Jokowi Dimakan Gengsi
Belum masuk bulan Juli, Kaesang Pangarep, putra bungsu mantan Presiden Jokowi, yang juga Ketum PSI, mengumumkan, memastikan, bahwa Bapaknya, Jokowi, tak jadi maju pemilihan Ketum PSI.
Kepastian ini terasa terlalu cepat disampaikan diukur dari jarak pelaksanaan pemilihan Ketum PSI itu sendiri dengan pernyataan Jokowi saat menolak menjadi Ketum PPP.
Kaesang Pangarep sendiri mengatakan bahwa Jokowi tak jadi maju pemilihan Ketum PSI, karena tak mungkin anak dan bapak saling berkompetisi.
Argumen anak dan bapak saling berkompetisi memperebutkan Ketum ini terdengar lebih dulu, ketimbang akhirnya diucapkan sendiri dengan mantap oleh Kaesang.
Sebetulnya argumen itu sindiran langsung bagi keluarganya yang dianggap haus kekuasaan.
Tak ada yang menyangka argumen itu justru dipakai oleh Kaesang. Keluarganya tidaklah haus kekuasaan. Buktinya bapaknya tak jadi maju Ketum PSI.
Ada yang mengatakan Jokowi tak jadi maju pemilihan Ketum PSI karena alasan kesehatan.
Belakangan, wajah Jokowi yang terlihat dipublik memang memprihatinkan. Kok bisa begitu?
Akibat alergi kulit sepulang dari Vatikan yang dibilang langsung oleh Jokowi, memang terlihat tak kunjung membaik. Makin menjadi.
Tapi Jokowi sendiri mengatakan dia sehat walafiat. Tak ada masalah. Masih beraktivitas seperti biasa. Alasan usia, sudah pasti tidak.
Sebab, dibanding Prabowo, Surya Paloh, atau Megawati, Jokowi terbilang lebih muda.
Mungkin ada kalkulasi lain yang membuat Jokowi memutuskan, akhirnya tak jadi maju Ketum PSI.
Jokowi memang akan kesulitan menentukan langkah politiknya ke depan. Ia tetap dalam dunia politik, tak mengurus hal lain, padahal berjanji akan beristirahat di Solo, itu menunjukkan kesulitannya.
Jokowi dengan mudah mengatakan tetap dalam dunia politik, hanya karena melihat anaknya, yang ternyata tak bisa ditinggalkan begitu saja. Ia harus tetap dalam dunia politik.
Tapi apa yang dilakukan Jokowi dalam dunia politik, ia sendiri kesulitan dan mulai kebingungan. Bikin partai tak mudah, jadi Ketum partai kecil gengsi, jadi Ketum partai besar, mana bisa?
Jokowi memang belum ada contoh. Jadi Presiden dua periode tanpa memiliki partai. Kalau jadi gubernur dan walikota tanpa memiliki partai, itu sudah biasa.
Jadi presiden, ternyata tak mudah tanpa memiliki partai, akhirnya. Apalagi Jokowi mengambilkan pula kursi Wapres buat anaknya. Makin tak ada contoh lagi.
Mungkin ada yang berharap Jokowi gagal, bahkan hancur, agar tak ada orang di kemudian hari mencontoh langkah politiknya. Cukup Jokowi saja yang mengalami dan itu menjadi pengalaman paling buruk dalam perpolitikan Indonesia.
Jokowi tak mungkin mendirikan partai karena buat apa juga. Ia tak bisa memakai kendaraan partai itu untuk kepentingan politiknya. Ongkos dan energinya terlalu besar. Belum lagi gengsinya, kalau partai itu tak bisa menjadi partai besar.
Gengsi itu pula yang membuat Jokowi mungkin tak mau menjadi Ketum PSI. Masuk partai besar juga tak akan ada tempat bagi Jokowi, meski ditawari semuanya. Tawaran itu lebih karena basa basi saja karena Jokowi mantan Presiden. Mana ada Ketum partai yang mau menyerahkan posisinya untuk Jokowi?
Akhirnya Jokowi dibayang-bayangi oleh dirinya sendiri. Ia punya pengalaman yang lengkap di eksekutif, tapi ia tak punya pengalaman merintis organisasi dari bawah.
Organisasi relawannya bertahan sampat saat ini hanya karena dirawat dengan kekuasaan. Kalau tidak, mana bisa? Kekuasaan itu secara de facto masih ada, tapi de jure sudah hilang.
Orang sudah mengakhiri, Jokowi baru memulai. Mestinya Jokowi sudah mengakhiri, tapi ia seperti ingin jalan terus. Akhirnya, cara mengakhiri soal ijazahnya saja ia tak bisa. Terpaksa negara mencarikan cara mengakhirinya karena ia tak tahu jalan keluarnya.
(Erizal)