[PORTAL-ISLAM.ID] Stadion Kridosono di Kota Yogyakarta ternyata suhunya bisa membuat panas seseorang, khususnya capres Jokowi dan Prabowo. Kedua capres itu mengumbar kemarahan ketika bicara di hadapan massa di Stadion milik kota pelajar itu.
"Saya sebetulnya sudah diam 4,5 tahun. Difitnah-fitnah, saya diam. Dihujat, saya diam. Tetapi hari ini di Yogya saya sampaikan, saya akan lawan! Ingat sekali lagi, akan saya lawan! Bukan untuk diri saya, tapi ini untuk negara," kata Jokowi dalam acara deklarasi "Alumni Jogja Satukan Indonesia" di Stadion Kridosono, Yogyakarta, Sabtu 23 Maret 2019 lalu
Lebih dua pekan setelah itu, Senin 8 April 2019 Prabowo menggelar kampanye di tempat yang sama. Saat berpidato, Prabowo berpesan kepada tentara dan polisi yang masih aktif agar netral. Ia berharap aparat tidak mengabdi pada segelintir orang apalagi antek asing.
"Hai adik-adikku, kau yang ada di tentara, polisi yang masih aktif. Ingat kau adalah tentara rakyat, kau polisi rakyat. Seluruh rakyat Indonesia," ucapnya dengan penuh semangat, disambut riuh massa pendukung.
Prabowo kemudian melanjutkan. "Kau tidak boleh mengabdi pada segelintir orang apalagi membela antek-antek asing. Apalagi kau bela antek-antek asing," ucapnya sambil menggebrak podium.
Laman kompas.com menggambarkan gebrakan itu sampai membuat pengeras suara yang menempel di podium terlepas.
Mari kita bandingkan kemarahan dua orang pemimpin itu:
Jokowi marah karena merasa 4.5 tahun difitnah. Kemarahannya lebih berpusat kepada pribadinya yang difitnah. Jadi sesungguhnya ini adalah masalah pribadi. Namun Jokowi juga menambahkan bahwa itu bukan untuk dirinya sendiri. Tapi untuk negara.
Ada dua tafsir soal kemarahan Jokowi. Pertama dia melihat masalah ini bukan sekedar masalah pribadi. Sebab tradisi fitnah, kabar bohong, hoax bisa merusak negara. Sampai disini Jokowi benar.
Tafsir kedua Jokowi melihat dirinya adalah personifikasi negara. Kalau dia dihina, difitnah, maka negaralah yang difitnah. "L"État c"est moi" (negara adalah saya) kata Raja Louis XIV dari Perancis ( 1638-1715).
Kecenderungan Jokowi mempersonifikasikan diri sebagai negara terlihat ketika dia menyatakan “ Saya Indonesia, Saya Pancasila.” Bersamaan dengan itu juga muncul stigma terhadap lawan politiknya sebagai anti Pancasila, anti NKRI.
Dalam praktik bernegara juga terlihat kecenderungan Jokowi sulit membedakan mana yang urusan negara, dan mana yang urusan pribadi. Jokowi misalnya sangat menikmati fasilitas negara untuk kegiatan kampanyenya. Dia juga mengerahkan dana Bansos dan CSR besar-besaran untuk menyogok rakyat agar memilih dirinya.
Bagaimana dengan Prabowo? Hanya ada satu tafsir tunggal atas kemarahan Prabowo. Sebagaimana dia sampaikan saat berorasi di Gelora Bung Karno, Jakarta u April 2019, dia muak dengan kondisi Indonesia. “Iam digusted!,” ujarnya ketika diwawancarai wartawan asing.
Sebagai purnawirawan jenderal, Prabowo muak dengan para juniornya di lingkungan TNI dan Polri yang mengabdi untuk kepentingan para pengusaha, dan penguasa.
Banyak perwira TNI dan Polri yang menjadi backing para taipan hanya untuk mendapat imbalan remah-remah kekayaan. Banyak perwira TNI dan Polri yang lupa bahwa tugas mereka adalah mengabdi kepada negara, bukan penguasa.
Ketika di GBK Prabowo juga mengingatkan para yuniornya bahwa pangkat dan jabatan yang mereka peroleh itu berasal dari rakyat. Jangan digunakan untuk menekan dan mengintimidasi rakyat.
Sama-sama marah, tapi kita bisa menilai bagaimana kualitas dan apa yang menjadi pembeda di antara keduanya. Selamat memilih.
Penulis: Djadjang Nurjaman