Menahan Laju Dedi Mulyadi

Menahan Laju Dedi Mulyadi

Oleh: Erizal

Sudahlah. Mumpung belum terlalu jauh, Gerindra sebaiknya putuskan saja Prabowo dan Dedi Mulyadi berpasangan untuk Pilpres 2029. Bukankah Mahkamah Konstitusi sudah menghapuskan syarat pencapresan? Artinya, setiap partai politik peserta Pemilu berhak mengusung satu pasangan calon. Dan Gerindra pun, sudah pula mengumumkan pencapresan Prabowo.

Agar semakin lengkap, maka sekalian saja umumkan Cawapresnya, yakni Dedi Mulyadi. Nanti kalau ada partai lain yang setuju dan ikut bergabung, bisa diikutsertakan. Syukur-syukur, koalisi besar. Kalau koalisi kecil pun, satu dua partai saja yang mengusung, tak ada masalah. Memang, hakikat dari Konstitusi kita menginginkan banyak pasangan calon pada putaran pertama. Pada putaran kedua, baru head to head.

Dedi Mulyadi harus cepat-cepat diikat erat, sebelum menggelinding menjadi bola salju yang semakin membesar. Bola salju bernama Dedi Mulyadi itu sudah menggelinding, tapi belum terlalu membesar. Dan yang bisa mengikat atau menahannya, tentu saja partainya saat ini, yakni Gerindra atau Prabowo langsung.

Meski kabarnya sudah ada pernyataan dari Dedi Mulyadi bahwa dia akan mengabdi untuk Jawa Barat selama dua periode. Tapi itu tak bisa terlalu dipegang. Ingat, Dedi Mulyadi itu juga seorang politisi. Sudah pernah pindah pula dari Golkar ke Gerindra. Artinya, berpotensi pindah lagi. Tak ada jaminan.

Semua politisi akan selalu bicara dua periode. Tapi kalau sudah ada peluang dan ada yang menggoda, mendorong dengan sepenuh hati, biasanya tak akan kuat. Luluh. Ada saja pembenarnya. Bukankah itu yang kita pelajari dari Jokowi dan Anies Baswedan? Tidak tidak, akhirnya iya juga. Itu sudah semacam rumus.
Dedi Mulyadi tegak tali sendirian. Kepala-kepala daerah lainnya lewat. Bahkan Gubernur Jakarta yang biasanya menjulang tinggi, kini jauh berada di bawah Gubernur Jawa Barat. Ini agak unik dan menarik menurut peneliti sekaligus pengamat politik Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi

Agak mirip dengan Jokowi tahun 2014, tegak tali sendirian. Tahun 2024 kemarin, hampir semua kepala daerah di Pulau Jawa menjulang tinggi. Sebut saja Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, dan Ridwan Kamil.

Kini Dedi Mulyadi betul-betul sendirian, kendati Khofifah Indar Parawansa masih menjadi Gubernur Jawa Timur. Khofifah seperti dialami kepala daerah yang memasuki periode kedua dan tak lagi berambisi ke posisi yang lebih tinggi. Yakni, hanya sekadar melakukan rutinitas sebagai kepala daerah saja.

Bukan bermaksud menyama-nyamakan Dedi Mulyadi dengan Jokowi dan Anies Baswedan. Fenomenanya bisa saja sama, tapi hasil akhirnya pastilah tak sama. Jokowi dan Anies Baswedan saja, hasil akhirnya jauh berbeda. Setiap zaman ada orangnya, setiap orang ada zamannya.

Bukan mustahil inilah zamannya Dedi Mulyadi. Ia paling relevan dengan zaman seperti saat ini. Wajar saja, ia tak terbendung. Jokowi di zamannya juga tak terbendung. Tapi Jokowi di zaman seperti saat ini, sudah tak relevan lagi.

Saat ini Jokowi harus melayani orang yang menggugat ijazahnya di Kepolisian dan berharap mengambil pelajaran dari kasus itu. Mana ada orang mengambil pelajaran dari proses hukum? Yang ada, kalau kalah di tingkat pertama, bisa banding dan bisa Kasasi, bahkan bisa PK berkali-kali.

Dedi Mulyadi asyik dengan wacana wisuda di banyak tingkat dikurangi, bahkan dihapuskan. Penggemblengan anak nakal di barak militer menjadi diskusi yang tak ada habis-habisnya. Termasuk Vasektomi yang menuai pro-kontra kalangan agama. MUI Jawa Barat sudah pula berfatwa Vasektomi haram. Dan sebagainya.

Seandainya Gerindra mengusung pasangan Prabowo dan Dedi Mulyadi, maka bisa jadi sukses besar akan menanti. Tak akan terjadi seperti Pemilu kemarin, Pilpres menang telak, tapi Pileg malah di posisi ketiga.

Gerindra tak perlu menggalang koalisi besar di awal seperti yang biasa terjadi untuk petahana pada periode kedua. Apalagi sistem Pemilu sama sekali baru. Akan ada partai atau malah banyak partai yang akan mengusung Capres sendiri pada putaran pertama dengan pertimbangan untuk menyelamatkan suara partai.

Nanti pada putaran kedua baru bergabung dengan Capres yang kira-kira memiliki potensi untuk menang. Tokoh yang populer seperti Dedi Mulyadi pasti akan dibidik banyak partai. Dua periode di Jawa Barat mungkin bagus juga, tapi bagi partai Gerindra sendiri bisa jadi bagus juga Prabowo dan Dedi Mulyadi dipasangkan. Menghindari diri sebagai lawan pula. Entahlah.

(*)
Baca juga :