Pelapor Khusus PBB soal Palestina, Francesca Albanese: Tindakan Israel Lebih Serius dari Apartheid

Tindakan Israel Lebih Serius dari Apartheid

FRANCESCA Albanese disorot sejak menjadi Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai situasi hak asasi manusia di Palestina pada Mei 2022. 

Sejumlah anggota Kongres Amerika Serikat bahkan mendesak PBB memecatnya setelah Albanese menyebut tindakan Israel di Palestina sebagai politik apartheid dalam laporan pertamanya kepada Majelis Umum PBB. 

“Ini adalah apartheid dengan cara yang jauh lebih serius daripada yang dipahami di Afrika Selatan,” katanya kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, Daniel A. Fajri, dan Iwan Kurniawan, dalam wawancara online pada Rabu, 8 Maret 2023 lalu.

Francesca Albanese adalah ahli hukum internasional lulusan School of Oriental and African Studies, Inggris, dan telah menulis sejumlah buku mengenai Palestina. Perempuan Italia yang lahir pada 1977 ini sangat paham situasi di Tepi Barat, Yerusalem, dan Jalur Gaza karena pernah bekerja cukup lama di Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Namun ia tak mendapat izin masuk dari Israel setelah mendapat mandat sebagai pelapor khusus.

Bagaimana situasi kekerasan di Palestina belakangan ini?

Terjadi peningkatan serangan oleh pemukim ilegal Israel di wilayah Palestina dan peningkatan pengetatan kontrol oleh tentara Israel. Ada juga peningkatan jumlah serangan oleh individu Palestina terhadap tentara Israel dan pemukim Israel.

Berapa jumlah korban dalam kekerasan terakhir ini?

Tahun lalu, 190-250 warga Palestina tewas. Jumlah orang Israel yang terbunuh 30. Ada lebih dari 1.000 bangunan sipil yang dihancurkan. Ada 500 penangkapan setiap bulan di Tepi Barat dan Yerusalem saja. Sebanyak 5.000 tahanan Palestina di penjara Israel, yang 90 persen penahanannya bertentangan dengan Konvensi Jenewa. Anak-anak bahkan ditahan di sel isolasi. Ada 700 anak di penjara saat itu dan lebih dari 900 warga palestina dipenjara tanpa pengadilan.

Apa tantangan terbesar sebagai pelapor khusus?

Bagian tersulit dari mandat saya adalah bagaimana bisa menindaklanjuti setiap pelanggaran yang terjadi karena masif. Setiap hari ada dua anak yang ditangkap, diadili di mahkamah militer, bahkan disekap di sel isolasi. Ada jutaan orang yang terperangkap di Gaza. Orang-orang mengatakan ini adalah “tanah penjara”. Mereka tidak bisa masuk dan tidak bisa keluar. Kedua, saya tidak diperbolehkan masuk (ke Palestina). Ketiga, yang ini sangat besar tapi bukan masalah di Indonesia, yakni soal manipulasi informasi mengenai Palestina. Di dunia Barat sangat sulit menemukan laporan jujur tentang apa yang terjadi di wilayah pendudukan Israel.

Bagaimana Anda mengumpulkan informasi kalau begitu?

Saya tinggal selama bertahun-tahun di wilayah pendudukan Israel di Palestina. Saya dulu bekerja di UNRWA. Saya mengenal Tepi Barat dan Yerusalem dengan cukup baik. Yang saya lakukan adalah melakukan ratusan diskusi, pertemuan, wawancara, dan bahkan tur virtual dengan sukarelawan yang membawa saya berkeliling, misalnya, di Hebron Barat, untuk mewawancarai keluarga (korban).

Mengapa Israel tak memberi izin masuk?

Dua alasan. Salah satunya adalah mereka tidak mau bekerja sama dengan mandat ini dan mereka menjadi lebih peka terhadap pengawasan terhadap situasi hak asasi manusia di sana dalam beberapa dekade terakhir. Ini juga sebagai unjuk kekuatan.

PBB tampak tidak berdaya dalam kasus Israel. 

Majelis Umum PBB dan Dewan Hak Asasi Manusia PBB, yang mewakili semua negara di dunia, lebih aktif dan terlibat dalam upaya menegakkan ketertiban. Ada dua masalah. Satu, Dewan Keamanan dilumpuhkan oleh veto Amerika Serikat. Kebijakan Amerika selalu melawan setiap kritik terhadap Israel. Tapi saya juga menilai kurangnya kemauan negara-negara Barat untuk terlibat secara serius dan bertanggung jawab terhadap Israel. Saya pikir ini juga sedikit warisan dari sikap kolonial.

