Rakyat Palestina maunya Perang? Kurang sabar? Tidak mau diplomasi?

Menjawab komentar Awwabu Al-haqq di screenshot

πŸ‘‰ Pernyataan semacam ini muncul dari ketidaktahuan atau keengganan memahami realita sebenarnya di Palestina. Seolah-olah rakyat Palestina begitu semangat ingin berperang, dan seolah-olah mereka belum cukup "sabar" menghadapi kezhaliman Israel. Mari kita luruskan.

Pak Awwabu, Rakyat Palestina sudah sangat sabar. Bahkan terlalu sabar. Sejak 1948, ketika lebih dari 700.000 warga Palestina terusir dari tanah airnya saat berdirinya Israel, mereka telah menghadapi pengusiran massal (Nakbah), penjajahan, blokade, pembantaian demi pembantaian, penodaan tempat suci, penangkapan tanpa pengadilan, dan penghancuran sistematis terhadap harapan hidup mereka.
73 tahun lebih mereka sabar. Anda bilang "diplomasi". Ya! Mereka sudah tak terhitung lagi mencoba berdiplomasi, mereka ikut mediasi, mereka mengajukan resolusi PBB, mereka berdamai berkali-kali (Lihat di sini: https://www.facebook.com/share/p/1FqoRvh4Vg/ ) Tapi apa balasannya? Tanah mereka terus dicaplok, rumah mereka dihancurkan, pemukiman ilegal terus dibangun, bahkan jenazah syuhada pun ditahan tak dikembalikan. Jiwa anak-anak dan ibunya tergeletak terpotong-potong. Apakah ini belum cukup bukti bahwa kesabaran mereka telah melewati batas kemanusiaan?

Mereka tak ingin perang. Mereka tak ingin jadi pejuang bersenjata. Mereka ingin hidup seperti kita: damai, aman, bebas. Tapi ketika anak-anak mereka dibom, wanita mereka diperkosa, para pemuda disiksa dan dihilangkan paksa, apa pilihan yang tersisa selain melawan? Masihkah relevan kata-kata "harus sabar?"

Jangan salahkan rakyat yang melawan kezaliman dengan sisa-sisa nyawa dan harga diri dan dengan kehormatan yang tak terbeli. Salahkanlah penjajah yang memaksa mereka untuk memilih antara mati sia-sia atau mati terhormat. Harusnya anda salahkan dunia yang diam, ketika zionis mengubah Gaza menjadi penjara terbuka dengan blokade, memutus listrik, air, bantuan kemanusiaan, dan membunuh ribuan warga sipil tanpa ampun.

Dan ketika ada yang bersuara, menyampaikan kemarahan, membela mereka dengan doa, boikot, dan aksi nyata, mengapa justru mereka yang dicemooh sebagai sok tahu, radikal, atau terlalu emosional?

Jangan bandingkan Palestina dengan Jepang. Jepang menyerah karena kalah sebagai agresor dalam Perang Dunia. Palestina? Mereka korban (bukan agresor). Relevan kah kalimat "sabar! jangan bernafsu perang?" Mereka hanya ingin tanah mereka kembali. Dan mereka tidak menyerah, bukan karena ingin perang, tapi karena mereka masih punya kehormatan.

Sudah cukup umat Islam dijejali dengan narasi β€œsabar” yang justru jadi alasan untuk pasrah dan tidak berbuat apa-apa. Sabar tidak berarti diam di hadapan kebiadaban. Sabar bukan berarti bungkam terhadap genosida.

Jika tak bisa membantu mereka, jangan lemahkan semangat mereka. Jangan halangi dukungan umat. Jangan bungkam suara keadilan dengan tameng sabar dan diplomasi yang kosong makna.

(By Andra Febi)

Baca juga :