Zakir Naik. Namanya menggelegar di dunia dakwah internasional.
Ia dikenal sebagai sosok yang berani berdialog, menjawab, dan mematahkan argumen anti-Islam di depan publik dengan logika tajam.
Tapi tahukah kamu? Di beberapa negara, termasuk negeri mayoritas Muslim, Zakir Naik ditolak.
Di Malang, Indonesia kota yang katanya ramah dan religius kehadiran beliau menuai penolakan justru di Malang diketahui melegalkan sound horeg besar besaran.
Di India, ia diburu. Di Malaysia, dia diminta diam. Bahkan di negara-negara Teluk, dakwahnya dianggap “mengganggu stabilitas”.
Ironis. Yang ditolak bukan penista agama, tapi penyeru kebenaran.
Dan yang menolaknya, bukan hanya dari luar Islam, tapi dari dalam tubuh umat Islam sendiri.
Putranya, Farid Naik, yang ikut mewarisi semangat dakwah sang ayah, mulai menghadapi tekanan yang sama.
Tapi ternyata, sejarah ini berulang dari gurunya, Ahmad Deedat.
Ahmad Deedat, dan Warisan Yang Tak Semua Bisa Tanggung
Syaikh Ahmad Deedat adalah guru dan inspirasi bagi banyak pendakwah modern, termasuk Zakir Naik.
Ia berdiri melawan propaganda misionaris Kristen di Afrika Selatan dengan debat-debat publik yang legendaris.
Karyanya seperti "The Choice" membuka mata banyak orang terhadap kebenaran Islam.
Tapi hidupnya tidak mulus. Di akhir hayatnya, ia mengalami stroke parah hingga belasan tahun tak bisa bicara. Namun matanya… tetap tajam. Jiwanya tetap membara.
Sang anak, Yusuf Deedat, melanjutkan perjuangan itu.
15 Januari 2020 — Pagi yang Mengubah Segalanya
Di pagi itu, Yusuf Deedat datang ke Pengadilan Keluarga Verulam, dekat Durban, Afrika Selatan.
Ia datang bukan untuk debat, bukan untuk berceramah. Tapi untuk mengajukan perintah perlindungan hukum, karena merasa mendapat ancaman serius.
Saat berjalan di trotoar bersama istrinya, seorang pria asing mendekat.
Tanpa peringatan, sebutir peluru ditembakkan tepat ke belakang kepala Yusuf.
Ia tumbang seketika.
Darah mengalir di trotoar, wajahnya menyentuh aspal.
Pelaku kabur ke mobil putih yang menunggunya. Tak ada suara, tak ada tangisan hanya kekacauan, dan keheningan yang terlalu cepat datang.
Dunia Bereaksi — Tapi Pelaku Tak Pernah Ditangkap
Yusuf dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya kritis.
Doa mengalir dari berbagai penjuru dunia.
Tapi tiga hari kemudian, pada 17 Januari 2020, Yusuf Deedat dinyatakan wafat.
Polisi mengatakan mereka sedang menyelidiki.
Namun hari berlalu, bulan berganti…
Tak satu pun pelaku ditangkap.
Tak jelas siapa di baliknya. Muslim? Non-Muslim?
Isu berkembang, spekulasi muncul tapi kebenaran tetap dibungkam.
Keluarga pun akhirnya menyewa penyelidik swasta, karena aparat negara tampak tak sungguh-sungguh.
Mengapa Para Penyeru Kebenaran Selalu Dibungkam?
Apa yang salah dari Yusuf?
Apakah karena ia berkata, “La ilaha illallah”?
Apakah karena ia membongkar kepalsuan?
Apakah karena ia berani berkata yang tidak nyaman untuk telinga-telinga dunia?
Sama seperti ayahnya, sama seperti gurunya,
dan sama seperti semua penyeru tauhid dari zaman para nabi:
Mereka tidak dibenci karena kesalahan, tapi karena kebenaran.
Diamnya Kita, Matinya Suara
Kita hidup di zaman di mana pendusta dimuliakan, dan pendakwah dibungkam.
Yang menyebar kekeliruan dipuja,
Yang membela Islam dituduh radikal, fanatik, ekstrem.
Pertanyaannya: di sisi mana kita berdiri?
Zakir Naik ditolak.
Farid Naik ditekan.
Yusuf Deedat ditembak.
Siapa selanjutnya?
Kita tak tahu. Tapi kita tahu satu hal:
Kebenaran tak akan pernah mati kecuali kita yang mematikannya dengan diam.
Semoga Allah menerima Syekh Yusuf Deedat dan Ahmad Deedat. al-Fatihah.
(Ngopidiyyah)