Indonesia dan Malaysia selalu menjadi yang paling sadar dan paling berprinsip dalam mempertanyakan masalah Palestina. Saya pikir penting sekarang untuk menyerukan pengawasan ketat terhadap tindakan Israel, diikuti dengan penerapan langkah-langkah yang direkomendasikan PBB, yaitu langkah ekonomi dan politik untuk menanggapi pelanggaran ilegal itu. Israel harus ditekan untuk mematuhi hukum internasional. Jika tidak patuh, harus ada konsekuensinya.

Mengapa Anda menyebut tindakan Israel sebagai politik apartheid?

Ada ratusan halaman bukti dan penelitian kuat yang dihasilkan oleh Palestina, Israel, dan organisasi internasional terkemuka seperti Human Rights Watch dan Amnesty International. Pendahulu saya, Profesor Michael Lynk, sebelum mengakhiri masa jabatannya sebagai pelapor khusus, menyimpulkan bahwa situasi di wilayah pendudukan Palestina merupakan kejahatan apartheid.

Apartheid terjadi ketika satu kelompok memberlakukan segregasi atau sistem diskriminasi secara sistematis yang melanggar hukum internasional secara meluas dengan maksud untuk mendominasi kelompok tersebut. Ada dua sistem hukum di sana. Mereka yang di Tepi Barat dan Gaza dan bahkan di Yerusalem Timur di bawah hukum internasional. Mereka adalah orang-orang yang di bawah pendudukan. Tapi, di Gaza, mereka dianggap sebagai kombatan yang melanggar hukum.

Di sisi lain, ada 750 ribu Yahudi Israel yang bermukim di wilayah pendudukan Israel di Palestina—yang lagi-lagi merupakan kejahatan perang di bawah Statuta Roma—berada di bawah hukum sipil Israel. Jadi, ada undang-undang yang juga diikuti dengan kebijakan itu diskriminatif. Bahkan, untuk jalan raya, akses ke air, akses ke layanan, ada dua sistem terpisah untuk pemukim Yahudi dan Palestina. Ini fakta yang sangat gamblang.

Bagaimana dukungan dunia Islam seperti Organisasi Kerja Sama Islam terhadap Palestina?

Saya selalu mendorong negara anggota PBB, terutama negara Selatan, untuk membantu orang-orang di bawah pendudukan. Orang-orang Palestina di daerah pendudukan itu berada dalam situasi penjajahan. Sangat penting untuk menunjukkan solidaritas, tapi secara konkret, bukan hanya dalam kata-kata.

Indonesia mendukung Palestina.

Indonesia dan Malaysia mendukung Palestina dan ini juga terlihat dalam pemungutan suara di Majelis Umum PBB, misalnya, tapi (dukungan itu) harus lebih kuat. Setiap kali saya punya kesempatan berbicara dengan otoritas atau diplomat Indonesia, saya menegaskan bahwa ASEAN harus menjadi mekanisme subregional, menjadi sekuat dan berprinsip seperti Indonesia dan Malaysia. Penting bagi pemerintah Indonesia untuk berbicara, Presiden Indonesia berbicara, dan mengecam apa yang terjadi (di Palestina). Saya tidak tahu apakah terjadi (kecaman) itu, tapi itu tidak benar-benar terdengar di arena internasional.

Apa yang bisa dilakukan Indonesia?

Pertama-tama, ada Mahkamah Internasional (ICJ) yang akan mempertimbangkan legalitas atau ilegalitas pendudukan Israel. Saya pikir sangat penting bagi orang Indonesia, pemerintah Indonesia, mengajukan (kasus Israel) ke Mahkamah dan menyatakan penilaian dan pandangan politiknya di sana. Kedua, sangat penting bagi Indonesia untuk bertindak vokal di tingkat internasional untuk mempromosikan penerapan hukum internasional (terhadap Israel).

Apakah ada ancaman terhadap Anda karena tugas ini?

Terus terang saya tidak menerima ancaman, tapi saya menerima banyak hinaan setiap hari. Sangat tidak menyenangkan disebut anti-Semit ratusan kali sehari, termasuk kadang-kadang oleh negara seperti Amerika. Bagi saya, sebagai orang Eropa, tuduhan anti-Semit itu sangatlah serius. Saya dituduh anti-Semit karena saya meminta Israel bertanggung atas pelanggaran terhadap hukum internasional.

(Sumber: Majalah TEMPO)
Baca juga :