Menyuarakan Perjuangan Palestina Lewat Film

[Koran Tempo]
Wawancara Sutradara Film Palestina

Sutradara film Palestina, Mohanad Yaqubi, bercerita tentang upayanya menyuarakan perjuangan kemerdekaan Palestina lewat sinema.

"Saya orang Palestina. Kakek-nenek saya berasal dari Ahuzat Bayit, Jaffa. Tempat yang sekarang menjadi Tel Aviv. Tel Aviv tidak ada pada waktu itu. Kakek-nenek saya kemudian diusir. Jadi ayah saya lahir di Gaza sebagai pengungsi. Saya lahir sebagai anak pengungsi. Kami tinggal di kamp-kamp pengungsian. Seperti pengungsi lainnya, orang tua saya pergi ke berbagai negara untuk bekerja di berbagai bidang di Kuwait, Yordania, dan Mesir. Saya lahir di Kuwait. Saat penandatanganan perjanjian perdamaian pada 1994 (Perjanjian Oslo), kami memutuskan kembali ke Palestina. Kemudian mereka tidak ingin keluar lagi. Sebab, keluarga dan rumah mereka di sana."

***

SEPANJANG Sabtu, 7 Oktober 2023, perasaan Mohanad Yaqubi campur aduk. Filmnya, R21 AKA Restoring Solidarity, menjadi pembuka Madani International Film Festival 2023 di Jakarta dan dia ditunjuk menjadi pembicara. 

Namun, pada saat yang sama, kampung halamannya, Jalur Gaza, dihujani misil oleh Israel. Dia menghubungi ibunya di Gaza lewat WhatsApp. Keluarga membalas singkat, "Kami masih hidup." 
Yaqubi, 42 tahun, menjadi pengisi acara tersibuk dalam festival film bertema kehidupan masyarakat Islam tersebut. Sutradara film Palestina ini membawa dua film dokumenter dan satu film pendek dalam perhelatan tersebut.

Lahir di keluarga yang terusir pendudukan Israel di Jaffa—kini Tel Aviv, Yaqubi berkarier di dunia film dengan mendirikan perusahaan film Idiom di Ramallah, Palestina, pada 2004. Master jurusan film feature dari Goldsmiths, University of London, ini meneliti beberapa arsip film yang ia kumpulkan dan buat menjadi film dokumenter utuh. Film Yaqubi sebagian besar mengisahkan konflik Israel-Palestina. "Saya ingin memberikan gambaran perjuangan Palestina di masa lalu dan kini," kata dia kepada Tempo di sela diskusi dalam Festival Film Madani, Rabu, 11 Oktober lalu.

Karya-karyanya malang melintang di sejumlah festival film internasional. Misalnya, Off Frame AKA Revolution Until Victory (2015) di Toronto International Film Festival, Kanada, dan Reel No. 21 AKA Restoring Solidarity (2020) dalam International Documentary Festival of Amsterdam, Belanda. Film dokumenter lainnya, Infiltrators (2012), memenangi penghargaan Muhr Arab Special Jury Prize dalam Festival Film Dubai pada 2012.

Rabu, 11 Oktober 2023, merupakan hari terakhir Yaqubi di Indonesia. Sebelum kembali ke tempat tinggalnya di Belgia, dia berbagi cerita tentang upayanya ikut memperjuangkan kebebasan Palestina lewat film. Berikut ini wawancara wartawan Tempo, Ilona Esterina dan Nabila Azzahra, dengan Yaqubi.

Bagaimana awal Anda tertarik pada film?

Saya lulus sebagai insinyur mesin, tapi saya tidak bisa menghadiri wisuda karena saya sedang syuting film pendek. Saya merasa ada keterikatan antara insinyur mesin dan sinema sebagai mekanik, sebagai mesin. Yang satu mesin kehidupan, yang satu mesin kesadaran. Keduanya menghasilkan sesuatu. Jadi saya suka sekali dengan sinema, yang menghasilkan gambar, menggunakan cahaya, hingga mengontrol bayangan. Saya juga seorang fotografer sebelum akhirnya saya masuk ke sinema dari perspektif editing. Jadi saya merasa bahwa tidak ada pengetahuan tentang keindahan sinema. Saya menjadi tertarik pada hal ini sehingga membuat dua film, yang diproduksi oleh Idioms Films pada 2004. Itu adalah sebuah perusahaan produksi yang sederhana. Saat itu setiap rumah produksi membuat film untuk dijual di televisi, tapi kami memutuskan membuat film seni. Kami kemudian menghasilkan lebih dari 20 film panjang dan banyak film pendek. Kami dianggap sebagai gelombang baru sinema seni di Palestina.

