"Megahnya 212" VS "Sederhananya" 811


[PORTAL-ISLAM.ID]  Kapolri Jenderal Tito Karnavian tanpa tedeng aling-aling menyebutkan reuni 212 di Monas pekan lalu memiliki tujuan politik. Penilaian itu tidak salah. Tepat sekali. Sejak awal gerakan Aksi Bela Islam memang gerakan yang bertujuan politik. Itu juga tidak salah. Tak melanggar konstitusi dan tak melanggar norma apapun.

Hanya kaum sekular yang akan berkeberatan. Dan Indonesia sejak awal didesain bukan sebagai negara sekular, dan juga bukan negara agama. Indonesia adalah negara yang mengakui agama dan menjadikan religiusitas sebagai salah satu norma dasarnya.

Namun gerakan 212 bukanlah gerakan politik. Ia adalah gerakan sosial. Ada kondisi sosial yang menuntut perbaikan nasib. Ada masalah ketidakadilan. Statistik bisa memperlihatkan semua fakta itu: rekening tabungan, kepemilikan dan penguasaan tanah, pendapatan, kesempatan berusaha, dan sebagainya.

Partai-partai telah gagal mewujudkan semua itu. Ada oligarki yang akut antara elite dan golongan kapitalis. Ada pangeranisme di segala lapangan kehidupan. Karena itu gerakan 212 adalah gerakan akar rumput yang tak terkanalisasi menghadapi gerakan kaum elite.

Agama yang menjadi pompanya, karena itu satu-satunya senjata yang dimiliki. Uang tak ada, kekuasaan pun tak. Kaum berdarah merah melawan kaum berdarah biru. Kita harus berhati-hati menghadapi situasi ini.

Kita bisa saja mengatakan bahwa di atasnya adalah orang-orang berduit juga. Tentu saja. Gerakan mana yang tak seperti itu. Contoh paling gampang adalah Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Yang penting adalah apa yang disuarakan dan korelasional tidak dengan fakta di lapangan. Karena itu yang paling gigih untuk membendung arus gerakan 212 adalah kaum plutokrat yang kini sedang menggendalikan kekuasaan, melalui para cantriknya di kekuasaan.

Reuni 212 yang lalu – orang rupanya lebih suka membahas yang tak substansal, seperti isu jumlah peserta, bahkan isu intoleransi – adalah pertunjukan bahwa mereka tetap solid dan terkonsolidasi. Kendatipun yang menjadi pemantiknya telah tumbang. Namun seperti yang saya tulis dalam tujuh seri ”revolusi putih” setahun lalu, ini adalah gerakan sosial. Jadi bukan sekadar Ahok.

Kasus Ahok tak akan cukup kuat jika tak memiliki akar sosialnya. Seperti halnya pemberontakan Banten pada 1888, yang dipantik masalah azan, berakar pada kemiskinan dan ketidakadilan sistem kolonial. Masalah azan hanya akan menimbulkan letupan kecil saja jika tak ada akar sosialnya.

Pertanyaan selanjutnya terhadap gerakan 212 ini apakah akan menjadi gerakan yang efektif atau sekadar kerumunan massa saja. Inilah skeptisikal yang muncul. Kendati mereka datang dari berbagai wilayah, pertanyaannya adalah apakah mereka cuma efektif di Jakarta atau bisa menjadi gerakan yang terkoneksi di seluruh Indonesia. Kapolri menyebutkan bahwa reuni 212 ujungnya adalah pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019. Sebagai tujuan antara tentu saja benar.

Karena itu, Bachtiar Nasir, ketua gerakan ini, melakukan safari keliling Indonesia. Dan, ia diganjal di mana-mana. Jika ia berhasil menjadikan gerakan 212 sebagai sebuah rantai dan bukan sekadar kerumunan maka efektivitas gerakan 212 akan menjadi kenyataan. Itulah tantangan yang mereka hadapi.

Lalu, apa maksud 811? Itulah hari pernikahan Kahiyang Ayu, putri Presiden Joko Widodo, dengan Bobby Nasution. Pernikahan ini didesain kolosal dan dijadikan panggung tontonan menarik. Tak ada lagi term sederhana seperti halnya pernikahan putra pertamanya, Gibran Rakabuming Raka dengan Selvi Ananda. Panggung tontonan itu bahkan dibawa ke Tapanuli saat acara ngunduh mantu.

Hampir semua stasiun televisi melakukan siaran langsung. Jadilah pernikahan ini menjadi peristiwa politik kolosal yang tak hanya bergetar di tatar Jawa maupun tatar Sumatera, tapi di seluruh bumi Nusantara. Jokowi telah sukses menjadikan ini sebagai panggung yang apik. Namun publik melupakan detil yang sangat penting: kehadiran 8.500 relawan Jokowi dari seluruh Indonesia.

Menghadirkan relawan sebanyak itu butuh pengorganisasian yang rapi. Apalagi kehadiran mereka tak menimbulkan kegaduhan dan tak mencuri perhatian. Padahal mereka bukan dari satu organisasi relawan, tapi dari banyak faksi relawan. Kehadiran itu membuktikan bahwa mereka tetap terkonsolidasi dan bisa bekerja sama.

Mereka bukan massa kerumunan tapi sebuah rantai. Mereka sudah membuktikan bahwa mereka sudah efektif memenangkan Jokowi pada pilpres 2014 dan tetap dalam satu barisan kendati gagal mempertahankan Ahok – namun tetap berhasil membangun citra positif Ahok seperti dibuktikan dalam survei-survei kandidat capres-cawapres 2019. Mereka banyak bergerak di dunia sosmed.

Acara 811 bisa menjadi test case buat mereka untuk bergerak serentak. Dan ini bisa menjadi ancang-ancang untuk pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019. Apalagi sejak dini, pada 2015, mereka sudah berikrar untuk menjadikan Jokowi sebagai presiden dua periode. Dan ikrar itu terus didengungkan di setiap pertemuan tahunan mereka.

Yang hadir di Solo memang 8.500, namun mereka bukanlah kerumunan tapi rantai. Sehingga mereka tetap memiliki down line di bawahnya. Mereka juga menjadi gerakan yang memengaruhi publik di sekitarnya. Mereka akan mengawal program-program Jokowi, mereka juga memantau aparat dan birokrasi di seluruh Indonesia. Karena itu, Jokowi selalu mendengarkan mereka. Para menteri pun akan jerih terhadap mereka.

Kini pertanyaannya adalah siapa yang akan menjadi pemenang pertarungan 212 vs 811? Kita nantikan pada 2019 nanti. Hingga saat ini, Jokowi masih belum memiliki lawan yang sebanding, seperti diperlihatkan oleh angka-angka survei. Yang selalu menguntit di bawahnya adalah Prabowo Subianto – lawannya di pilpres 2014.

Namun dari angka survei yang dirilis Indobarometer, Anies Baswedan memiliki potensi untuk menjadi pesaingnya. Tentu Anies akan menghadapi dua kendala. Pertama, jika Prabowo mengizinkan. Kedua, jika kinerjanya sebagai gubernur moncer. Pada titik inilah mengapa Anies digempur terus oleh media dan sosmed.

Kita sebagai rakyat, hanya berharap agar perbaikan nasib bangsa yang menjadi titik tuju utamanya. Empat amanat konstitusi, seperti tercantum di Pembukaan UUD 1945, harus menjadi acuannya. Bersainglah dalam politik karena itu hakikat demokrasi, tapi kita tetap satu Tanah Air dan satu bangsa Indonesia.

Penulis: Nasihin Masha
Baca juga :