Turki Satu-satunya Negara Muslim yang Diperhitungkan Kekuatan Dunia


Turki Satu-satunya Negara Muslim yang Diperhitungkan Kekuatan Dunia

Oleh: Dr. Nandang Burhanudin

"150 tahun lalu, kita didikte untuk mengikuti pola Barat atas nama peradaban. Kini saatnya, kita bangkit menuliskan sejarah peradaban kembali." (Ibrahim Kalin, Jubir Kepresidenan Turki)

Begitulah. Sejarah berulang. Turki satu-satunya negara Muslim yang diperhitungkan para pemain global.

Turki berhadapan langsung dengan kekuatan pemegang veto PBB: China, Rusia, AS, Perancis dan Inggris.

Pepatah, tak ada musuh abadi dan kawan abadi dalam politik. Yang ada, kolaborasi kepentingan.

Turki bersama Rusia di bidang proyek pipanisasi jalur gas ke Eropa, nuklir, misil jarak jauh. Namun menjadi lawan di Libya, Syiria, dan Adjerbaizan.

Turki bersama AS di Syiria dan Libya. Namun bertentangan dengan AS soal industri F35 B dan proyek The Real of Century di Palestina, juga sikap AS yang mendukung pemberontak PYD Kurdi.

AS tidak berani langsung berhadapan dengan Turki era Erdogan. Tapi menggunakan proxywar, via junta kudeta AsSisi, Ben Zaid, Ben Salman di Timteng dan Yunani di Eropa.

Rusia setali tiga uang. Tidak berani menentang Turki langsung, namun melalui proxywar yaitu Syiria, Mesir, Armenia.

Turki tidak teriak Khilafah atau New Ottoman Empire. Turki fokus pada hal substansial sebagai negara: berdikari, mandiri, dan kepentingan bangsa negara diutamakan. Tapi plusnya, terdepan membantu bangsa terzhalimi.

Misalnya untuk kasus Adjerbaizan. Kepentingan Turki ada tiga hal:

1. Melayani Adjerbaizan sebagai satu suku, satu bahasa, satu agama dan satu pengabdian, di mana pada masa Ottoman, Adjerbaizan berada bersama Utsmani melawan Kekaisaran Rusia.

2. Kepentingan pragmatis Turki, menjadikan gas Adjerbaizan sebagai alternatif utama untuk dipasarkan ke Eropa via Turki. Sekaligus di masa depan, mengurangi ketergantungan gas dari Rusia.

3. Jalur minyak dan logistik dibangun antara Adjerbaizan, Turki, Eropa, untuk menjadikan Turki sebagai jalur Sutera barang dari China ke Eropa dan sebaliknya.

Di titik ini, Turki hanya sekali bersuara keras soal Uighur. Lalu melunak saat Kemenlu diundang ke China menyaksikan langsung kondisi Muslim Uighur.

Hal yang sama terhadap Saudi. Turki masih menjaga kehormatan Raja Salman, hingga lama menahan diri untuk membongkar pembunuh Gamal Khashogi. Demikian terhadap Mesir. Turki membuka dialog untuk kepentingan Mesir di Mediterania.

Namun psikis AsSisi dan Ben Salman, lebih mendengar "rayuan" mantu Donald Trump, yang ingin membenturkan ketiga negara Muslim besar ini saling serang.[]

Baca juga :