"PLONGA-PLONGO KOYO KEBO"


"PLONGA-PLONGO KOYO KEBO"

[PORTAL-ISLAM.ID] Manusia bisa menjadi makhluk yang mulia. Ia mampu berpikir. Ia bisa merenung. Ia pintar belajar. Ia dapat berbuat baik. Ia mampu untuk bertindak konstruktif. Ia bisa ahli membangun peradaban. Ia berdaya mengkonstruksi kebudayaan yang gilang-gemilang.

Namun derajat manusia bisa merosot selevel binatang ternak. "ulaaa`ika kal-an'aami bal hum adholl", kata Gusti Allah. Bahkan bisa lebih rendah dari binatang ternak. Bayangkan manusia kok bisa lebih rendah dari sapi, kerbau dan kambing!

Ambil contoh kambing. Bahasa Jawanya wedus. Wedus makanannya daun-daunan. Daun singkong dimakan. Daun bayam dimakan. Kacang panjang dimakan. Namun manusia bisa lebih rakus daripada wedus: daun singkong, bayam, kacang panjang sakwedus-weduse disikat.

Bahkan selain makan daun-daunan dan wedus, manusia level binatang ternak juga hobi makan "menu-menu" yang lain. Proyek infrastruktur dimakan. Proyek reklamasi dikuasai. Hutan dihabisi. Alat-alat negara disalahgunakan. Jabatan disikat. Uang sogokan "dibadok". Suara pemilih dirampok. Ngeri man!

Binatang ternak yang lebih besar itu kerbau. Bahasa Jawanya kebo. Orang Jawa punya pepatah: "plonga-plongo koyo kebo" (Plonga-plongo seperti kerbau).

Manusia yang menjatuhkan diri ke level kebo akhirnya ya plonga-plongo. Plonga-plongo secara falsafah tak melulu menggambarkan kebodohan intelektual. Plonga-plongo itu juga menjelaskan kebodohan spiritual. Otaknya mungkin jalan. Namun radar hatinya mati. Kalau kesadaran hatinya mati, berbuat bejatpun ya nggak ngerasa dosa. Berbuat zalim nggak merasa hina.

Matanya mungkin melihat. Telinganya mungkin mendengar. Otaknya jalan: lha wong bisa baca big data, memprediksi trend, mem"framing" media, menyusun proxy war, membuat oligarki politik. Lha ora pinter kepiye? Tapi penglihatan, pendengaran dan otaknya gagal mengirim sinyal-sinyal spiritual untuk menggerakkan tindakan kebaikan.

Makanya, manusia berlevel binatang ternak itu sebetulnya buta dan tuli secara spiritual. Otaknya mungkin pinter. Tapi perilaku keblinger. Dikasih nasehat agama keras kepala. Ditunjukkan hal-hal yang baik malah ngeyel. Diajak untuk bertindak baik malah membantah. Dikritik dianggap intrik. Ditunjukkan yang benar dibilang makar. Yes, spiritually "picex" and "budex". Tobaaat-tobaaat.

Orang bisa berbuat baik itu kalau punya "bashiirah". "Balil-insaanu 'alaa nafsihii bashiirah", kata Gusti Allah. Hatinya hidup. Kesadaran spiritualnya tumbuh. Otak sampeyan pinter nggak jamin jadi orang baik kalau bashirah sampeyan mati.

Tanpa "Bashiirah" orang bisa jadi rakus, zalim, menipu, memutarbalikan fakta, memfitnah, merekayasa dan berdusta. Tanpa pemimpin yang memiliki "bashiirah", rusaklah negara. Jika para pejabat hatinya modyaaaar, negoro bubar. Bashiirahlah yang akan menggerakkan energi kita untuk memperbaiki masyarakat dan bangsa.

(By Endro Dwi Hatmanto)

Baca juga :