Pamer Kekayaan Pejabat Warisan Kumpeni

Hidup mewah para pejabat dan korupsi yang menyertai akhirnya meruntuhkan imperium dagang itu. 

Pada 1763, Johannes Rach, seorang perwira VOC di Batavia, membuat sebuah lukisan. Ia menggambarkan persiapan pesta pelantikan Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra pada 29 September 1763, sekaligus bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-47. 

Wartawan Republika Alwi Shahab menjelaskan, pesta mewah ini dilangsungkan setelah berbagai upacara panjang dan parade besar-besaran diadakan di dekat ‘dekorasi kembang api yang menyala’ seperti terlihat dalam lukisan itu. Dalam pesta ini diterangi tidak kurang 80 lentera Cina. Pesta besar-besaran itu diadakan di dekat pusat Kota Batavia yang kini dikenal dengan Jalan Pangeran Jayakarta, yang ketika itu merupakan daerah elite dan tempat tinggal petinggi VOC.

Burung elang dengan sayap terbentang di tengah adalah simbol keluarga Van der Parra. Dia dikenal sebagai gubernur jenderal VOC yang hidup mewah. Pada masa pemerintahannya, dia mengimpor tiap tahun 5.000 budak dari mancanegara. Dia juga memiliki Istana Weltevreden, yang kini menjadi RSPAD Gatot Subroto, di Senen, Jakarta Pusat. Pada masa pemerintahannya, jumlah budak di Batavia hampir menjadi mayoritas penduduk kota. Banyak di antara budak itu menjadi ‘nyai’ (istri tanpa dinikahi) yang kemudian melahirkan peranakan Indo-Belanda.
Di tengah-tengah lukisan terlihat para wanita berpakaian gaya Prancis dan pria, yang seperti biasa didampingi para budak, dengan semangat membahas acara yang akan datang. Payung kala itu merupakan lambang kemewahan dan hanya orang tertentu yang berhak dipayungi saat keluar rumah. Di depan kiri terlihat dua pria bertombak sedang menjaga dan mengamankan tempat pesta akan berlangsung. Lampu dan kembang api akan dinyalakan pada malam tanggal 29 September 1763 di depan 600 tamu dari kalangan elite di Batavia.

Seperti juga sekarang ini, pada abad ke-18 warga Batavia akan disuguhi pertunjukan cahaya di tengah kegelapan yang belum pernah terjadi di sebuah tempat yang belum mengenal lampu listrik. Diiringi oleh kembang api yang meledak ke udara, dari panggung kayu yang terdapat di kedua sisi instalasi roket-roket diluncurkan. Sementara di tengah-tengahnya akan muncul tulisan dengan huruf-huruf menyala: “Hidup Petrus Albertus van der Parra.’’ Inilah salah satu kehidupan dan pesta pora para petinggi Belanda kala penjajahan.

Ya, pamer kekayaan memang bukan barang baru di Tanah Air. Yang juga dilakukan sejumlah pejabat Republik Indonesia dan keluarga mereka saat ini juga dilakukan para pejabat VOC yang menghisap kekayaan Nusantara.  Dan seperti kecurigaan banyak pihak saat ini, pamer kekayaan itu juga kerap berkelindan dengan korupsi.

Pamer kemewahan masa kumpeni itu dilakukan dari gubernur jenderal hingga aparat bawahannya. Merasa datang dari tempat ribuan mil jauhnya dan hidup dalam 'pembuangan' ke kota yang berat macam Batavia, sebagai kompensasinya mereka menjalani kehidupan sangat mewah. 

Tapi, karena gaji tidak mencukupi, maka korupsi dan kolusi merupakan salah satu cara yang mereka tempuh. Kala itu, untuk pergi keluar rumah saja, seorang nyonya Belanda atau pun nyai yang merupakan istri piaraan pejabat kompeni, harus diiringi lima orang budak belian. Ada yang khusus untuk memayungi, membawa tempat sirih, tempolong atawa tempat ludah, dan penggotong tandu.

