BANTAHAN:
1. Nabi Ibrahim memiliki sifat ma'shum, jadi tuduhan Wahm itu berkonsekuensi serius merusak citra Nabi yang diagungkan oleh Allah. Sangat tidak mungkin Allah memuji Nabi Ibrahim sebagai sosok yang Hanif jika ternyata masih bisa Wahm (gagal paham) atas perintahnya.
2. Nabi Ibrahim sebelum perintah menyembelih putranya telah melalui berbagai tragedi, diantaranya lolos dari kobaran api Namrud, sehingga hukum universal maupun nilai universal dalam konteks Nabi Ibrahim bukanlah sesuatu yang baku lagi karena diatas itu ada wahyu yang kebenarannya bersifat absolut.
3. Ketika Nabi Ibrahim menerima perintah mengorbankan putranya, beliau sebagai manusia ma'shum yang fathonah sangat tahu bahwa itu adalah Wahyu dan itu perintah spesifik yang tidak bisa dita'wil, hal itu pun didukung oleh putranya yang juga Nabi yang juga manusia ma'shum dan fathonah.
Apakah Kant dan Ibnu 'Arobi lebih Fathonah dari para Nabi??
4. Jadi, epistemologi yang diterapkan adalah akal tunduk pada supremasi wahyu dengan keyakinan Allah dzat yang maha adil, maha bijaksana, maha rohman, tidak mungkin akan mendzolimi hambanya.
5. Itulah alasan kenapa Nabi Ibrahim melaksanakan perintah yang seolah-olah bertentangan dengan nilai universal yang paling dasar. Dalam konteks keta'atan, setelah jelas itu wahyu, maka akal tunduk pada wahyu untuk melaksanakan perintah berbekal keyakinan Allah adalah dzat maha bijaksana yang tidak mungkin mendzolimi hambanya.
Semoga mencerahkan.
(Ustadz M Anwar Rifa'i)