Kisah Anies Dipopor Laras Senjata

[PORTAL-ISLAM.ID]  Artikel ini pertama kali dipublikasikan Ferizal Ramli pada Senin, 21 Mei 2007. Ferizal Ramli adalah seorang Corporate Consultant for Management, System Integration and SAP Standard Software yang saat ini berdomisili di Hamburg, Jerman.

Ferizal Ramli adalah temen kuliah Anies Baswedan saat di UGM.

Beberapa artikel tentang Anies Baswedan yang dibuatnya sebagai informasi dan sekaligus pembelajaran dari seorang Anies Baswedan yang mampu membakar semangat teman-temannya untuk terus berunjuk rasa melawan kekuatan rezim Orde Baru yang makin represif. Anies tak pernah surut menghadapi tekanan.

Berikut tulisannya, sesuai naskah asli yang dimuat akun WordPress Ferizal Ramli:

Kisah Anies Dipopor Laras Senjata

Dr. Anies Rasyid Baswedan, MS., diangkat menjadi Rektor Universitas Paramadina. Saya tertegun. Kembali cerita dari sahabat saya tentang Anies Baswedan memenuhi memori ini. Cerita ini pula yang membuat saya optimis suatu ketika orang-orang jujur akan memimpin bangsa ini. Menyelamatkan kita dari keterpurukan…

Dari kesaksian seorang sahabat. Sebut saja sahabat kita itu: Faraz Ramadhan. Dia mantan pimpinan senat mahasiswa UGM dari kelompok hijau (bukan hijau militer lho, kalo pinjem kata Clifford Geertz; kelompok hijau santri :).

Cerita Faraz jujur kepada saya tentang Anies Rasyid Baswedan…
Tahun 1994 kalau tidak salah, mahasiswa Yogya demo di bunderan. Menentang pembredelan Detik, Tempo, dan satu lagi saya lupa namanya. Mahasiswa menolak kesewenangan pembredelan itu. Mereka demo menentang!

Saat itu 1994, Wak Dhe (Uwak Gede) dari pada Haji dari pada Muhammad dari pada Soeharto sedang represif-2 nya. Setiap demo langsung dihadapi oleh laras senapan militer.

Siang terik. Jam menunjukkan pukul 13.30. Mahasiswa yang sudah capek berdemo sejak pagi, bersiap ingin membubarkan diri.

Tiba-tiba komandan militer kasih perintah melalui pengeras suara kepada mahasiswa:

“Dalam 30 menit lagi anda harus bubar!”

“Jika tidak, maka kami yang akan membubarkan dengan paksa!!!”

Mendapat perintah represif tsb, justru membangkitkan semangat perlawanan mahasiswa. Bukannya bubar, massa mahasiswa bersatu merapatkan barisan. Mereka bertekad tidak mau bubar. Siap melawan.

Papan batu hijau muda bertuliskan “Selamat Datang di Kampus Universitas Gadjah Mada”, terletak tepat di tengah “Bunderan” dijadikan D’ Alamo, benteng perlawanan massa mahasiswa. Sementara batalyon pasukan militer (Brimob) berjejer rapi, profesional jali, di depan RS Panti Rapih. Hanya berjarak 100 meter persis di depan D’ Alamo-nya mahasiswa.

Pukul 13.45. Suasana semakin heroik. Keberanian menggelora di dada. Idialisme tinggi membubung menembus lapisan awan tertinggi. Seakan seluruh mahasiswa siap menyerahkan selembar nyawa di badan.

Tapi benarkah demikian? Pukul 13.55, berarti 5 menit sebelum deadline, Faraz dengan cemas melihat ke belakang.

Kaget dia tidak percaya dengan penglihatannya!

Bambang Nursanto Suryolaksono (bukan nama sebenarnya, tokoh aktivis FE UGM), atau aktivis gadis Amoy Rekena (juga bukan nama sebenarnya, tokoh aktivis juga), dan lain-2 nya sedang lari sipat tukang menyelamatkan diri.

