PELAJARAN BAGI PEMIMPIN: TANGGAP DARURAT SBY DAN JK SAAT BENCANA TSUNAMI ACEH


[PORTAL-ISLAM.ID] Negeri Indonesia kerap dilanda bencana alam. Salah satunya karena faktor letak geografis.

Indonesia berada di Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire), daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Wilayah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Wilayah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik.

Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini.

Maka itu, pemimpin negeri ini juga harus memiliki kesigapan dalam tanggap darurat.

Pemimpin yang dinilai cukup berhasil dan memiliki kesigapan dalam tanggap darurat adalah SBY-JK.

Hal ini dibuktikan saat terjadi bencan besar Gempa dan Tsunami Aceh pada 26 Desember 2014, atau saat SBY-JK baru 2 bulan menjabat Presiden-Wakil Presiden RI.

Pemimpin yang baru seumur jagung ini ternyata sangat sigap dalam menangani Bencana Tsunami Aceh, padahal dengan prasarana yang masih terbatas saat itu. Diantaranya kendala alat komunikasi, dan pada waktu itu Indonesia belum punya Pesawat Kepresidenan.

Saat kejadian Tsunami Aceh, SBY sedang berada di Papua, sedang JK berada di Jakarta.

Pelajaran ini penting buat @prabowo @sandiuno yang insya Allah akan memimpin Indonesia 2 periode (2019-2024 lanjut 2024-2029)..

Berikut kisah kesigapan SBY-JK...

KISAH JK MENANGANI TSUNAMI ACEH


Pada 26 Desember 2004, tepat di hari Minggu, sehari setelah perayaan Natal, masyarakat Aceh harus mengalami kejadian tragis. Gempa dahsyat terjadi membuat warga Aceh tengah bersantai dan bercengkrama bersama keluarga panik. Tak lama kemudian datanglah gelombang tsunami dahsyat.

Gelombang Tsunami 26 Desember 2004 ini dicatat sebagai bencana alam terparah selama sejarah modern. Gelombang raksasa terjadi setelah gempa bumi di bawah laut, sekitar 100 kilometer sebelah barat pantai Sumatra, pukul 07.59 WIB.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sendiri di Jakarta, tengah bersiap menghadiri acara halal bihalal masyarakat Aceh di Jakarta Convention Centre (JCC), Senayan, Jakarta. Tak lama kemudian, JK mendapat kabar telah terjadi gempa yang menyebabkan hotel berlantai tujuh di Aceh, Kuala Tripa, runtuh.

Mendapati kabar tersebut, JK segera menghubungi pejabat sementara (Pjs) Gubernur Aceh saat itu, Azwar Abubakar. Namun, Azwar Abubakar belum mendapat informasi apapun lantaran sedang berada di Jakarta, bersiap menghadiri acara yang sama akan dihadiri JK di JCC.

Tak berdiam diri, JK lantas berkirim pesan singkat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu sedang berada di Nabire, Papua guna meninjau lokasi gempa yang sebulan sebelumnya menghantam daerah tersebut. SBY juga dijadwalkan hadir dalam perayaan Natal bersama masyarakat Papua. SBY meminta JK melakukan koordinasi untuk menangani gempa yang terjadi di Aceh.

Tampaknya gempa tersebut bukan berita buruk satu-satunya dari Aceh. Tak lama setelah gempa dahsyat tersebut, air laut di pantai surut disusul oleh munculnya ombak setinggi 15 meter dan menyapu Aceh hingga tak tersisa. Komunikasi dengan Aceh pun terputus.

JK yang baru dua bulan dilantik menjadi Wakil Presiden bersama Presiden SBY, kehilangan kontak dan tak lagi mendengar kabar apapun dari wilayah Serambi Mekkah tersebut. "Ini jelas bencana serius," dalam benak JK seperti tertuang dalam buku 'Ombak Perdamaian, Inisiatif dan Peran JK Mendamaikan Aceh'.

JK gusar mendapati semua pajabat di Aceh tidak bisa dihubungi. JK mengalihkan komunikasinya ke Sumatera Utara, provinsi tetangga Aceh. Gubernur Sumatera Utara saat itu, T Rizal Nurdin mengakui, kediamannya yang berjarak sekitar 600 kilometer dari Aceh, turut bergoyang. Namun, dirinya belum bisa memastikan korban jiwa di Aceh.

JK meminta asistennya, Adam Suryadi Nur, untuk menyiapkan 10 handphone satelit, namun Yadi (sapaan akrabnya) hanya berhasil mendapatkan 2 handphone satelit. JK meminta Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Sofyan Djalil segera berangkat ke Aceh membawa handphone satelit tersebut.

