'Sosok Pemimpin Setelah Jokowi di Tengah Utang China dan Ancaman Ekonomi Global'

OLEH: AGUSTO SULISTIO
Pegiat Media Sosial

SABUK dan Jalan China, Belt and Road Initiative (BRI) atau dikenal dengan istilah one belt, one road (OBOR) adalah proyek infrastruktur global yang telah diumumkan oleh pemerintah China pada tahun 2013.

Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan konektivitas infrastruktur antar negara dengan membangun jaringan transportasi, energi, dan telekomunikasi yang lebih baik di seluruh Asia, Eropa, dan Afrika.

Terkait ini OBOR menawarkan pinjaman besar kepada banyak negara di seluruh dunia untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang dibutuhkan.

Menurut data Kementerian Keuangan Indonesia, hingga akhir tahun 2020, total utang Indonesia dari China sebesar 40,7 miliar dolar AS, termasuk utang yang diberikan melalui inisiatif sabuk dan Jalan China (BRI) atau OBOR. 

Namun, tidak ada data yang spesifik mengenai berapa persentase dari total utang tersebut berasal dari OBOR.

Pemerintah menyatakan bahwa utang tersebut telah digunakan untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur di Indonesia, termasuk jalan tol, pembangkit listrik, dan kereta api, yang diharapkan dapat meningkatkan konektivitas dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Atas pinjaman itu, beberapa pihak telah memperingatkan tentang risiko tersebut dan perlunya kehati-hatian dalam pengelolaannya.

Salah satunya adalah seorang ekonom dan mantan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia yang telah memberikan peringatan tentang risiko pinjaman utang Indonesia dari Inisiatif Sabuk dan Jalan China (BRI)/OBOR.

Dialah DR Rizal Ramli, ia mengkritik pemerintah karena mengambil terlalu banyak pinjaman dari China dengan suku bunga yang tinggi dan berisiko.

Rizal Ramli juga menyatakan kekhawatirannya tentang kondisi-kondisi yang terkait dengan pinjaman tersebut, seperti penggunaan tenaga kerja China, impor bahan baku dari China, dan penggunaan teknologi China yang mungkin tidak cocok dengan kebutuhan Indonesia.

Ia juga menyatakan bahwa Indonesia seharusnya tidak terlalu tergantung pada China dan seharusnya mencari alternatif pinjaman dari sumber lain yang lebih murah dan lebih aman.

Hal yang sama pun disampaikan oleh Bank Dunia, bahwa pada tahun 2018 telah dikeluarkan sebuah laporan yang menyoroti risiko utang Indonesia dari China dan memperingatkan tentang kemungkinan ketergantungan yang meningkat terhadap China.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun urut menyoroti risiko utang ini, dalam beberapa laporan auditnya di tahun 2019, BPK menemukan bahwa Indonesia berisiko terjebak dalam jeratan utang luar negeri yang berlebihan jika tidak dikelola dengan baik.

Namun, di sisi lain, ada juga pihak yang berpendapat bahwa investasi dari China melalui OBOR dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi Indonesia, terutama dalam hal meningkatkan konektivitas infrastruktur dan membuka akses ke pasar baru.

Risiko Terburuk Indonesia

Dari berbagai sumber terpercaya (DR Rizal Ramli dan berbagai sumber lain), bahwa risiko terburuk dari pinjaman Indonesia kepada OBOR atau Inisiatif Sabuk dan Jalan China (BRI) adalah kemungkinan terjebak dalam jeratan utang yang berlebihan dan tidak dapat dikendalikan, yakni:

1. Suku bunga yang tinggi, pinjaman OBOR sering kali memiliki suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pinjaman lainnya, seperti pinjaman dari Bank Dunia atau Asian Development Bank. Bunga ini dapat memperburuk kondisi keuangan Indonesia, apalagi jika perekonomian kita mengalami tekanan.

2. Ketergantungan pada China, pinjaman BRI/OBOR dapat membuat Indonesia semakin tergantung pada China sebagai pemberi pinjaman utama. Ini dapat memperkuat pengaruh politik dan ekonomi China di Indonesia, serta menimbulkan ketidakpastian dalam jangka panjang.

3. Kondisi yang mengikat: Ada kemungkinan pinjaman OBOR dilengkapi dengan kondisi yang mengikat, seperti penggunaan tenaga kerja atau teknologi dari China. Hal ini dapat mengurangi nilai tambah dalam perekonomian Indonesia dan dapat menghambat.

