Pertempuran Tiada Henti Anies Vs Jokowi


Pertempuran Tiada Henti Anies Vs Jokowi

Oleh: Hersubeno Arief 

Setelah beberapa saat tiarap dihajar publik dan media, BuzzeRp menggeliat kembali. Mereka ramai-ramai menghajar Gubernur DKI Anies Baswedan.

Suara mereka bersahut-sahutan, seperti kodok bernyanyi menyambut musim penghujan.

Kebijakan Anies menarik rem darurat, akan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta  diserang habis.

Jumat (11/9) #4niesDanCovidBerbahaya menjadi salah satu trending topik. Sejumlah artis alias influencer juga turut mempersoalkan kebijakan Anies. Cuma caranya lebih halus. Tidak langsung membully.

Orkestra nada menyerang Anies di medsos,  bersamaan dengan serangan secara sporadis para menteri kabinet Jokowi.

Tak tanggung-tanggung. Pasukan tempur menggeruduk Anies dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Airlangga menuding rencana Anies menarik rem darurat sebagai biang keladi nyungsepnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa saham Jakarta.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang selama ini tak pernah jelas rimbanya, tiba-tiba juga muncul. Dia mengingatkan PSBB di DKI Jakarta jangan sampai menghalangi distribusi logistik. Dampaknya bisa menghancurkan Produk Domestik Bruto (PDB).

Menteri Perindustrian Agus Gurmiwang Kartasasmita mengingatkan PSBB jangan sampai menghancurkan industri manufaktur yang kini tengah menggeliat.

Di luar ketiga menteri yang membidangi ekonomi,  yang paling menarik adalah pernyataan Wamenlu Mahendra Siregar. Dia mengingatkan, jika PSBB dipukul rata, termasuk industri manufaktur, dampaknya ekonomi akan kolaps.

Sebagai Wamenlu tidak pada tempatnya Mahendra bicara semacam itu. Benar dia pernah menjadi Mendag pada era SBY. Dia punya kompetensi bicara. Namun dengan posisinya sekarang, sungguh tak elok.

Akan lebih baik bila Mahendra bicara bagaimana upaya pemerintah membuka “lockdown”  dari lebih 60 negara terhadap Indonesia. Itu tugas pokok dan fungsi dia yang tidak kalah seriusnya.

Nabok nyilih tangan

Fenomena pengeroyokan rame-rame atas Anies, dalam khasanah budaya Jawa disebut sebagai “nabok nyilih tangan.” Alias memukul dengan meminjam tangan orang lain.

Jokowi tak mau tangannya kotor dengan menyerang Anies. Dia meminjam tangan para menterinya, bahkan para buzzer untuk menghajar Anies. Tangannya tetap bersih.

Bersamaan dengan itu Jokowi agaknya berharap,  publik lupa atau setidaknya tidak sadar bahwa apa yang dilakukan Anies merupakan tindak lanjut instruksinya.

Dalam rapat kabinet Senin (7/9) Jokowi mewanti-wanti agar penanganan kesehatan lebih didahulukan ketimbang ekonomi. Logika yang sesungguhnya sangat benar.

Media menyebutnya Jokowi siuman. Selama ini berbagai kebijakan Jokowi selalu lebih mengutamakan ekonomi ketimbang kesehatan.

Kebijakan inilah yang menjadi arena pertempuran antara Anies Vs Jokowi selama pandemi.

Anies menginginkan lockdown untuk Jakarta. Pemerintahan Jokowi menolaknya. Jokowi sampai harus mengutus Mendagri Tito Karnavian menemui Anies di Balaikota DKI.

Tito mengingatkan bahwa kewenangan lockdown berada di pemerintah pusat. Pemda tidak boleh mengambil kebijakan sendiri.

Sepanjang pademi ketegangan antara pemerintah pusat dan Anies terus berlangsung.

Menkeu Sri Mulyani pernah menyebut Pemprov DKI tak punya dana  Bansos. Mensos Juliari Batubara menyebut penyaluran Bansos di DKI tumpang tindih. Sementara Menko PPM Muhadjir Effendi mengaku menegur Anies karena data dan penyaluran Bansos di DKI acakadut.

Belakangan justru terungkap pemerintah pusat dalam hal ini Depkeu berutang besar kepada DKI. Dana perimbangan yang belum dibayarkan sebesar Rp 6,39 triliun. Anies sudah sempat menagih dan mengeluhkannya ke Wapres Ma’ruf Amin.

Perseteruan kali ini setidaknya menjadi arena pertempuran babak ketiga antara Anies Vs Jokowi. Hanya saja kali ini Anies harus ekstra hati-hati.

Kendati opini publik berpihak kepadanya, namun kondisi psikologis masyarakat sudah sangat berbeda.

Secara ekonomi daya tahan publik kian melemah. Mereka terpaksa melakukan pelanggaran pembatasan karena tuntutan perut tidak bisa dikompromikan.

Dampak penarikan rem darurat akan membuat kontraksi besar. Apalagi bila tidak dibarengi kompensasi bagi rakyat.

Rakyat bisa ngamuk. Anies akan menjadi sasaran.

Sudah menjadi rahasia umum keuangan DKI  memburuk dan menyusut hampir separoh. Pemerintah pusat sejak awal tidak mau bertanggungjawab atas beban anggaran akibat kebijakan yang diambil.

Jokowi mati-matian menolak lockdown karena tidak mau bertanggung jawab atas beban anggaran yang harus dipikul.

Anies juga dihadapkan pada penolakan kepala daerah di sekitar DKI yang bakal terkena dampak kebijakan tersebut. Walikota Bogor Bima Arya Sugianto tegas menolak rencana PSBB total. Dia minta Anies berkonsultasi dengan pemerintah pusat.

Dilihat dari paduan suara para menteri dan serangan para buzzer, sudah jelas menunjukkan kemana arah kebijakan Jokowi.

Jokowi  menegaskan  penanganan kesehatan harus diutamakan, eh ketika Anies mau menjalankan, malah diserang habis-habisan.

Anies pasti tahu belaka bahwa pernyataan Jokowi tidak bisa diartikan secara harfiah. Linier.  Jokowi selalu melakukan hal-hal yang  berbanding terbalik dengan apa yang dia katakan.

Dia menyatakan akan reshufle, tapi ternyata tidak. Dia menyatakan ekonomi akan meroket, itu artinya ekonomi akan nyungsep.

Kalau sekarang dia menyatakan kesehatan harus diutamakan, maka harus diartikan tetap ekonomi lah yang diutamakan.

Masalahnya Anies saat ini tidak punya pilihan lain. Rem darurat harus ditarik. Bila tidak akan terjadi crash. Korban jatuh lebih besar.

Terus meningkatnya pasien terinfeksi. Membludaknya pasien di rumah sakit rujukan, serta jumlah kematian yang terus bertambah, menunjukkan situasi sudah darurat tingkat tinggi.

Anies harus pandai-pandai mengatur siasat. Di satu medan tempur harus  melawan Covid-19 yang tidak kasat mata. Di medan tempur lain harus menghadapi pemerintah pusat yang berada di depan mata. end.[]

Baca juga :