Di Indonesia, kehadiran partai politik tidak bisa dilihat dan dimaknai secara hitam putih. Sebagai kekuatan politik yang mampu membentuk konstitusi, melahirkan para pemimpin nasional dan sistem yang secara masif menggerakan serta menentukan proses penyelenggaraan negara dan bangsa. Partai politik tak ubahnya seperti sebuah keniscayaan. Kehadirannya menjadi kebutuhan dan begitu digandrungi oleh banyak kalangan, namun tak sedikit yang skeptis dan apriori melihat sikap dan tindak-tanduknya.
Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI
Rakyat terus mengalami pasang surut hubungannya dengan partai politik. Dari jaman ke jaman, dari pemilu ke pemilu dan dari satu partai politik ke partai politik yang lain. Rakyat seakan abadi menunggu dan menggantungkan nasibnya dengan kebijakan partai politik. Melalui kaki-kaki dan perpanjangan tangannya, nasib rakyat sangat ditentukan oleh kekuatan badan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang selamanya menyusui pada partai politik. Rakyat seakan kekal mengalami fase "trial and error" dari partai politik yang sejatinya berorientasi kekuasaan. Ada aksioma yang kuat terjadi dalam iklim sosial masyarakat kontemporer, politik itu untuk merebut kekuasaan, bukan untuk mengurus kemakmuran dan keadilan rakyat.
Pun demikian, rakyat seakan menikmati konser dari panggung politik yang dihelat partai politik saat menyajikan harapan, impian dan bahkan uthopia dari upaya mewujudkan negara kesejahteraan. Berjuta kampanye, agitasi dan propaganda termasuk kontrak politik dengan partai politik, menjadi sajian menu simalakama yang tak bisa dihindari rakyat. Rakyat seperti lapar namun kenyang karena menelan mentah-mentah pepesan kosong dari janji-janji politik. Begitupun sebaliknya, rakyat merasa kenyang dengan perasaan dan jiwa yang penuh sesak dijejali asupan manipulasi dan kamuflase politik, tak urung kerapkali merasakan penghianatan dari penguasa yang memenangkan hati rakyat.
Memang ada sedikit pengecualian, meski menjadi minoritas, kaum pinggiran dan terseok-seok. Partai politik terkadang ikut membantu persalinan kebijakan dan beberapa pemimpin yang mampu menghilangkan dahaga rakyat akan capaian kelayakan hidup. Kalaupun itu terjadi dan muncul di permukaan, maka bisa dipastikan akan ada pengawasan dan kontrol yang kuat dan mengikat, bahwasanya tidak ada personifikasi dan insitusional yang tidak dalam pengaruh dan kehendak partai politik. Pada fase ini banyak tokoh dan pemimpin partai politik tidak bisa menjadi dirinya sendiri dan tergadai oleh mekanisme partainya.
Pendiri dan kader termasuk petugas partai politik, seperti mengalami nasib yang sama dengan rakyat saat bersentuhan sekaligus menjalankan roda pemerintahan dan program-program pro rakyat. Ada pseudo demokrasi dan oligarki yang mencengkeram dan membelenggu aspirasi rakyat. Ada parade hawa nafsu yang menjelma menjadi sistem yang menyuburkan kerakusan dan keserakahan pada harta dan jabatan. Rangkaian sistem yang kuno dan klasik yang menamai dirinya dengan kapitalisme dan komunisme global, semakin digdaya pada modernitas dan mampu membonsai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Bukan ideal Tapi Mampu Merangkul
Sebagai seorang figur pemimpin yang terus bertumbuh dengan prestasi dan apresiasi publik. Anies kian kemari terus menuai harapan sekaligus dukungan sebagian besar rakyat. Keinginan dan kehendak rakyat, seolah ingin menasbihkan Anies sebagai presiden dalam perhelatan pilpres 2024. Sebuah dinamika demokrasi yang patut mendapatkan respek dari semua pihak, karena mau menempuh mekanisme formal dan normatif. Terbersit, dari pilihan mengikuti konstestasi ajang transisi kekuasaan itu, menegaskan Anies sebagai pemimpin yang taat konstitusi termasuk tunduk pada aturan UU pemilu.