Wuss…, wuss…, wuss…, kabur nyaris tak terdengar. Mereka tidak memperdulikan nasib mahasiswa lain yang berhadapan langsung dengan laras senapan.

Faraz cemas. Dia sadar hanya dia dan Anies Baswedan lah yang berada di garis terdepan. Memang mereka bersama ribuan massa mahasiswa. Tapi mereka itu massa mengambang. Bukan tokoh aktivis. Sementara para tokoh aktivis lain sudah lari menyelamatkan diri.

Faraz menoleh, bertanya pada Anies seniornya: “Anies, semua pimpinan aktivis dari kelompok-kelompok lain sudah kabur. Cuma kita yang berada digaris depan. Kenapa kita tidak ikut lari?” —tanya Faraz dengan suara bergetar menahan takut tak terkira.

(Iyalah Faraz cemas. Saat itu bukan jaman pascareformasi Bung! Laras senjata di depan mata. Acaman hidup mati riil hanya berjarak beberapa jengkal) Anies senyum tenang menoleh dengan kalem:

“Raz, kita ini pemimpin”.

“Kita tidak boleh lari meninggalkan mereka (massa mengambang —red)”.

“Mereka berdemo dengan keberanian di dada karena mereka percaya pada kita”.

“Haruskah kita meninggalkan mereka ketika ancaman hidup mati di depan mata?”

Faraz diam sambil lirih menjawab: “Bener Nies, tapi aku takut sekali”.

“Justru pada saat seperti inilah kita harus percaya bahwa Allah SWT pasti melindungi kita”.

“Yang membedakan kita dengan mereka (para pemimpin mahasiswa yang lari —red) cuma satu, yaitu: Iman!” —jawab Anies dengan tegas!

Berbagai cita rasa bercampur aduk antara takut, cemas, malu di dada Faraz.

Sadar bahwa Faraz sangat tertekan, Anies kembali senyum bicara:

“Raz, kalau kamu mau lari, larilah sekarang”.

“Mumpung belum terlambat”.

“Aku sangat memahami keputusanmu untuk lari”.

“Tapi aku tetap akan bertahan di sini”.

“Dan aku akan berterima kasih jika kamu juga tetap disini bertahan bersamaku”.

Begitu lah Anies menutup pembicaraan.

Selanjutnya seluruh fokus dan konsentrasinya diarahkan untuk menghadapi lawannya, —se-Batalyon pasukan tempur yang siap membantai!

Keberanian dan ketulusan Anies menginspirasi si Faraz. Dengan sisa-2 keberanian terakhir disertai doa-2 terakhirnya, Faraz tegak membatu di samping Anies. Dia memutuskan untuk bertahan apapun yang terjadi, um jeden Preis!

Tepat pukul 14.00, dalam satu komando; “Bantai!”, maka gerak pasukan topan badai menyerbu. Bukannya lari, Anies malah maju ke depan beberapa langkah. Berteriak dia mengusir:

“Hey, ini kampus mahasiswa! Keluar kalian semua! Kalian tidak pantas masuk kampus ini!!!”

Tapi apalah arti teriakan Anies itu dalam telinga “pasukan robot-2 pembunuh profesional”. Detik berikutnya, Anies, Faraz, dan seluruh mahasiswa terjungkal di garis depan. Sahabat-2 Anies dari kelompok hijau, yang berada di “Gelanggang Mahasiswa” segera maju menuju “Bunderan” untuk memperkuat barisan dan mencoba “menyelamatkan” Anies. Sayang keberanian dan ketulusan itu justru dibayar mahal dengan percikan darah.

Hari itu, Anies Rasyid Baswedan terjungkal kena popor senapan. Tapi hari itu juga membuktikan bahwa keteguhan Anies untuk mempertahankan kebenaran tidak pernah terjungkal meskipun berhadapan dengan laras senapan dan nyawanya adalah taruhannya…

Teriringi Doa dan Harapan saya semoga sahabat Anies sukses memimpin Universitas Paramadina.

21 Mei 2007, dari kesunyian lembah Sungai Elbe di Jerman, Ferizal Ramli

==========

Baca juga :