HADITS PALSU: "Berjihad Melawan Hawa Nafsu adalah Jihad Paling Besar"

Hadits itu berbunyi:

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبرقالوا: وما الجهاد الأكبر؟ قال: جهاد القلب

“Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihad paling besar itu?” Beliau bersabda: “Jihad hati.”

Berkata Imam Zainuddin Al ‘Iraqi:

أخرجه البيهقي في الزهد من حديث جابر وقال : هذا إسناد فيه ضعف 

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” (Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya’, No. 2567)

Begitu pula disebutkan dalam  Tadzkirah Al Maudhuat, bahwa hadits ini dhaif. (Al Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi Al Fatani, Tadzkirah Al Maudhuat, Hal. 191)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Tasdidul Qaus bahwa ini adalah ucapan Ibrahim bin Abi Ablah seorang tabiin, sebagaimana dikatakan Imam An Nasai dalam Al Kuna. (Imam As Suyuthi, Ad Durar Muntatsirah fil Ahadits Musytahirah,  Hal. 11. Mawqi Al Warraq. Imam Al Ajluni,  Kasyful Khafa, No. 1362. Darul Kutub Al Ilmiyah) 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan komentar terhadap hadits itu sebagai berikut:

فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِأَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَانُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا }

“Tidak ada dasarnya, dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun ahli ma’rifah (ulama) sebagai ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Dan, jihad melawan orang kafir termasuk amal yang paling agung, bahkan dia adalah tathawwu (anjuran) yang paling utama bagi manusia. Allah Taala berfirman: Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad) tanpa memiliki udzur (alasan yang benar), dibanding orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya. Allah mengutamakan satu derajat bagi orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk saja. Kepada masing-masing mereka Allah menjajnjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. An Nisa: 95). (Majmu Fatawa, 2/487. Mawqi Al Islam)

Imam Al Iraqi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd, namun setelah dicek ke kitab Zuhd Al Kabir-nya Imam Al Baihaqi, ternyata tidak ada hadits dengan redaksi seperti di atas (Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Tetapi yang ada adalah:

قدمتم خير مقدم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : مجاهدة العبد هواه

“Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihda besar itu?” Beliau bersabda: Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya. (HR. Al Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No. 384, hadits dari Jabir bin Abdullah. Al Baihaqi mengatakan: sanadnya Dhaif . Imam Khathib Baghdadi, Tarikh Baghdad, 6/171.  Lihat Alauddin Muttaqi Al Hindi,  Kanzul Ummal, No. 11260)

Hadits ini juga dhaif, bahkan dengan kedhaifan yang parah. Lantaran dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang dhaif. Yakni Isa bin Ibrahim, Yahya bin Ya'la, dan Laits bin Abi Sulaim.

Tentang Isa bin Ibrahim ini, dia adalah Isa bin Ibrahim bin Siyar, disebut juga Ibnu Dinar Asy Syairi Abu Ishaq, disebut juga Abu Umar, ada juga yang mengatakan Abu Yahya Al Bashri, lebih dikenal dengan Al Barki. (Tahdzibut Tahdzib, 8/183). Disebutkan tentang dia: shaduq lahu awham (jujur tetapi ada keraguan). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/768. Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul Itidal, 3/310). Abu Hatim mengatakan: shaduq (jujur). An Nasa'i mengatakan: tidak apa-apa. (Mizanul Itidal, 3/310) 

Sementara Yahya bin Yala, dia adalah Yahya bin Yala Al Aslami Al Qathuwani Al Kufi. Imam  Ibnu Main ditanya tentang dia, katanya: bukan apa-apa. Al Bukhari mengatakan: mudhtharibul hadits (haditsnya guncang). Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits laisa bil qawwi (haditsnya lemah dan tidak kuat). Ibnu Abi mengatakan, dia adalah orang Kufah dan Syiah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzbut Tahdzib, 11/266. Lihat juga Mizanul Itidal, 4/415)   

Ada pun tentang Laits bin Abi Sulaim, Imam Ahmad berkata tentangnya: sangat lemah dan banyak kesalahan. Yahya bin Main mengatakan: dhaif. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/232). Sufyan bin Uyainah mendhaifkannya, sedangkan Abu Zurah ditanya tentang Laits ini, katanya: haditsnya lemah dan tidak bisa berhujjah dengan haditsnya. (Tahdzibut Tahdzib, 8/418)

Maka, jelaslah sudah kelemahan hadits ini, dengan kelemahan yang sangat. Dan, Syaikh Al Albani mengatakannya sebagai hadits munkar. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 2460).

Wallahu Alam.

(Ustadz Farid Nu'man)

Baca juga :