Benarkah Hamas itu Syiah?

Benarkah Hamas itu Syiah?

Oleh: Pizaro Gozali Idrus

Setiap kali Zionis Israel melakukan serangan kepada Gaza, tuduhan bahwa gerakan perlawanan Palestina Hamas sebagai kelompok Syiah kerap mencuat. Sematan Hamas sebagai Syiah umumnya terjadi karena hubungannya dengan Iran atau karena adanya kerja sama dengan Iran.

Untuk menjawab isu ini, ada berbagai variable yang bisa kita nilai untuk mengukur apakah Hamas dapat dikategorikan kelompok Syiah. Disini kita akan bahas tiga variable. Ketiganya, antara lain: akar gerakan atau sejarah kemunculan Hamas, manhaj gerakannya, dan politiknya.

Sejarah Hamas

Untuk membaca lebih jauh apakah benar Hamas adalah gerakan Syiah, pertama-pertama kita bisa melacak dari sejarah gerakan Hamas itu sendiri. 

Zayd Abu Amar, peneliti gerakan Palestina, dalam Hamas: A Historical and Political Background (1993), mengatakan akar sejarah dan background berdirinya Hamas tidak lepas dari berdirinya Ikhwanul Muslimin (IM) di Palestina dan jihad ulama Sunni Syekh Izzuddin Al Qassam yang melawan penjajahan Inggris dan gerakan Zionisme hingga gugur pada tahun 1935.
Hubungan IM dengan Palestina sendiri dimulai pada tahun 1935, ketika pendiri IM Hasan al-Banna mengutus saudaranya 'Abd al-Rahman al-Banna, untuk menjalin hubungan dengan ulama-ulama Palestina. IM berdiri di Mesir pada 1928.

Pada tahun 1945, IM meresmikan cabang pertamanya di Baitul Maqdis. Dengan bantuan pusat IM di Mesir, Ikhwanul Muslimin melahirkan pelbagai cabang di kota-kota Palestina lainnya.

Pada tahun 1947, cabang IM di Palestina bahkan telah berhasil menembus 25 buah. Cabang-cabang Ikhwanul Muslimin di Palestina memiliki anggota sekitar 12.000 hingga 20.000, dan terpusat pada komando pusat IM di Kairo.
Syeikh Amin Al Husayni, ulama Sunni popular sekaligus Mufti Baitul Maqdis, merupakan pemimpin IM Palestina yang membantu menyebarkan pengaruh IM di Palestina. 

Philip Mattar dalam The Mufti of Jerusalem: Al-Hajj Amin al-Husayni and the Palestinian National Movement (1988), mengatakan Syekh Husayni memang memiliki pengaruh kuat di Palestina karena keluarganya sudah memiliki kendali atas pos-pos politik dan agama di kota Baitul Maqdis sebelumnya. Syekh merupakan produk dari lingkungan politik dan ekonomi kekuasaan tradisional di Baitul Maqdis.

Ibrahim Al Khatib dalam The Muslim Brotherhood and Palestine (2012) menerangkan Hasan al-Banna menggambarkan Palestina bagi IM bukan sekadar sebuah rumah bagi dunia Islam, melainkan situs spiritual dan tempat istimewa. Selain itu, Palestina juga bagian dari tubuh umat Islam dan sebuah batu bata yang berharga dalam bangunan umat.

Di sisi lain, IM berpendapat bahwa berdirinya negara Zionis di Palestina akan menjadi basis penjajahan Barat dan menjadi duri beracun bagi negara-negara Arab. Oleh karena itu, Hasan al-Banna memperingatkan negara-negara Muslim dan Arab akan berada dalam bahaya dengan berdirinya negara Zionis.
Pada tahun 1954, Syekh Ahmad Yassin resmi menjadi anggota IM. Ia fokus pada pembinaan masyarakat dan generasi muda Muslim Palestina. Syekh Ahmad Yassin mendirikan al-Mujamma' al-Islami (Pusat Islam) dan Universitas Islam Gaza sebagai wadah pengajaran Islam berpengaruh di Jalur Gaza. Hingga kemudian ia membidani lahirnya Hamas pada tahun 1987.

Dari sejarah di atas, literatur-literatur ilmiah yang ada tidak ada yang menyebut akar sejarah Hamas dari kelompok Syiah atau diwarnai gerakan Syiah. Yang terjadi adalah cikal bakal Hamas tidak lepas dari gerakan-gerakan Sunni dan ulama Ahlussunah di Tanah Palestina.