4. Risiko pembayaran, pinjaman BRI seringkali diberikan dalam bentuk proyek infrastruktur, yang dapat menimbulkan risiko pembayaran yang tinggi jika proyek tersebut tidak menghasilkan pendapatan yang diharapkan.

Negara yang Terjebak Utang China

1. Sri Lanka. Sri Lanka menjadi sorotan dunia setelah mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa menyerahkan pelabuhan Hambantota kepada China sebagai bagian dari restrukturisasi utangnya kepada China.

2. Pakistan. Pakistan telah mengambil lebih dari  50 miliar dolar AS pinjaman dari China melalui BRI/OBOR, dan menghadapi risiko tinggi terhadap ketergantungan pada China, serta ketidakpastian ekonomi dalam jangka panjang.

3. Djibouti: Negara kecil di Afrika ini mengambil pinjaman untuk pembangunan pelabuhan, namun menghadapi kesulitan keuangan dan terpaksa menjual sebagian saham pelabuhan kepada China.

4. Montenegro. Negara kecil ini mengambil pinjaman besar dari China untuk membangun jalan tol yang dianggap sangat penting, tetapi mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa merestrukturisasi utangnya.


5. Malaysia telah membatalkan beberapa proyek BRI/OBOR yang dianggap terlalu mahal, termasuk kereta cepat yang dijanjikan oleh China, setelah mengalami perubahan pemerintahan pada tahun 2018.

Pemimpin ke Depan Setelah Jokowi

Tantangan bagi presiden selanjutnya setelah Jokowi terkait dengan utang dari OBOR adalah untuk menjaga keberlanjutan pembangunan infrastruktur tanpa membebani keuangan negara secara berlebihan.

Presiden yang akan datang perlu memastikan bahwa kebijakan pinjaman yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan negara, serta memperhatikan risiko dan manfaat dari setiap sumber pendanaan yang digunakan.


Pengganti Jokowi juga diharapkan memiliki pengalaman dan rekam jejak positif dalam atasi keadaan krisis ekonomi, menghadapi tantangan ekonomi dan sosial yang ada, terutama terkait dampak krisis ekonomi dalam negeri/dunia, pandemi Covid-19 pada perekonomian Indonesia.

Salah satu tugas utamanya adalah memulihkan perekonomian dengan mempercepat pengamanan ekonomi dasar rakyat, pembangunan infrastruktur atau menghentikan proyek yang dinilai merugikan bangsa negara, serta program-program ekonomi yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan perkembangan keadaan faktual bangsa dan negara.

Kriteria sosok pengganti Jokowi yang tepat untuk menghadapi tantangan ini adalah seseorang yang memiliki pengalaman ekonomi khususnya dalam persoalan atau krisis ekonomi nasional, keahlian dalam manajemen keuangan dan ekonomi, mampu menjembatani kepentingan rakyat, negara dan pemodal/investor dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat, komitmen kuat untuk membangun infrastruktur dan ekonomi yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi dalam negeri.

Selain itu, seorang pemimpin yang jujur, transparan, dan akuntabel serta terbukti keberpihakannya kepada rakyat saat berada dalam pemerintahan maupun ketika berada di luar pemerintah. Hal ini sangat diperlukan dan diperhatikan guna menjamin pemimpin yang konsisten, komitmen, sehingga minim terjadinya sikap inkonsistensi terhadap visi, misi dan janji kepada rakyat.

Kriteria itu sangat penting dimiliki oleh pemimpin pengganti Jokowi untuk memastikan penggunaan dana negara yang tepat dan efisien. Serta jiwa kepemimpinan yang juga mampu menjalin hubungan yang baik dengan negara-negara lain, termasuk dengan China, juga sangat penting untuk menjaga kepentingan nasional Indonesia dalam hubungan internasional.

Tanpa menyebut nama orang tersebut, kita tentu di antara kita telah mengetahui sosok pemimpin dengan kriteria yang disebut di atas.

Semoga Tuhan YME senantiasa memberi keselamatan dan kedamaian bagi Bangsa Negara Indonesia, serta kerukunan dan kejernihan berpikir para pemimpin-pemimpin kami dan bangsa rakyat ini, agar senantiasa mendapat ridho dan tuntunan dalam mencari pemimpin ke depan yang sesuai dengan harapan bersama menuju Indonesia adil makmur, berwibawa, damai sentosa.
Baca juga :