Sofyan Djalil adalah orang Aceh yang sudah lama tidak menginjakkan kaki di kampung halamannya. Bersama Azwar Abubakar dan beberapa tokoh Aceh yang hadir dalam acara halal bihalal di JCC, Sofyan Djalil bertolak ke Aceh menggunakan pesawat pribadi JK.

"Pakai pesawat saya saja," singkat JK.

Pesawat pribadi JK yang dikendalikan Kapten Didit Soerjadi, nyaris batal mendaratkan pesawat di Bandara Blang Bintang, kini Bandara Sultan Iskandar Muda. Kondisi bandara dinilai tak bisa digunakan pesawat mendarat. Menara bandara retak, tak berfungsi dan tak ada satu pun petugas yang ada untuk memandu pendaratan.

Pesawat berputar-putar di langit Banda Aceh. Melalui jendela Fokker F-28, Sofyan Djalil bisa melihat pesisir pantai yang lengang, rumah-rumah nelayan hanyut tersapu gelombang, daratan gelap oleh lumpur meski hari masih siang.

Pesawat akhirnya mendarat setelah Marsekal Madya TNI (Purn) M Basri Sidehabu, saat itu masih menjabat sebagai Asisten Pengamanan Kepala Staf Angkatan Udara, mendapat instruksi dari JK untuk membantu pendaratan pesawat. Saat itu sekitar pukul enam sore.

Memasuki wilayah kota, pemandangan mengerikan di setiap sudut kota. Mayat bergelimpangan di mana-mana, tersangkut di atas pohon, ratusan orang hilir mudik tak tentu arah mencari sanak keluarga masing-masing, angin malam menebar bau busuk di kegelapan kota Aceh.

KISAH SBY MENANGANI TSUNAMI ACEH

Berikut kisah SBY saat menghadapi tsunami Aceh 2004 selengkapnya, seperti dimuat dari tulisan bertajuk "DARI DUKA KITA BANGKIT" dari akun Facebook Susilo Bambang Yudhoyono, Sabtu (27/12/2014):

"Ya Allah, musibah apa ini ... ," ucap saya lirih.

Hal ini saya ucapkan di Wisma Gubernur Papua, Jayapura, tanggal 26 Desember 2004, ketika berita yang saya terima tentang gempa bumi di Aceh bertambah buruk dari jam ke jam. Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng, dua juru bicara Presiden, yang terus meng-update perkembangan situasi di Aceh ikut pula cemas. Istri tercinta yang mendampingi saya saat itu nampak makin sedih. Matanya mulai berkaca-kaca.

Komunikasi yang dilakukan oleh para Menteri dan Staf Khusus yang mendampingi saya memang amat tidak lancar. Mereka tampak frustrasi. Belakangan baru tahu bahwa telekomunikasi di seluruh Aceh lumpuh total.

Tetapi, yang membuat pikiran saya semakin tegang adalah setiap berita yang masuk jumlah korban gempa terus meningkat dengan tajam. Pertama belasan, kemudian puluhan, ratusan dan bahkan ribuan. Waktu itu saya benar-benar belum mengetahui bahwa yang terjadi ternyata bukan hanya gempa bumi, tetapi juga tsunami yang amat dahsyat

Selama jam-jam yang menegangkan itu, saya tetap memelihara komunikasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu berada di Jakarta. Intinya, tampaknya ini bukan bencana alam biasa. Sesuatu yang besar. Kita harus siap menghadapi hal yang paling buruk. Kita harus dapat bertindak dengan cepat namun sekaligus tepat.

Oleh karena itu, meskipun malam harinya saya tetap menghadiri perayaan Natal bersama umat Kristiani yang ada di Jayapura yang sudah lama dipersiapkan, saya meminta acara itu dipersingkat dan saya mengajak hadirin untuk berdoa atas keselamatan saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana alam di Aceh.

Rapat Darurat Kabinet Terbatas di Jayapura

Dengan informasi dan intelijen yang sangat minim, malam itu di Jayapura saya segera menggelar rapat Kabinet Terbatas, yang dihadiri oleh sejumlah Menteri yang mendampingi saya. Ingat, kunjungan saya ke Papua waktu itu di samping menghadiri perayaan Natal bersama juga meninjau Nabire yang baru saja tertimpa bencana.

Suasana tampak hening. Para Menteri sempat merasakan ketegangan saya. Sebenarnya, ketika saya pandangi wajah-wajah mereka, tampaknya hal itu juga dialaminya.

