Bayangkan ini:
Seorang ibu miskin datang ke kantor bantuan.
Ia lapar. Anaknya belum makan. Sedang suaminya sedang terbaring sakit dirumah. Tapi petugas bilang:
“Kalau mau dapat bansos, Ibu harus pasang KB dulu. Lebih baik kalau vasektomi sekalian untuk suami.”
Ia menangis. Tapi lapar lebih menyakitkan dari harga diri.
Lalu ia tanda tangan, dan pulang dengan sekantong beras.
Dan janji bahwa ia tak akan punya anak lagi.
Masalah sama juga pemberian amplop berisi 50 ribu ditambah sebungkus mie istan untuk memilih calon tertentu.
Pemberian BLT saat kondisi negara sedang krisis kenaikan harga, agar menampilkan citra peduli.
Atau pemberian beasiswa untuk tujuan ideologis.
Ini bukan sekedar masalah fikih seputar akad hibah.
Bukan sekedar halal dan haram.
Yang perlu disadari adalah,
Itulah “kebaikan” dalam sistem kapitalis.
Bantuan bukan karena ibadah, tapi karena rencana.
Terkadang tujuan utamanya bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk mengendalikan.
Dalam Islam:
Memberi itu ibadah.
Menerima itu amanah.
Yang memberi tak merasa mulia,
Yang menerima tak merasa hina.
Karena semua dilakukan karena Allah, bukan karena pamrih.
Dalam kapitalisme:
Memberi itu investasi politik atau bisnis.
Menerima itu dijadikan alat tukar suara, loyalitas, atau data.
Yang memberi merasa berkuasa,
Yang menerima ditundukkan dengan rasa hutang budi.
Islam memuliakan manusia.
Kapitalisme mengelola kemiskinan untuk memperpanjang kekuasaan.
Mahasuci Allah yang telah menghalalkan zakat kepada orang miskin tanpa harus dikebiri.
Dan menghalalkan dua pasangan insani menikah meski dengan mahar cincin besi.
(Ngopidiyyah)