Budak-budak ini didatangkan dari Kepulauan Andaman, Malabar, Malaka, dan Goa dengan biaya sangat mahal. Masyarakat elit Belanda ketika itu juga membangun vila-vila mewah di luar kota, seperti Ancol dan sekitar Molenvliet (Gajah Mada dan Hayam Wuruk) untuk tempat menghabiskan akhir pekan. Vila ini memiliki puluhan bahkan ada yang sampai ratusan kamar karena juga menjadi tempat menginap para budak. Di vila-vilanya ini, mereka juga memelihara pemain-pemain orkes sendiri untuk mengiringi pesta-pesta yang sangat mewah.

Bagi masyarakat Eropa di Batavia, kegiatan yang paling hidup saat itu ialah persaingan kekayaan. Sehubungan belum ada media sosial kala itu, kesempatan utama untuk peragaan kemewahan yang sering diperoleh dengan tidak halal adalah dengan cara mondar-mandir setiap hari di beberapa jalan terpilih. 

Atau waktu angin malam mulai berhembus dan pada hari Minggu dalam kesempatan ke gereja. Bukan hanya korupsi pelanggaran yang nyata-nyata dilakukan oleh hampir semua pejabat VOC, tapi juga monopoli semua hasil bumi di Tanah Air.

Gubernur Jenderal JP Coen, pendiri kota Batavia, setidak-tidaknya bisa dituding sebagai orang yang mencontohkan mentalitas demikian kepada para pejabat bawahannya. Sebagai orang nomor satu di VOC, Coen diduga berkolusi dengan Souw Beng Koen, perantauan dari Cina kaya raya yang diangkatnya sebagai kapiten. 

Konglomerat Tionghoa ini menguasai perniagaan, perusahaan perkapalan, konstruksi, dan perkebunan gula. Coen sering mendatangi kediamannya yang luas dan besar sambil minum teh. Mereka menggunakan bahasa Portugis yang sampai pertengahan abad ke-18 merupakan bahasa pengantar sehari-hari berbagai etnis di Batavia.

Yang dilakukan Coen itu diikuti oleh para gubernur jenderal penggantinya. Mereka hidup dalam suasana kemegahan yang sama dengan seorang raja. Tentu saja ini hanya contoh-contoh kecil dari pengumpulan kekayaan yang hampir dapat dikatakan tidak halal waktu itu. Masih banyak lagi contoh tentang korupsi yang dilakukan para petinggi VOC kala itu.

Buaya Besar runtuhkan VOC

Seperti juga sejumlah konglomerat saat ini, mereka memiliki ribuan hektar tanah dengan mempekerjakan ribuan tenaga kerja dan budak belian. Begitu bencinya masyarakat terhadap para pejabat Binnerland Bestuur, para aparat pemerintahan di zaman Belanda, sehingga singkatan BB mereka lecehkan menjadi Buaya Besar. 

Gaya hidup bermewah-mewah itu pada akhirnya membutuhkan pendanaan besar. Dari mana lagi kalau bukan dari korupsi sebab gaji para pejabat VOC tak seberapa. Bentuk mula-mula korupsi itu bisa dilacak dari pelabuhan Sunda Kelapa di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Dari tempat inilah imperium VOC memegang kendali Pelabuhan Sunda Kelapa dan mengawasi kapal-kapal yang masuk pelabuhan. Dahulu, melalui pintu gerbang ini kapal yang melewatinya harus memberi pungli.  

Pamer kekayaan dan korupsi serta kolusi tersebut jugalah yang akhirnya memicu kebangkrutan VOC. Pada 31 Mei 1799, perusahaan dagang Belanda itu dinyatakan bangkrut karena tidak sanggup membayar hutang. 

Setelah masa transisi selama 12 tahun (1811) VOC pun dibubarkan dengan meninggalkan hutang sebesar 140 juta gulden. "Padahal, kurs gulden saat itu lebih tinggi ketimbang dolar yang kala itu belum punya arti apa-apa," kata Dr Mona Lohanda, sejarawan yang juga dosen luar biasa sejarah UI.

Ketika itu perusahaan ini bukan hanya menguasai perdagangan di Nusantara tapi jauh ke mancanegara. Dengan ratusan armadanya, imperium ini telah menjelajah dan memiliki pos-pos di Afrika Selatan, Jepang, Taiwan, Srilangka. Bahkan sampai ke Selat Hormuz (Persia), Malaka, dan Filipina.

Hidup mewah para pejabat dan korupsi yang menyertai akhirnya meruntuhkan imperium dagang itu. 

(Sumber: Republika)
Baca juga :