Setelah melakukan pembahasan secukupnya, saya mengambil keputusan bahwa esok hari, sepagi mungkin, kita langsung ke Aceh. Bukan ke Jakarta sesuai dengan yang telah direncanakan. Pada waktu itu memang ada yang berpendapat dan menyarankan agar sebaiknya saya kembali ke Jakarta dulu. Setelah segalanya menjadi jelas, baru ke Aceh.

"Tidak. Kita langsung ke Aceh. Persiapkan penerbangan kita. Kita berangkat sepagi mungkin," demikian arahan saya.

"Siap, Bapak Presiden," jawab mereka. Serentak.

"Terima kasih. Dalam keadaan yang serba tidak jelas ini justru sebagai pemimpin saya harus mengetahui situasi di lapangan yang sebenarnya. Di situ saya bisa segera mengambil keputusan. Dan kemudian memberikan instruksi dan segera bertindak."

Mereka kembali mengangguk. Tanda mengerti.

Saya dibesarkan di dunia militer. Dari Letnan hingga Jenderal. Saya bersyukur karena dapat kesempatan sejarah untuk bertugas di medan pertempuran di Timor Timur selama hampir 5 tahun. Juga pernah bertugas di Bosnia sebagai bagian dari Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB.

Dalam kehidupan militer inilah saya selalu ingat apa yang didoktrinkan kepada para Komandan Satuan tempur apa yang disebut "3 Quick." Dalam bahasa Inggris berbunyi: "Quick to see, quick to decide, quick to act."

Malam itu juga saya mengeluarkan instruksi kepada Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Kapolri Jenderal Polisi Da'i Bachtiar untuk menyiagakan pasukannya, dan segera melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu Aceh dalam mengatasi bencana dahsyat itu. Meskipun, terus terang, pengetahuan saya sendiri terhadap bencana tsunami belum luas benar.

Tetapi, pegangan saya adalah bahwa korban jiwa amat besar, berarti memerlukan tindakan yang besar pula.

Terbang Menuju Lhokseumawe

Pagi hari, pesawat yang saya tumpangi tinggal landas menuju Aceh. Sasaran kunjungan saya adalah ke Lhokseumawe. Sementara, Pak Jusuf Kalla saya minta untuk langsung ke Banda Aceh.

Pertimbangan saya Wapres bisa datang lebih cepat di Aceh, sehingga segera bisa melihat langsung Banda Aceh yang konon kerusakannya paling parah. Sebab, kalau saya sendiri yang ke Banda Aceh, sore atau malam hari baru tiba.

Sebagaimana yang diketahui oleh banyak kalangan, pesawat kepresidenan yang saya naiki adalah jenis RJ 85, yang tidak bisa terbang langsung ke Lhokseumawe. Pesawat harus singgah di Makasar dan kemudian Batam untuk pengisian bahan bakar.

Tentu saja saya harus menambah waktu sekitar 3-4 jam. Keadaan inilah yang waktu itu memunculkan gagasan saya bahwa seharusnya pesawat Presiden Indonesia bisa terbang ke manapun di wilayah Indonesia, maksimal 8 jam, tanpa harus melakukan  refueling.

Tetapi, pesawat yang saya maksud baru terwujud 10 tahun kemudian. Pertama saya sadar bahwa saya harus menunggu kemampuan ekonomi negara dan ketersediaan anggaran pemerintah. Sedangkan yang kedua proses politiknya ternyata panjang dan tidak mudah.

Ada pro dan kontra. Dianggapnya sebuah pemborosan. Padahal jika Presiden selalu menggunakan pesawat Garuda biayanya justru jauh lebih mahal, dan juga bisa mengacaukan jadwal penerbangan Garuda sendiri. Namun, bagaimanapun saya bersyukur karena pesawat itu dapat disediakan sekitar 5 bulan sebelum saya mengakhiri tugas saya sebagai Presiden.

Saya senang karena Presiden Jokowi dan Presiden-Presiden berikutnya bisa terbang ke manapun tanpa harus berhenti di jalan karena mesti mengisi bahan bakar.

Ketika saya singgah di Makasar dan Batam, saya tidak menyia-nyiakan waktu untuk mencoba berkomunikasi dengan Aceh. Tetapi tetap sulit.

Oleh karena itu saya terus bekerja dengan asumsi berdasarkan intelijen yang minim. Selama penerbangan pun saya menggelar peta dan bersama para menteri terkait mulai saya pelajari situasi serta rencana tindakan yang diperlukan. Sementara itu, Ibu Ani tampak makin sedih. Ia mulai membayangkan tragedi kemanusiaan itu.