Manhaj Hamas

Kedua, tinjauan Manhaj. Hamas adalah gerakan yang bersandarkan Ahlussunah wal Jamaah. Para ulama-ulama Hamas adalah ulama bermazhab Syafii. Ini berbeda dengan Hezbollah Lebanon yang berdiri atas pilar keyakinan Syiah dan konsep wilayat al-faqih. Khomeini mendakwahkan teori wilayat alfaqih, sebuah konsep elitis yang terkait dengan supremasi tokoh senior Syiah.

Sedangkah Hamas tidak menganut ideologi ini. Hamas menolak gagasan wilayatul faqih ala Iran. Dalam piagamnya, Hamas mengidentifikasi dirinya sebagai sayap Ikhwanul Muslimin di Palestina. (Lihat: Joshua L. Gleis and Benedetta Bert "Hezbollah and Hamas: A Comparative Study", 2012).

Hal ini juga bisa dilihat dalam perselisihan antara IM di Palestina dan kelompok Jihad Islam terhadap revolusi Iran, yang mulai dikritik oleh IM setelah pecahnya perang Iran-Irak. Sebaliknya, Jihad Islam menganggap Ayatollah Khomeini sebagai sumber inspirasi ideologis yang penting (Ziad Abu Amr, 1993). Meski begitu Jihad Islam pun tetap tidak bisa dianggap kelompok Syiah, karena mazhab mereka tetap Ahlussunah wal Jamaah. Adapun kedekatannya kepada Iran hanyalah pada aspek politis.

Jika memang Hamas itu Syiah, maka seharusnya publik secara luas mendapati pemandangan mayoritas ritual Syiah di Gaza atau berdirinya menjamurnya husainiyat-husainiyat di Gaza layaknya di Iran. Namun, yang terjadi adalah masyarakat Gaza mayoritas bermanhaj Ahlussunah wal Jamaah dengan amalan Mazhab Syafii. Tidak ada juga perayaan-perayaan Syiah tiap tahun di Gaza. Amalan-amalan ibadah masyarakat Gaza sama seperti warga Indonesia pada umumnya yang bermazhab Syafii. Bahkan, kediaman Kepala Biro Politik Hamas di Jalur Gaza, rutin menjadi tempat kegiatan sholawatan masyarakat Gaza.

Ketiga, sikap politik Hamas 

Hamas tidak melulu satu suara dengan Iran. Hal ini bisa dilihat dari sikap Hamas terhadap Revolusi Suriah. Alih-alih bergabung dengan koalisi Syiah global untuk mendukung Assad, Hamas sangat tegas melakukan kritik terhadap Rezim Assad. Bahkan dalam pidatonya di Kairo pada 2012, Perdana Menteri Hamas Ismail Haniyah menyampaikan rasa salutnya kepada rakyat Suriah yang heroik yang memperjuangkan kebebasan, demokrasi, dan reformasi.

Wakil Kepala Biro Politik Hamas Mousa Abu Marzouq juga mengatakan posisi Hamas tidak mendukung rezim Assad dalam tindak-tanduk menghadapi demonstrasi warga Suriah. Abu Marzouq mengatakan Hamas menghormati keinginan rakyat Suriah. Pernyataan tersebut mencerminkan perpecahan yang semakin mendalam antara Hamas dan Assad hingga akhirnya Hamas ditendang keluar dari Damaskus.
Syaikh Dr. Abdurrahman Yusuf al-Jamal, Rois Ma'had Darul Quranul Karim was Sunnah Gaza, mengatakan dulu Hamas memang didukung oleh Assad. Sebab saat itu tidak ada negara Arab yang mau menerima perjungan Hamas. Tapi sekarang rezim Assad membantai rakyatnya sendiri, maka bangsa Palestina tidak bisa bekerjasama dalam kebatilan. “Sikap kami sekarang jelas mendukung jihad melawan rezim Syiah Nushairiyah, Bashar Assad. Di Palestina, khususnya setiap Jumat kami menggalang dana untuk rakyat Suriah dan perjuangan mereka,” jelasnya saat diwawancara Jurnalis Islam Bersatu (Lihat: Bashar Assad Lebih Kejam Dari Zionis Israel, Hidayatullah.com, 2013).

