Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pemimpin yang ingkar janji.
Menurut Lukman, kriteria ingkar janji pemimpin tidak bisa disimpulkan begitu saja saat seorang pengemban amanah baru saja menjalankan masa tugasnya. Contohnya tentu kurang bijak saat yang bersangkutan memiliki periode bakti selama lima tahun dan sudah dicap ingkar janji di tahun pertamanya.
"Dia dinilai menepati atau ingkar janji sangat tergantung dari apakah dia telah menyelesaikan masa tugasnya itu, misalnya orang bertugas lima tahun," kata Menag Lukman di kantornya, area Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (18/6), lansir ROL.
Pemimpin, kata politisi PPP itu, memiliki periode tugas untuk menepati janjinya terutama janji kampanye. Konteks menepati janji sangat tergantung dari pemimpin itu mampu memenuhi janji kampanyenya dan tanggung jawabnya atau tidak.
Lukman juga mengatakan publik harus obyektif juga terhadap kendala seorang pemimpin dalam menepati janjinya. Karena terkadang terdapat kendala birokrasi, ada ketidakmampuan, ketidakseriusan atau faktor di luar batas kemampuan pemimpin.
"Tidak semua orang bisa memenuhi apa yang diharapkan. Janji itu kan bagian dari harapan. Tapi dalam agama orang berencana, Tuhan menentukan. Jadi ada faktor takdir juga menentukan," katanya.
Namun, Lukman menegaskan, Pemimpin yang baik adalah yang menepati janjinya saat kampanye. Untuk itu, Menag mengajak setiap pribadi, bukan hanya pemimpin, agar berupaya menepati janjinya.
"Kalau menurut saya tidak hanya seorang pemimpin. Siapapun kita menjadi ciri ketidakberimanan jika ingkar janji. Ada tiga ciri orang mukmin kalau bicara dia tidak bohong, kalau dipercaya tidak ingkar janji, tidak berdusta. Janji sendiri adalah adalah hutang," katanya.
Sebelumnya, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD termasuk seorang yang sangat mengapresiasi atas keluarnya fatwa dari MUI terkait pemimpin ingkar janji. Pemimpin semacam itu, lanjutnya, memang seharusnya untuk dimakzulkan.
Sebagaimana diberirtakan, Ijtima' Ulama se-Indonesia yang digelar Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Tegal Senin (8/6) bersepakat bahwa siapapun calon pemimpin yang berjanji tanpa menepati janjinya termasuk perbuatan zalim, munafik, dan berdosa besar.
"Setiap pemimpin wajib menjalankan sumpah jabatan, amanah, dan janji yang telah diamanahkan kepadanya. Terkecuali ada uzur syar'i yang menyebabkan ia tidak dapat menjalankan amanah tersebut," ulas pimpinan sidang pleno IV Ijtima Ulama KH Amidhan Saberah. (Baca: Fatwa MUI: Pemimpin Ingkar Janji Itu Munafik, Zalim, Dosa Besar!)
"Tidak semua orang bisa memenuhi apa yang diharapkan. Janji itu kan bagian dari harapan. Tapi dalam agama orang berencana, Tuhan menentukan. Jadi ada faktor takdir juga menentukan," katanya.
Namun, Lukman menegaskan, Pemimpin yang baik adalah yang menepati janjinya saat kampanye. Untuk itu, Menag mengajak setiap pribadi, bukan hanya pemimpin, agar berupaya menepati janjinya.
"Kalau menurut saya tidak hanya seorang pemimpin. Siapapun kita menjadi ciri ketidakberimanan jika ingkar janji. Ada tiga ciri orang mukmin kalau bicara dia tidak bohong, kalau dipercaya tidak ingkar janji, tidak berdusta. Janji sendiri adalah adalah hutang," katanya.
Sebelumnya, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD termasuk seorang yang sangat mengapresiasi atas keluarnya fatwa dari MUI terkait pemimpin ingkar janji. Pemimpin semacam itu, lanjutnya, memang seharusnya untuk dimakzulkan.
Sebagaimana diberirtakan, Ijtima' Ulama se-Indonesia yang digelar Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Tegal Senin (8/6) bersepakat bahwa siapapun calon pemimpin yang berjanji tanpa menepati janjinya termasuk perbuatan zalim, munafik, dan berdosa besar.
"Setiap pemimpin wajib menjalankan sumpah jabatan, amanah, dan janji yang telah diamanahkan kepadanya. Terkecuali ada uzur syar'i yang menyebabkan ia tidak dapat menjalankan amanah tersebut," ulas pimpinan sidang pleno IV Ijtima Ulama KH Amidhan Saberah. (Baca: Fatwa MUI: Pemimpin Ingkar Janji Itu Munafik, Zalim, Dosa Besar!)