Terbayang pula kesedihan tiada tara yang dialami oleh saudara-saudaranya yang ada di Aceh, yang kehilangan mereka-mereka yang disayanginya karena menjadi korban bencana tsunami tersebut.

Kehancuran Total dan Duka yang Mendalam

Sore hari pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Lhokseumawe. Begitu sampai di lokasi, saya beserta istri dan rombongan segera menemui ribuan saudara-saudara kita yang kena musibah, termasuk yang kehilangan keluarganya.

Suasana sungguh memilukan. Kami sapa dan peluk mereka. Saya sampaikan bahwa saya dan para Menteri datang untuk membantu mereka semua.

Menjelang gelap, saya dan rombongan sampai di tempat penginapan -- di kompleks PT Arun -- lalu segera menggelar rapat. Tentunya semuanya serba darurat.

Saya ingin segera mendapatkan laporan dari para pejabat daerah tentang keadaan yang nyata di lapangan, serta tindakan apa saja yang telah dilakukan oleh daerah termasuk oleh jajaran TNI dan Polri. Dengan laporan yang lebih akurat, saya akan lebih fokus untuk meninjau daerah-daerah yang paling parah kerusakannya. Juga yang paling banyak korban jiwanya.

Dari situ, kemudian saya bisa mengambil keputusan, termasuk sasaran-sasaran utama operasi tanggap darurat yang mesti segera dilakukan.

Tiga pimpinan daerah memberikan laporan singkat kepada saya, yaitu Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Azwar Abubakar, Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Endang Suwarya dan Kapolda Aceh Inspektur Jenderal Bachrumsyah

Roman muka ketiga pejabat tersebut nampak tegang dan juga lelah. Saya diberitahu bahwa istri Mayjen Endang Suwarya hampir tidak selamat akibat hantaman gelombang tsunami yang sangat kuat, sementara salah satu anak Gubernur Azwar Abubakar belum diketahui posisinya. Suara mereka nampak bergetar ketika memberikan laporannya.

Saya menyimak dengan seksama semua laporan dan penjelasan yang diberikan. Setelah saya ajukan sejumlah pertanyaan penting, akhirnya saya bisa menyimpulkan dan sekaligus menyampaikan pernyataan sebagai berikut:

"Ini sebuah bencana nasional. Hakikatnya juga krisis nasional. Oleh karena itu yang harus kita jalankan adalah manajemen krisis. Baik pada tingkat Pusat, maupun Daerah."

Semuanya membenarkan. Kemudian saya sampaikan arahan saya lebih lanjut.

"Karena jajaran Pemerintah Daerah saya anggap lumpuh total, maka Pemerintah Pusat akan mengambil alih. Setelah saya tinjau di lapangan esok pagi, saya akan putuskan status bencana ini. Tetapi sementara saya bisa mengatakan bahwa sangat mungkin statusnya adalah bencana nasional."

Seusai rapat, di hadapan staf khusus dan ADC Presiden, saya sampaikan bahwa saya harus turun langsung ke lapangan. "Hands on." Tak cukup hanya menerima laporan semata. Begitu prinsip kepemimpinan yang saya anut dan jalankan selama ini.

Namun, saya juga sampaikan bahwa sebagai Kepala Pemerintahan tugas dan kewajiban saya bukan hanya meninjau dan menangani permasalahan yang ada di lapangan semata, tetapi saya juga bertanggung jawab bahwa pemerintah memiliki kebijakan dan tindakan nasional yang tepat. Termasuk sumber daya yang perlu kita kerahkan.

Tentu termasuk pula dukungan anggaran yang diperlukan. Dalam pikiran saya yang harus pemerintah lakukan adalah manajemen krisis tingkat strategis dan berdimensi nasional.

3 Prioritas

Sepanjang malam, di wisma PT Arun Lhokseumawe, saya tidak bisa tidur. Saya gunakan waktu yang amat berharga itu untuk menyusun dan menentukan prioritas dan tindakan penting yang harus segera dilakukan.

Setelah saya lakukan analisis secara mendalam, saya tetapkan 3 prioritas utama. Tiga-tiganya harus dilakukan secara terpadu dan bersamaan. Tidak saling menunggu.

Prioritas pertama adalah Operasi Tanggap Darurat, secara internasional sering disebut Disaster Relief Operations. Yang paling penting adalah menyelamatkan jiwa siapapun yang masih bisa diselamatkan.

Kemudian evakuasi dan perawatan para korban luka atau sakit. Juga pemberian makanan, minuman, obat-obatan dan air bersih. Juga menghidupkan kembali listrik dan ketersediaan BBM.

