Jokowi ini sedang menghadapi “the Obama moment.” Persis seperti presiden Amerika ke 44 itu diprovokasi oleh Partai Republikan dan Trump untuk menunjukkan sertifikat kelahirannya.
Obama menunggu terlalu lama untuk menanggapi masalah ini. Dia pikir ini masalah enteng, yang akan hilang seiring berjalannya waktu. Tapi tidak. Para ahli strategi Republikan tahu persis bahwa masalah ini akan menghantam dan merusak reputasi Obama. Tidak peduli bahwa ekonomi yang diperbaiki oleh Obama sangat baik. Tidak peduli bahwa dibawah Obama angka pengangguran sangat kecil. Obama mewarisi ekonomi yang nyaris hancur akibat krisis sub-prime.
Jokowi pun mengalami masalah yang sama. Namun ada perbedaan mendasar dari perbedaan Obama dan Jokowi ini. Obama, walaupun terlambat, akhirnya mengeluarkan sertifikat kelahirannya. Apakah isunya kemudian mereda? Tentu saja tidak. Ia tetap menjadi isu liar yang terus menerus dipakai oleh kaum Republikan untuk menghantam Obama dan Demokrat.
Nah, Jokowi juga menunda menyelesaikan soal ijasah ini. Dia membiarkan spekulasi beredar luas. Berbeda dengan Obama, Jokowi tidak pernah menanggapi masalah ini secara serius. Dia tidak pernah memperlihatkan ijasahnya yang asli.
Sebenarnya gampang saja. Seharusnya dia datang ke UGM. Cocokkan ijasah yang ada padanya. Atau mengaku bahwa ijasah yang asli rusak, hilang, atau hanyut karena banjir. Minta ke UGM untuk menerbitkan keterangan bahwa ia pernah kuliah disana, lulus, wisuda, dan pernah ada ijasahnya.
Itu tidak dia lakukan. Yang ia lakukan malah mencari kuasa hukum dan hendak menggugat pihak-pihak yang memperkarakan ijasahnya. Bagus untuk pengacara, tapi bikin kerusakan untuk Jokowi. Orang akhirnya berpikir, "Apa yang Anda sembunyikan, Tuan Presiden?"
Selain itu, UGM juga tidak membantu menyelesaikan masalah ini. Ada kesan, UGM menutup-nutupi. Akibatnya, ada kecurigaan dan spekulasi bahwa UGM pun terlibat dalam konspirasi ini.
Isu ini kemudian menjadi bola liar. Lawan-lawan politik Jokowi akhirnya bersatu. Bahkan politisi gaek, yang dulu pernah berjanji akan jalan kaki ke Monas dari rumahnya di Sawitsari, Jogja, juga datang mengutuki Jokowi.
Kemudian, isu ini tambah liar. Seorang preman yang sekarang memimpin ormas -- yang lagi naik daun karena junjungannya berkuasa -- ikut datang ke Solo. Barangkali dia ingin menimbulkan kesan bahwa dia berada di sisi Jokowi. Ini malah jadi blunder lebih besar lagi. Kalau kowe gak sembunyiin sesuatu, mengapa kowe undang preman segala?
Isu ini jelas akan terus bergerak menjadi bola liar. Dan, semakin lama ia tidak ditangani (sekarang mungkin sudah terlambat) ia akan semakin jadi bola liar. Musuh Jokowi ada di setiap pengkolan.
Sebagai mantan presiden, dia punya banyak kawan tapi juga banyak musuh. Sekarang, kawan-kawannya diam karena mereka harus 'defend the indefensible,' mempertahankan yang tidak bisa dipertahankan.
Ini akibat kesalahan Jokowi sendiri. Mungkin karena dia terlalu yakin akan kekuatannya. Padahal kalau dilihat dari orang-orang yang berdemo ke UGM kemarin, mereka semua adalah orang-orang yang sudah berada di pinggiran. Sekarang mereka ada di garis depan. Seperti menjadi hero, tentu dengan beaya yang ditanggung Jokowi sendiri.
Dalam politik, kemalangan seseorang adalah keberuntungan orang lain. Siapa yang beruntung dengan peristiwa ini? Tentulah mereka yang tidak berkomentar. Yang senyum-senyum dari kejauhan. Semakin membesar isu ini, semakin orang dialihkan perhatiannya kepada ketidakmampuannya memerintah. Semakin banyak drama dan bola liar, semakin dia punya ruang bermanuver dan mengkonsolidasi kekuasaannya.
Apakah saya peduli? Tentu saja tidak. Lalu, ngapain nulis status panjang untuk hal yang saya tidak peduli? Pertama, iseng. Kedua, hambok sekalian diadili aja to ...
(Made Supriatma)