Ledakan di Garut, 12 Mei 2025, yang menewaskan tiga belas orang—sembilan warga sipil dan empat personel militer—adalah insiden mengerikan. Dan pemberitaan tentangnya mengubah kengerian itu menjadi hal yang rutin.
Kita membaca kejadian, kronologi, kutipan pejabat, keterangan saksi administratif, dan pengamat militer. Melalui mereka, sesuatu pelan-pelan bergeser: kematian berubah menjadi statistik dan duka menjadi urusan prosedur.
Pihak militer mengatakan:
“Sudah ada pemberitahuan.”
“Warga sudah terbiasa.”
“Semuanya dinyatakan aman.”
“Mungkin terjadi ledakan kedua.”
“Warga biasa mengumpulkan logam.”
Keterangan-keterangan itu diberikan sebagai upaya untuk merekonstruksi kejadian dan sekaligus menyusun ulang maknanya. Kita diberi tahu bahwa warga yang tewas adalah orang-orang yang “mendekat sebelum steril”, seakan mereka memang memilih mendekati kematian.
Kata “rutin” dan “terbiasa”, yang diulang-ulang, terasa sebagai upaya untuk menumpulkan perasaan syok, atau meredam gejolak, agar kematian diterima sebagai hal yang lumrah. Ketika sudah lumrah, kita tidak perlu lagi mencari-cari siapa yang bersalah.
Mungkin kita akan mendapati pernyataan yang berbeda dari warga, teman atau kerabat mereka yang menjadi korban ledakan, tetapi warga tidak banyak ditampilkan dalam pemberitaan. Para korban dimunculkan sebagai katalog nama-nama saja.
Saya membayangkan sebuah berita yang menghadirkan mereka dalam cara yang lebih menghargai kehidupan mereka:
“Nanan bin Asep Saepuloh, anak sulung dari lima bersaudara, yang pagi itu berniat membantu ibunya membeli gas, setelah seminggu gas habis di rumah mereka. Ujang bin Suryana, buruh harian lepas yang sehari sebelumnya menerima kabar dari anaknya, siswi sekolah kejuruan, bahwa ada yang harus dibeli untuk keperluan sekolah. Deden Ramdani, ayah dua anak kecil, yang membawa satu-satunya sepeda motornya ke lokasi ledakan karena berharap bisa menjual logam bekas untuk memperbaiki atap rumah. Dan Yayat Hidayat, warga yang dikenal sebagai tukang reparasi televisi, yang biasanya tidak pernah datang ke tempat pemusnahan, hari itu menjadi korban karena diajak ke sana oleh Maman Rukmana, yang juga tewas oleh ledakan.
“Mereka tak pernah membayangkan bahwa pagi itu adalah pagi terakhir. Mereka bukan ‘warga yang abai terhadap risiko.’ Mereka orang-orang yang hidup bersisian dengan ketimpangan—orang-orang yang mencoba bertahan dari hari ke hari dengan peluang sekecil apa pun.”
Nama-nama korban dan detail yang anda baca tentang mereka sepenuhnya karangan saya. Saya berharap membaca berita yang tidak hanya menghadirkan para korban sebagai sekadar katalog nama-nama.
Ledakan itu, kita tahu, menghadirkan duka, tetapi justru duka itu tidak hadir dalam pemberitaan dan dalam pernyataan resmi aparat.
Aparat mencoba mengelola duka dengan membuat pernyataan-pernyataan prosedural, sesuatu yang memperberat kesedihan sebab duka tidak mungkin dikelola sebagai laporan resmi. Ia tak bisa diselesaikan dengan pernyataan bahwa “penggantian akan dilakukan jika rumah warga rusak.”
Duka butuh pengakuan bahwa yang hilang dalam peristiwa ini adalah kehidupan, dan kehidupan bukan melulu urusan angka dan prosedur yang tidak bekerja sebagaimana biasanya.
(AS Laksana)