Juga menormalisasi transportasi dan telekomunikasi.

Pendek kata, dari situasi yang serba darurat secara bertahap harus dipulihkan menjadi normal kembali. Melihat luasnya daerah yang rusak berat serta besarnya kehancuran infrastruktur dan sumber-sumber kehidupan, waktu operasi tanggap darurat ini saya tetapkan 3 bulan. Setelah itu akan berlanjut dengan tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Prioritas kedua adalah pengerahan dan penugasan satuan TNI dan Polri dalam jumlah yang cukup dan dalam waktu yang singkat. Operasi tanggap darurat yang amat besar skalanya tidak mungkin dilaksanakan tanpa pelibatan satuan TNI, Polri dan elemen-elemen lain seperti PMI, satgas PLN, satgas Telkom dan lain-lain.

Saya mengetahui bahwa salah satu tugas TNI adalah melaksanakan Operasi Militer Selain Perang, dan salah satu wujudnya adalah operasi tanggap darurat menanggulangi bencana.

Sedangkan prioritas yang ketiga adalah memastikan agar kontak tembak antara TNI dan GAM bisa ditiadakan. Ingat Aceh masih ditetapkan sebagai daerah operasi militer, karena unsur-unsur bersenjata GAM waktu itu juga masih aktif melakukan aksi-aksi bersenjatanya. Sementara itu tidaklah mungkin operasi tanggap darurat bisa dilaksanakan secara berhasil jika pertempuran antara TNI dan GAM masih terjadi.

Dalam kaitan ini, saya berencana bahwa sesampainya di Banda Aceh keesokan harinya, saya akan ajak dan serukan agar GAM bisa ikut membantu saudara-saudaranya yang tengah mengalami musibah luar biasa.

Saya juga akan serukan kembali untuk dapat mengakhiri konflik secara damai. Sebenarnya, sebulan sebelumnya, bulan November 2004 -- satu bulan setelah saya dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, saya telah mengajak GAM untuk kembali mencari jalan bagi pengakhiran konflik bersenjata yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun.

Dan sejarah juga mencatat bahwa sebenarnya solusi damai hampir terjadi setelah adanya Perjanjian Jenewa akhir tahun 2002. Sayang upaya damai itu kandas karena kurang bulatnya pihak pemerintah untuk mengimplementasikan solusi damai itu, sementara pihak GAM-pun juga tidak konsekuen melaksanakannya.

Oleh karena itu pada saat kampanye Pemilihan Presiden tahun 2004, saya bersama Pak Jusuf Kalla berjanji bahwa jika kami berdua mendapatkan amanah untuk memimpin Indonesia, kami bertekad untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai.

Dengan terjadinya bencana tsunami ini, saya punya keyakinan bahwa Allah memberikan jalan bagi berakhirnya konflik yang telah banyak merenggut korban jiwa itu. "New window of opportunity is widely open."

Keadaan Banda Aceh Lebih Memilukan

Esok harinya, 28 Desember 2004, saya sudah mendarat di Banda Aceh. Keadaan lebih menyedihkan lagi. Sepertinya semuanya rata dengan tanah. Kecuali sejumlah masjid, termasuk masjid Baiturrahman.

Saya segera berkeliling Banda Aceh. Rombongan sempat berhenti ketika di hadapan kami ada ratusan jenazah. Saya mengajak untuk berdoa kepada Allah, agar para syuhada itu diterima disisi-Nya. Menteri Agama Maftuh Basyuni memimpin acara doa itu.

Banda Aceh lengang. Saya temui para korban yang sakit dan luka-luka di Rumah Sakit sementara. Di Bandara sendiri Ibu Ani memeluki banyak sekali anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Tangis ada di mana-mana. Meskipun secara lahiriah saya tampak tegar dan terus memberikan instruksi kepada para Menteri dan Pejabat Daerah, tetapi sesungguhnya hati saya pun menangis. Ujian dan cobaan Allah ini sungguh berat.


Setelah cukup berkeliling dan meninjau langsung daerah-daerah yang paling terdampak, termasuk keadaan masyarakat dan infrastruktur yang rusak berat, saya segera menuju ke Posko Sementara yang bertempat di Pendopo Gubernuran. Di situ, meskipun informasi yang yang miliki relatif cukup, tetapi saya persilahkan pejabat yang ada di Posko untuk menyampaikan laporan dan penjelasannya.

