KISRUH POSISI JAMAAH HAJI DI ARMUZNA (Arafah, Muzdalifah, dan Mina)

KISRUH POSISI JAMAAH HAJI DI ARMUZNA (Arafah, Muzdalifah, dan Mina)

Oleh: Irfan Habibie Martanegara

Hari-hari puncak ibadah haji tengah berlangsung. Di saat semestinya seluruh perhatian tercurah pada kekhusyukan ibadah, sebagian petugas dan jamaah malah disibukkan dengan persoalan teknis yang sebenarnya bisa diprediksi sejak awal: ketidakteraturan posisi jamaah di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina).

LATAR BELAKANG MUNCULNYA SISTEM KAFILAH

Masalah ini tidak muncul tiba-tiba. Akar utamanya adalah pemisahan jamaah berdasarkan syarikah (penyedia layanan di Mekkah), yang mengakibatkan kloter —yang awalnya solid sejak keberangkatan dari Tanah Air— pecah di Mekkah. Hotel-hotel umumnya dikontrak satu syarikah tertentu, sehingga jamaah dari kloter yang sama bisa tersebar di hotel berbeda jika syarikahnya tak sama.

Karena agenda Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) berada dalam kendali otoritas syarikah, dibentuklah sistem baru semacam kloter bayangan berdasarkan hotel, yang disebut sebagai kafilah. Inilah titik krusial yang menjadi sumber tumpang tindih data dan distribusi.

POROS PENEMPATAN JAMAAH

Dalam praktiknya, posisi jamaah di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) berpijak pada dua poros utama:

1. Kloter (Kelompok Terbang): unit dasar keberangkatan dan koordinasi.
2. Kafilah: kloter bayangan berbasis hotel/syarikah.

Jamaah bareng kloter, tapi beda kafilah → tenda bisa kepenuhan.
Jamaah bareng kafilah, tapi berbeda kloter → rentan konflik logistik.
Akibat pola tersebut, tenda yang dirancang untuk 180 orang bisa dijejali 220 orang. Konsumsi tak sampai karena distribusi berbasis kloter, sementara penempatan menggunakan kafilah. Sistem data jadi saling bertabrakan.

JAMAAH RENTAN: YANG TERJEPIT DI ANTARA SISTEM

Jamaah yang rentan adalah yang terpisah dari kloternya karena beda syarikah, lalu untuk Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) diberangkatkan melalui kafilah. Dia sendirian di kafilah itu tanpa ada pelindung. Ada yang diterima di tenda tapi tidak kebagian makan, ada pula yang ditanya terus kapan pergi dari tendanya, sampai akhirnya kloter asalnya harus menjemput.

Yang paling ngeri adalah yang seperti screenshot yang saya lampirkan ini....

Saya belum paham ini masuk pola yang mana karena terjadi pada kloter yang seharusnya memiliki posisi paling kuat. Di kloter saya, jamaah-jamaah yang tersisih dari kafilahnya, petugas kloternya menjemput untuk memberikan perlindungan.

Situasi ini bukan hanya membingungkan, tapi juga menimbulkan ketegangan. Padahal di titik puncak haji, jamaah justru butuh ketenangan dan stabilitas, baik fisik maupun mental.

PENUTUP

Masalah syarikah ini terus merembet ke mana-mana. Beberapa hari ke depan, di Mina, masih jadi ujian berat. Wajar jika jamaah kini tidak hanya berharap, tapi juga menuntut adanya terobosan nyata dan segera dari PPIH (Petugas Penyelenggara Ibadah Haji).

(fb)
Baca juga :