Syekh Jamil juga menuturkan sebelum revolusi, Pemimpin Hamas Khalid Misy’al telah menyampaikan nasihatnya kepada Bashar Assad untuk memberikan kebebasan dan perubahan kepada rakyat Suriah. Karena waktu itu rakyat Suriah tidak meminta Bashar turun dari jabatan, mereka hanya ingin kebebasan dan keadilan.

Bahkan komentar terbaru juru bicara Brigade Izzudin Al Qassam, Abu Ubaidah, secara tegas menolak klaim Iran bahwa Operasi Taufan Al Aqsha adalah balas dendam atas tewasnya Jendral Iran Qassem Solemaini yang semakin menegaskan bahwa Hamas bukanlah proksi Iran.

Oleh karena itu, tuduhan bahwa Hamas itu Syiah sebenarnya terjadi secara intens hanya dalam bebera tahun terakhir karena semakin populernya Hamas mengalahkan negara-negara Arab yang seharusnya lebih banyak berbuat menghentikan genosida penjajah Israel.

Kalau tuduhan Hamas itu Syiah itu dilandasi karena mereka punya hubungan dengan Iran, itu tidak bisa dijadikan hujjah untuk menuding Hamas itu Syiah karena Hamas itu menerima bantuan manapun tanpa syarat.

Dalam hubungan internasioal, hubungan sebuah kelompok dengan negara lain, tidak otomatis maka dia menjadi kaki tangan negara tersebut. Kita harus melihat apakah itu aliansi ideologis atau aliansi taktis. Yang terjadi adalah aliansi taktis, karena negara-negara Arab sendiri enggan membantu Hamas secara strategis dan lebih suka menjalin aliansi dengan AS dan Israel yang menjajah Palestina.

Hubungan Saudi, Iran, dan Rezim Assad

Kalau karena berhubungan dengan Iran lantas Hamas dapat dikategorikan Syiah, maka bagaimana dengan hubungan Saudi dan Iran yang semakin intim dalam setahun terakhir? Bahkan Pangeran Bin Salman menjamu khusus presiden Iran Ibrahim Raisi di Riyadh, di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi soal Palestina. Dalam pertemuan itu, Mohammad Bin Salman mengatakan ingin memperkuat hubungan dengan Iran dalam bidang ekonomi dan pertahanan.
Tahun lalu, Rohullah Latifi, juru bicara Kementerian Perdagangan dan Industri Iran, mengatakan kedua negara telah mempersiapkan landasan bagi hubungan ekonomi yang baik antara Teheran dan Riyadh. Selama tiga tahun terakhir ekspor baja Iran ke Saudi menyentuh angka $14 juta.

Farzad Piltan, direktur Asia Barat di Organisasi Promosi Perdagangan Iran, mengatakan Teheran mengincar perdagangan senilai $1 miliar dengan Arab Saudi, yang menurutnya dapat diperluas hingga $2 miliar dengan fokus pada baja, kunyit, karpet, semen, dan buah-buahan kering (Lihat: Iran, Saudi Arabia resume bilateral trade as part of rapprochement, Anadolu Agency, 2023)

Menariknya pada April 2023, Arab Saudi memulai upaya di Timur Tengah untuk menormalisasi rezim Suriah di Timur Tengah yang berlumuran atas pembunuhan warga Sunni di Suriah. Menteri Luar Negeri Saudi Faisal bin Farhan bertemu dengan Bashar al-Assad di ibu kota Suriah, Damaskus.
Hanya satu bulan kemudian, Liga Arab menerima kembali salah satu penjahat perang paling terkenal di dunia untuk pertama kalinya sejak tahun 2012. Anehnya, yang mengkritik Assad kembali ke Liga Arab justru Qatar, yang diblokade Saudi selama empat tahun dengan dalih dekat dengan Iran. Qatar mengatakan Assad belum memenuhi syarat untuk kembali ke Liga Ara dan mengeaskan Doha tidak bisa mentolerir penjahat perang dan tidak bisa melihat rakyat Suriah yang masih menderita (Lihat: Middle East Monitor, Qatar: ‘Our stance on Assad regime has not changed’, 2023).

Berkat restu Saudi, Assad justru diberikan karpet merah oleh Saudi untuk hadir dalam KTT Arab China pada Mei Lalu di Riyadh dan rezim Assad pada Desember 2023 resmi menunjuk duta besarnya untuk Saudi.

Pertanyaannya kemudian: apakah Saudi juga bisa kita identifikasi sebagai Syiah?

__________________
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute. Kandidat Doktor bidang HI di USM, Malaysia
Baca juga :