Sejumlah tokoh masyarakat yang turut hadir juga saya persilahkan untuk bicara. Memang semuanya amat emosional. Bingung, sedih dan seperti tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

Dalam situasi seperti itulah -- sebagaimana yang telah saya perkirakan ketika saya berada di Lhokseumawe -- saya harus memberikan instruksi dan arahan secara teknis. Sama sekali saya tidak berbicara yang sifatnya nasional dan strategis.

Betul-betul operasional dan teknis. Persis seperti seorang Bupati, atau Dandim, ataupun Kapolres memberikan pengarahan kepada komandan-komandan bawahannya. Pertimbangan saya, kehidupan lokal yang lumpuh harus digerakkan dulu.

Kepercayaan mereka harus mulai dibangkitkan. Mereka harus tahu ada Presiden, Menteri dan pejabat lain yang datang untuk mengatasi masalah dan membantu mereka semua.

Medan yang saya masuki adalah medan psikologis dan kondisi mental yang mengalami goncangan. Itu yang paling diperlukan.

Di Lhokseumawe, saya berjanji bahwa setelah meninjau Banda Aceh akan segera saya tetapkan status bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan Nias itu. Di situlah secara lisan saya sampaikan status bencana yang terjadi itu berupa Bencana Nasional. Dengan demikian siapa berbuat apa dan siapa bertanggung jawab tentang apa menjadi jelas. Juga menyangkut penggunaan dan penyaluran anggaran negara.

Satu lagi, yang juga telah ada dalam pikiran saya, di Banda Aceh lah saya ulangi seruan saya agar Pemerintah dan GAM dapat duduk bersama untuk mencari jalan bagi pengakhiran konflik. Atas pertolongan Allah, tampaknya jalan itu terbuka cukup lebar. Sejarah mencatat bahwa hanya dalam waktu 8 bulan akhirnya konflik Aceh bisa kita selesaikan secara damai dan bermartabat.

Sejumlah Persoalan Pelik Menghadang

Barangkali ada yang mengira bahwa setelah tsunami Aceh dan Nias saya tetapkan sebagai bencana nasional, setelah operasi tanggap darurat saya putuskan untuk segera dilakukan dan setelah TNI, Polri dan unsur-unsur tanggap darurat lain saya instruksikan untuk dikerahkan semaksimal mungkin, tidak ada lagi persoalan yang berarti.

Hal begitu keliru. Ternyata ada sejumlah persoalan pelik dan rumit yang harus dipecahkan. Dalam tatanan manajemen pemerintahan, utamanya manajemen krisis, sebagai Presiden saya memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar.

Tugas dan tanggung jawab ini harus saya ambil secara penuh dan tidak mungkin saya delegasikan kepada siapapun.

Di bawah ini akan saya kedepankan sejumlah persoalan pelik yang dihadapi oleh jajaran pemerintah.

- Pemerintahan Daerah benar-benar lumpuh
- Logistik boleh dikatakan nol
- Alutsista TNI sangat kurang, akibat embargo dan sanksi
- Konflik bersenjata dengan GAM masih berlangsung
- Ada penolakan terhadap bantuan internasional, termasuk militernya
- Badan penanggulangan bencana belum terbentuk
- Undang-Undang penanggulangan bencana belum ada
- Anggaran APBN 2004 tidak tersedia untuk tanggap darurat tsunami Aceh dan Nias.

Sebagian dari persoalan itu meskipun pelik tetapi ada solusi yang dapat dilakukan. Tetapi, sebagian dari persoalan itu memang rumit, penuh risiko dan "politiknya" juga tinggi. Oleh karena itu, pemerintah mengambil posisi dan kebijakan yang intinya untuk memastikan bahwa semua bentuk operasi tanggap darurat dapat dilaksanakan, termasuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi setelah tahapan tanggap darurat selesai dilakukan.

Paling tidak ada 4 persoalan kritikal yang memerlukan pelibatan dan keputusan saya secara langsung. 4 hal itu adalah (1) penggunaan APBN untuk operasi tanggap darurat; (2) kebijakan terhadap bantuan internasional; (3) kehadiran dan pelibatan militer asing; dan (4) tindakan penghentian operasi militer menghadapi GAM.

Secara singkat akan saya elaborasi keempat hal itu.

Pertama, untuk mendapatkan alokasi anggaran yang cukup besar, pemerintah bekerja maraton dengan DPR RI untuk mendapatkan persetujuan penggunaan anggaran dimaksud. Saya berpendapat meskipun di kala krisis segalanya harus cepat, tetapi aturan undang-undang dan "governance" tidak boleh ditabrak.

Meskipun tetap alot, tetapi karena kedua belah pihak Alhamdulillah memiliki "sense of crisis" yang relatif sama, anggaran itu dapat disediakan dan kemudian disalurkan.

