengkeh, diayak, dihitung kandungan airnya hingga proses penjualan ke industri rokok.

“Penelitian ini kami bagi-bagikan. Hasilnya luar biasa. Ini membuat aktivis bisa berbicara dengan legitimasi akademik yang tidak terbantahkan. Tidak ada siapapun yang bisa membantah hal itu. Aktivitas yang semangatnya perlawanan terhadap Soeharto,” kata Anies.

Anies tidak terlalu suka memperjuangkan ide-ide perlawanan mengandalkan retorika ala demo di jalanan. Menurutnya hal itu hanya akan menjadi bulan-bulanan Orde Baru dan hanya akan membuahkan popor senjata aparat. Karena itu ia lebih senang melakukan perlawanan berbasiskan metode ilmiah seperti riset. Namun bukan tidak ada ‘aksi jalanan’ yang digalang Anies ketika mahasiswa. Pada tahun 1994, Anies sempat terjungkal karena dipopor tentara saat berdemonstrasi di lingkungan kampus UGM.

Anies terpilih sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM. Anies meraih beasiswa dari Japan Airlines Foundation untuk kuliah musim panas bidang Asian Studies di Universitas Sophia, Tokyo, Jepang. Pada tahun 1995, Anies menyelesaikan studinya di UGM. Cita-citanya sederhana, mengabdi di kampus sebagai dosen. Ketika itu banyak yang menyarankannya menempuh pendidikan master terlebih dahulu. “Kalau sudah master sulit untuk ditolak, maka tidak akan ada kesempatan lagi,” kenang Anies.

Anies pun memulai langkahnya berburu beasiswa. Berkat beasiswa Fullbright, Anies dapat meneruskan S2 dan S3nya di AS. Gelar Masternya di bidang International Security and Economic Policy dari Universitas Maryland dan Doktornya ia rampungkan di Departemen Ilmu Politik, Universitas Northern Illinois. Sewaktu kuliah, dia dianugerahi Wiliam R Cole III Fellow di Maryland School of Public Policy, ICF Scholarship and ASEAN Student Award.

Di Amerika ia juga aktif di dunia akademik dengan menulis sejumlah artikel dan menjadi pembicara dalam berbagai konferensi. Ia banyak menulis artikel mengenai desentralisasi, demokrasi dan politik Islam di Indonesia. Artikel jurnalnya yang berjudul ‘Political Islam: Present and Future Trajectory’ dimuat di Asian Survey, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas California. Artikel ‘Indonesian Politics in 2007: The Presidency, Local Elections and The Future of Democracy‘ diterbitkan oleh BIES, Australian National University.

Anies Baswedan lahir pada 7 Mei 1969 di Kuningan, Jawa Barat. Ia menikah dengan Ferry Farhati, S.Psi, M.Sc dan dikaruniai tiga anak: Mutiara Annisa, Mikail Azizi, dan Kaisar Hakam.

Berbagai pengalaman organisasi dan karier Anies Baswedan dapat dilihat sebagai berikut: Rektor Universitas Paramadina (2007-2015), Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Ketua Yayasan Indonesia Mengajar (2009-2013), Ketua Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (2013), Tim Verifikasi Fakta dan Hukum untuk Kasus Dugaan Kriminalisasi Pimpinan KPK Bibid Samad Riyanto dan Chandra Hamzah (2010)…”

Banyak prestasi internasional yang telah ditorehkan Anies, di antaranya: Gerald Maryanov Award, 100 Intektual Publik Dunia, Young Global Leaders, 20 Tokoh Pembawa Perubahan Dunia, dan lain-lain. Ketika menjabat sebagai gubernur, Anies meraih sedikitnya 19 penghargaan. Di antaranya: Honorable Mention yang diraih pada Sustainable Transport Award 2020, penghargaan dari Kemenag atas Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan di DKI Jakarta, pembina BUMD Terbaik 2020, peraih Juara Pertama dalam kompetisi nasional dalam bidang TIK dari Kemenkominfo RI melalui Aplikasi Jakarta Kini (JAKI), Juara Sustainable Transport Award 2021 atas pengembangan Program Integrasi Antarmoda Transportasi Publik dan lan-lain.

Anies adalah pemimpin yang dibutuhkan Indonesia 2024 nanti. Saleh, cerdas, kreatif dan mempunyai jiwa kepemimpinan. Anies tidak hanya bisa memimpin, tapi juga dapat memberikan pencerahan setiap kebijakan yang diambilnya. Tentu sebagai manusia ia ada kelemahannya, tapi kelebihannya jauh lebih banyak dari kelemahannya.

