Fenomena GUS BAHA, Cendekiawan Rakyat Melawan Hegemoni


GUS BAHA CENDEKIAWAN RAKYAT MELAWAN HEGEMONI

Melihat Gus Baha mengaji pikiran saya melambung jauh — membayangi Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengajar dikitari para santrinya —yang ta’dzim menyimak, mendengar dan mengaji. Tidak kemrungsung menyalahkan yang tidak sepandangan. Kemudian sesekali riuh tertawa bersama — nyantai tapi dapat banyak.

Fenomena Gus Baha cukup riuh. Saya sangat suka. Ada oase. Segar penuh harapan. Menerangi juga hangat. Nakal, cerdas, jenaka, solutif, berani dan jujur apa adanya. Khas cendekiawan kampung.

Entah sejak kapan keilmuan hanya diklaim perguruan tinggi semacam collage, universitas, akademi atau institut— lalu hanya mereka yang berhak mengeluarkan ijazah. Melakukan sertifikasi. Menentukan lulus dan tidak lulus. Ilmu terpenjara dalam sebuah birokrasi dan keangkuhan buku-buku di rak perpustakaan. Yang ditumpuk untuk meraih banyak gelar dan pujian.

Sejak kapan lembaga Pendidikan berubah menjadi yang paling absah merumuskan masa depan—menentukan benar salah, baik dan buruk. Meniadakan atau mengadakan.

Pendidikan menjadi sangat angkuh. Kaku dan rigid. Mengira padanya terdapat segala yang dibutuhkan. Tapi Ironisnya ilmu kedokteran yang mahal dan dibanggakan itu nyatanya tak cukup mampu dan kebingungan melawan kofid-19. Ilmu ekonomi juga tak kunjung berhasil mewujudkan hidup lebih baik. Bukankah ini indikator kegagalan ? Pun dengan ilmu-ilmu yang lain. Sama. Tak mampu mengurai masalah kemanusian, bahkan menjadi beban, tulis Bertrand Russel.

Gus Baha bukan hanya menguasai bahasa, metodologi, berbagai ilmu alat atau literatur berlimpah. Tapi juga punya perspektif yang luas. Karakter yang kokoh. Dan padanan lain semisal. Simbol Ilmuwan rakyat yang lahir dan besar dari rahim didikan rakyat. Ini yang membedakan Gus Baha dengan ilmuwan lain yang bergelar.

Gus Baha tak perlu gelar. Tak perlu tunduk pada aturan baku para akademisi yang kaku berbelit dan boros kata karena ditindas footnote dan jurnal scopus. Pikiran-pikiran Gus Baha mudah dimengerti, gampang di dapat dan relevan dengan kehidupan.

Seperti halnya para nabi. Maka cendekiawan sebagai pewaris para nabi berbicara dengan bahasa rakyatnya. Jadi Gus Baha tak perlu ‘ke-marab’ atau ‘ke-minggris’ agar terlihat pintar, terlihat ilmiah kemudian bicara dengan kata-kata yang sulit di mengerti. Gus Baha tidak bicara dengan bahasa buku atau jurnal. Ia hadir ditengah.

Gus Baha meski NU tapi pikiran, wawasan, ide dan gagasannya sudah jauh melampaui— sebab kebenaran ilmu memang tak punya mazhab, aliran atau kelompok. Kebenaran itu universal tidak mengenal ruang dan waktu. Atau klaim para petualang ilmu.

Ibarat kata, Gus Baha sukses menyajikan menu kampung ke hotel bintang 10–  saya tidak mengatakan bahwa Gus Baha adalah ulama yang paling ‘ngalim’. Tapi Ia punya keberanian melawan hegemoni, merubah kemapanan dan manawarkan nuansa.

Melihat Gus Baha mengaji pikiran saya melambung jauh — membayangi Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengajar dikitari para santrinya —yang ta’dzim menyimak, mendengar dan mengaji. Tidak kemrungsung menyalahkan yang tidak sepandangan. Kemudian sesekali riuh tertawa bersama — nyantai tapi dapat banyak.

By @nurbaniyusuf
(Komunitas Padhang Makhsyar)

Baca juga :