Kedua, banyak tawaran bantuan dari negara-negara sahabat. Jumlahnya besar, dan saya kira angka yang paling besar yang diterima oleh sebuah negara di abad ke-21 ini. Persoalannya adalah selalu ada pro dan kontra di dalam negeri. Tetapi, tanpa ragu-ragu saya memutuskan untuk menerima bantuan itu demi masyarakat Aceh dan Nias yang amat menderita.

Saya juga berjanji untuk mengelola anggaran itu secara transparan dan akuntabel, serta bebas dari korupsi. Komitmen dan "pledging" internasional itu mengalir dan dalam jumlah yang besar setelah pemerintah berhasil menyelenggarakan Konferensi Internasional yang kemudian disebut dengan Tsunami Summit.

Di situ saya paparkan tentang skala kerusakan yang terjadi, termasuk jumlah korban jiwa yang tewas dan hilang. Setelah itu saya persilahkan jika ada pihak-pihak yang secara ikhlas dan tanpa syarat ingin membantu Indonesia. Berkali-kali saya ucapkan bahwa "Indonesia tidak meminta-minta, tetapi jika ada bantuan kemanusiaan tentu kami terima." Besaran kontribusi internasional untuk Indonesia itu mencapai sekitar 7 miliar dolar AS.

Ketiga, banyak sekali kontingen militer negara sahabat yang telah berada di sekitar Aceh dan Nias, dan juga yang telah bersiap di negaranya untuk segera berangkat ke Indonesia. Persoalannya, sebagaimana halnya bantuan internasional, ada yang alergi dan bahkan menolak kehadiran militer asing tersebut.

Alasannya bermacam-macam. Katanya Indonesia, khususnya Aceh, akan menjadi sasaran intelijen asing. Juga dikhawatirkan tentara asing itu akan membantu GAM. Dan masih ada sejumlah alasan.

Dengan tegas saya katakan kekhawatiran itu tidak perlu ada. Di dunia ini tindakan membangun sebuah negara yang mengalami musibah bencana alam itu amat biasa. Atas dasar itu, dengan tegas saya mengizinkan kehadiran kontingen tentara negara sahabat itu dengan catatan mereka tetap dibawah kendali Indonesia, khususnya pemerintah dan pimpinan TNI.

Ternyata apa yang dilakukan oleh tentara asing itu amat menguntungkan kita. Alutsista dan perlengkapan untuk mengatasi bencana lebih lengkap. Mereka banyak membantu pelaksanaan operasi tanggap darurat. Tidak ada yang melakukan operasi intelijen.

Tidak ada yang membantu GAM. Bahkan mereka memiliki pandangan yang baik terhadap TNI kita yang dinilai profesional, bersahabat dan tidak ada wajah represif sebagaimana yang dicitrakan selama ini.

Keempat, berkenaan dengan situasi keamanan di Aceh sendiri. "De facto" konflik bersenjata masih ada. Oleh karena itu secara sungguh-sungguh saya melakukan analisis dan kalkulasi.

Akal sehat dan keyakinan saya mengatakan tidak mungkin GAM akan melakukan serangan-serangan terhadap TNI maupun tentara asing. Kalau itu dilakukan istilahnya mereka "bunuh diri."

Itulah yang mendasari pertimbangan saya agar TNI sementara menghentikan operasi militernya dan kemudian fokus pada operasi tanggap darurat. Kecuali kalau TNI diserang, saya instruksikan untuk dilakukan pembalasan dan pengejaran sampai dapat. Tentu keputusan, kebijakan dan instruksi saya ini tinggi risikonya.

Saya bisa salah. Tetapi keputusan itu tetap saya ambil. Adalah sejarah yang mencatat bahwa tidak terjadi serangan GAM, baik terhadap TNI maupun kontingen militer asing, selama pelaksanaan operasi tanggap darurat.

Sebelumnya telah saya katakan bahwa semua keputusan, kebijakan dan tindakan yang saya ambil ini ada pro dan kontranya. Risikonya pun tinggi. Tetapi, sekali lagi harus saya ambil dan lakukan.

Dalam hal ini saya terus bersinergi dan berbagi pekerjaan dengan Wapres Jusuf Kalla. Pak JK cukup kontributif, banyak inisiatif dan sungguh membantu saya sebagai Kepala Pemerintahan. Peran dan jasa Panglima TNI, Kapolri dan Kasad juga besar.