Ganjar Pranowo

Ganjar lahir 28 Oktober 1968. Ia adalah Gubernur Jawa Tengah dua periode. Ia menjabat gubernur sejak 23 Agustus 2013. Sebelumnya, ia adalah anggota DPR dari FPDIP periode 2004–2009 dan 2009–2013. Selain itu, Ganjar juga menjabat sebagai Ketua Umum KAGAMA (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada).

Ganjar lahir dari keluarga sederhana di sebuah desa di Karanganyar Jawa Tengah. Ayahnya bernama S. Pamudji dan ibunya bernama Sri Suparni. Ia lahir dengan nama Ganjar Sungkowo. Ia adalah anak kelima dari enam bersaudara. Ayah Ganjar adalah seorang polisi dan sempat ditugaskan untuk mengikuti operasi penumpasan PRRI. Namanya kemudian diganti ayahnya dengan Ganjar Pranowo. Karena Ganjar Sungkowo berarti “Ganjaran dari Kesusahan/Kesedihan.”

Ganjar kecil sudah menunjukkan jiwa kepemimpinan. Saat SD ia selalu terpilih menjadi ketua kelas. Memasuki SMP, keluarganya pindah ke Kutorarjo untuk mengikuti tempat tugas ayahnya. Selanjutnya, ia bersekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta.

Tamat SMA, Ganjar melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum UGM. Di kampus, ia bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Selama kuliah di UGM, ia mengaku sempat cuti kuliah selama dua semester akibat tidak memiliki biaya untuk perkuliahan. Ganjar juga mengaku memiliki hobi demonstrasi semasa kuliah. Ia pernah mendemo rektor UGM Koesnadi Hardjasoemantri.

Tamat kuliah, Ganjar Pranowo awalnya bekerja di lembaga konsultan HRD di Jakarta yaitu PT Prakasa. Karena pernah aktif di GMNI dan mengagumi Soekarno, maka Ganjar menjadi simpatisan PDI. Tahun 1996, ketika PDI konflik kepemimpinan, Ganjar mendukung Megawati. Ia kemudian memilih berkarier di politik lewat PDI-P yang dipimpin Megawati.

Tahun 2004, Ganjar menjadi anggota DPR menggantikan Jakob Tobing yang ditugaskan Presiden Megawati menjadi duta besar di Korea Selatan. Tahun 2009 ia terpilih menjadi anggota DPR dan dapat menyelesaikan pendidikan masternya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.

Nama Ganjar disorot luas publik karena dugaan aliran dana kepadanya dalam kasus korupsi e-KTP. Nazaruddin selaku mantan Bendahara Umum Partai Demokrat dalam kesaksiannya dicecar soal kucuran dana ke Ganjar Pranowo. Kepada hakim, Nazar berkeyakinan bahwa Ganjar menerima uang dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Bahkan dia mengaku melihat sendiri penyerahan uang kepada Ganjar yang saat itu menjabat Wakil Ketua Komisi II DPR. Ganjar menolak kesaksian Nazaruddin.

Salah satu perbedaan mencolok Ganjar dan Anies adalah dalam masalah radikalisme. Dalam kebijakannya tentang ini, Ganjar mengikuti presiden Jokowi. Ganjar menyatakan, ”Tidak ada toleransi pada kelompok radikal dan penolak Pancasila di negeri ini. Karena ketika kita biarkan, mereka akan menggurita. Mari sama-sama waspada, mari sama-sama menjaga Indonesia.”

Dalam masalah radikalisme ini, Anies hati-hati. Ia tidak pernah menyinggung soal radikalisme. Anies tahu bahwa radikalisme adalah masalah politik. Radikalisme adalah jargon yang dimainkan pemerintah untuk memukul kelompok Islam yang kritis. Maka Anies tidak pernah takut untuk berhubungan dekat dengan para ulama, habaib atau tokoh-tokoh Islam yang dicap pemerintah sebagai radikal.

Titik krusial Anies dan Ganjar adalah dalam masalah radikalisme. Dalam masalah kebijakan menangani aspirasi umat Islam di tanah air. Anies tidak akan meneruskan kebijakan Jokowi yang melarang atau mengkriminalkan organisasi, ulama atau tokoh-tokoh yang kritis kepadanya. Sedangkan Ganjar telah berujar akan meneruskan kebijakan Jokowi dalam masalah ini.

Mayoritas umat Islam di tanah air, terutama tokoh-tokohnya sudah tahu siapa yang dipilih bila dihadapkan pilihan antara Anies dan Ganjar. Mereka ingin memilih presiden yang merangkul umat Islam di Pilpres 2024 nanti. Mereka ingin Anies. Wallahu azizun hakim.

(Sumber: SuaraIslam)
Baca juga :