Anies pada tahap awal sudah dapat melewati aspek fundamental dalam proses pencapresannya. Ia secara eskalatif dan akumulatif terus menuai dukungan rakyat. Setidaknya basis dukungan pemilihnya sudah bisa dihitung dan menghidupkan kompetisi dan rivalitas di antara kandidat capres. Realitas dan kemunculan progesif Anies dalam pilpres 2024 mendatang, tentu saja menimbulkan resonansi dan geliat tersendiri, baik baik dari kalangan partai politik yang mengusung capresnya sendiri maupun partai politik yang berlanggam 'wait and see' dan masih melakukan penjajakan. Selain hasil survei ada partai politik yang tentunya ingin membangun kompromi dan kesepakatan pada capres tertentu.
Fenomena Partai politik dalam menentukan pilihan capres serta upaya memoles dan menjualnya. Harus tetap dilihat sebagai proses politik yang tidak parsial. Selain tingkat elektabilitas dan akseptabilitas, partai politik juga tidak berdiri sendiri mengurus capresnya, terutama terkait pembiayaan kontestasinya baik untuk capresnya maupun kepentingan partai politik itu sendiri. Sebagai contoh, partai politik akan mensyaratkan daya dukung capres terkait dana kampanye atau khususnya pembiayaan saksi saat pilpres berlangsung. Juga akan banyak dibebani kebutuhan lain dalam hajatan politik lima tahunan berbiaya maha besar.
Atmosfer capres dan partai politik yang seperti itu, semakin mengokohkan betapa demokrasi di Indonesia terutama pemilu pada umumnya dan pilpres khususnya, tak bisa dilepaskan dari dominasi dan hegemoni aspek kapitalistik dan transaksional.
Wajar saja jika desain, proses pelaksanaan dan hasil dari pemilu maupun pilpres beraroma kental peran para pemilik modal atau yang populer disebut oligarki. Dalam hal ini eksistensi partai politik tak bisa mengelak dari intervensi para borjuasi korporasi dan borjuasi birokrasi. Secara umum publik telah menilai, partai politik cenderung terpolarisasi dan menjadi subkoordinat kelompok 'the have' pemilik kekuasaan informal tapi signifikan menentukan hajat hidup rakyat.
Bagi Anies sebagai capres paling potensial yang jejak rekamnya relatif bersih ketimbang capres lainnya, ditambah dukungan rakyat yang tak terkendali mengidolakannya. Selayaknya Anies mampu membangun komunikasi politik dan meyakinkan kepercayaan publik yang ada pada dirinya kepada partai politik. Betapapun kalau mau jujur menelusuri esensi dan substansinya, partai politik sekarang sedang memasuki masa gamang dan absurd.
Partai politik benar-benar sedang mengalami pergulatan pemikiran dan batin terutama yang menghinggapi para ketua umumnya dan pembisik tingkat dewa di sekelilingnya.
Anies yang memiliki harga diri tinggi dan tidak bermental pengemis apalagi hanya untuk kehormatan berlabel status dan jabatan, tentunya akan memiliki tantangan tersendiri jika berhadapan dengan partai politik. Menjadi keharusan dan tak terbantahkan, partai politik menjadi penentu nasib Anies pada capres dalam pilpres 2024, bahkan pada saat bisa atau tidaknya sekedar dalam pencalonan. Baik bagi Anies maupun partai politik, keduanya berhadapan dengan pilihan yang sulit antara mengedepankan politik realitas atau politik ideal. Mana yang lebih penting dan mendesak untuk diperjuangkan, memenangkan pilpres kemudian mengambil kekuasaan terleb8h dahulu atau teguh memegang prinsip-prinsip demokrasi yang memulakan nilai-nilai, norma dan etika. Menjungjung tinggi kebenaran dan keadilan serta menjaga keberadaban.
Atau tak peduli mekipun menjadi pengikut Machiavellis.
Sebagai pemimpin yang mungkin saja belum menenuhi kriteria ideal. Anies terbilang mumpuni sebagai pemimpin yang mampu merangkul keberagaman bangsa. Hanya Anies dan partai politik utamanya para ketua umum dan sedikit sinyal dari para pemilik modal yang mampu memainkan domain dan irisan pilpres ke depan. Jika saja tidak terjadi kohesi antara Anies dan partai politik, setidaknya Anies memiliki modal mulia dan terhormat berupa kejujuran d an kerja kerasnya mengangkat harkat hidup orang banyak. Setidaknya, walau tak lolos partai politik Anies menjadi pemimpin yang tinggal menunggu waktu mendapat legalitas dan legitimasi dari rakyat Indonesia serta yang terpenting menerima mandat dari pemilik kekuasaan yang hakiki.
Wallahu a'lam bishawab.