Bahkan saya saksikan sendiri Kasad, waktu itu Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, sangat aktif memimpin operasi pengumpulan ribuan jenazah serta pembersihan kota dari material dan sampah tsunami yang menggunung. Gubernur Sumatera Utara juga amat besar jasanya -- (alm) Teuku Rizal Nurdin. Demikian juga para Gubernur lain yang juga menunjukkan solidaritasnya. Juga para donatur dan masyarakat luas.

Refleksi Seperti Apa yang Kita Dapatkan?

Bicara refleksi amat banyak yang dapat kita tulis. Banyak drama dan cerita yang memilukan. Banyak keajaiban, yang tiada lain karena pertolongan Allah SWT. Banyak kejadian yang sepertinya tidak mungkin, tetapi menjadi mungkin.

Ambillah sebuah contoh. Seorang anak, Martunis, yang terapung sekitar 2 minggu bisa selamat.

Tsunami Summit yang dihadiri oleh Sekjen PBB Kofi Annan dan banyak kepala negara asing yang kita siapkan hanya selama satu minggu, yang biasanya memerlukan waktu satu tahun, berhasil dengan gemilang.

Kalau mau diceritakan barangkali seminggu belum selesai. Kalau mau ditulis barangkali sepuluh buku belum cukup.

Tetapi, yang jelas, sebagai seseorang yang selalu berpikir positif, bersikap optimis dan yakin bahwa selalu ada solusi terhadap persoalan sepelik apapun, saya merasa mendapatkan banyak hikmah dan pelajaran yang amat berharga.

Dengan penuh rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh ikut mengatasi musibah tsunami Aceh dan Nias yang lalu, saya ingin berbagi kabar gembira. Yang saya maksudkan, ternyata negeri ini, kita semua, telah mampu mengubah krisis menjadi peluang. Juga telah mampu mengubah musibah menjadi hikmah dan berkah.

Seperti yang menjadi judul tulisan saya yang sederhana ini -- Dari Duka Kita Bangkit -- saya ingin menyebut 10 capaian baik yang patut kita syukuri bersama.

1. Tanggap darurat berhasil baik, rehabilitasi dan rekonstruksi pun sukses
2. Konflik Aceh bisa diselesaikan
3. Embargo dan sanksi militer dicabut, tentu dengan upaya kita
4. Indonesia menerima bantuan internasional yang relatif besar
5. Kinerja dan "governance" BRR pimpinan Dr. Kuntoro dipuji dunia
6. Early warning system dan teknologi kebencanaan akhirnya kita miliki
7. Kita punya UU Penanggulangan Bencana
8. Kita punya BNPB -- Pusat dan Daerah yang makin kapabel dan kredibel
9. Solidaritas -- baik internasional maupun nasional --- kini menjadi rules
10. Kita terbiasa menjalankan manajemen dan kepemimpinan di kala krisis

Masih seputar refleksi, bagi saya pribadi banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan. Kalau saya bagikan perasaan dan pengalaman ini kepada para sahabat, tiada lain jika para sahabat mengalami hal yang sama, barangkali pengalaman saya ini ada gunanya untuk diketahui.

Memimpin upaya mengatasi dan menangani bencana tsunami Aceh dan Nias adalah ujian pertama yang saya hadapi sebagai Presiden. Jika saya gagal, barangkali akan gagal lah selamanya menjadi Presiden.

Banyak keputusan, kebijakan dan tindakan saya yang berisiko tinggi. Sangat mungkin saya salah dan gagal. Dalam mengatasi dan mengelola krisis, baik tatanan sistem dan manajemen maupun tindakan cepat di lapangan sama pentingnya. Pemimpin itu tidak pernah sepi dari kritik dan kecaman, sebagaimana yang saya terima ketika menangani tsunami Aceh dan Nias dulu, tetapi saya harus tetap bekerja.

Dalam keadaan seperti itu ada sebagian yang keras berkomentar miring tetapi tergolong "do nothing." Biarkan hal itu tetap terjadi karena kita tidak dapat meniadakannya, yang penting teruslah berikhtiar. Saya kira masih banyak lagi. Mari kita terus belajar dan pandai mengambil hikmah. Tidakkah hidup ini universitas yang abadi?

Menutup tulisan ini saya ingin mengulangi kata-kata saya yang sering saya sampaikan jika kita melakukan refleksi tentang tsunami Aceh dan Nias.

Banyak saudara-saudara kita di Aceh dan Nias, termasuk anak-anak waktu musibah itu terjadi, yang telah kehilangan masa lalunya. Jangan biarkan mereka kehilangan masa depannya. Mari kita peduli dan berbagi kepada mereka, agar mereka memiliki masa depan yang baik.***

Baca juga :