Mengapa banyak menggarap film dokumenter?

Dari studi dan penelitian, saya menyadari bahwa ada warisan besar sinema militan Palestina. Film di negara ini tentang perjuangan orang-orang Palestina dari 1960 dan 1970-an. Kami mengumpulkan dokumentasi perjuangan dari rezim di Palestina, Timur Tengah, juga film transnasional.

Bagaimana cara mendapatkan arsip film Palestina dari Jepang untuk Reels 21?

Pada 2017, saat memutar Off Frame AKA Revolution Until Victory, ada seorang profesor dari Jepang yang meneliti film dan mengatakan menyimpan arsipnya. Arsip tersebut tersimpan sejak 1980-an. Dia berikan ke saya dan ternyata isinya 20 film yang memaparkan hubungan gerakan pembebasan Palestina dan gerakan pembebasan di Jepang. 

Anda tinggal di Belgia dan berkuliah di London, bagaimana perspektif Barat tentang konflik Israel-Palestina?

Di sana, politik terbagi. Sebagian menekankan perspektif mereka terhadap seluruh dunia tentang Selatan dan Timur. Contoh besar adalah apa yang terjadi di Documenta Fifteen—pameran seni di Kassel, Jerman—tahun lalu dengan Ruang Rupa, Taring Padi, dan kolektif Indonesia lainnya. Mereka menjadi partisipan kolektif dari Selatan yang tidak sesuai dengan imajinasi Barat. Ternyata, Selatan dan Timur merupakan tempat yang sangat hidup dan produktif. Model modernitas berbeda yang tidak diterima Barat. Mereka ingin memaksakan proyek modernitasnya karena berarti ekonomi.

Anda masih merasa sebagai orang Palestina?

Saya orang Palestina. Kakek-nenek saya berasal dari Ahuzat Bayit, Jaffa. Tempat yang sekarang menjadi Tel Aviv. Tel Aviv tidak ada pada waktu itu. Kakek-nenek saya kemudian diusir. Jadi ayah saya lahir di Gaza sebagai pengungsi. Saya lahir sebagai anak pengungsi. Kami tinggal di kamp-kamp pengungsian. Seperti pengungsi lainnya, orang tua saya pergi ke berbagai negara untuk bekerja di berbagai bidang di Kuwait, Yordania, dan Mesir. Saya lahir di Kuwait. Saat penandatanganan perjanjian perdamaian pada 1994, kami memutuskan kembali ke Palestina. Kemudian mereka tidak ingin keluar lagi. Sebab, keluarga dan rumah mereka di sana.

Sementara Anda memutuskan untuk keluar?

Sejak enam tahun lalu, setelah bekerja, saya pindah ke Belgia. Sebelumnya, saya sempat tinggal di Ramallah, tepi barat Palestina, karena istri saya di sana. Orang tua saya sekarang tinggal di Gaza, kota yang beberapa hari lalu disebut karpet bombardir oleh orang sana. Sebab, setiap 100 meter ada bom.

Bagaimana kondisinya sekarang?

Lingkungan tempat saya dibesarkan tidak ada lagi. Tadinya lingkungan itu seperti tempat ini (Taman Ismail Marzuki dan sekitarnya). Penuh dengan gedung-gedung, bank, kedai kopi, tempat es krim favorit saya. Mereka membuatnya hilang hanya dalam 48 jam.

Keluarga Anda aman?

Keluarga saya tinggal di sebuah aula. Jadi mereka (tentara Israel) memiliki kebiasaan menembakkan rudal kecil di atap gedung untuk memberi tahu penduduk setempat bahwa mereka memiliki 50 menit untuk mengosongkan gedung. Atau 50 menit untuk melupakan hidup Anda.

Anda masih bisa berkomunikasi dengan keluarga?

Beberapa hari terakhir, tidak ada Internet, tidak ada listrik, dan tidak ada air. Orang tua saya sudah agak tua, sekitar usia 70 tahun. Saudara laki-laki saya yang memberi kabar. Setiap pagi dia berjalan kaki sekitar setengah kilometer untuk sampai ke tempat yang agak tinggi agar bisa mendapatkan sinyal untuk mengirim pesan kepada keluarga di luar, "kami masih hidup". Terakhir, tiga hari lalu. Setelah pengeboman, saya tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak. Jadi hanya pesan ini yang kami tunggu.

[Sumber: Koran Tempo, Kamis, 12 Oktober 2023]

Baca juga :