Indonesia Pernah Punya Menteri Keuangan Miskin

Indonesia Pernah Punya Menteri Keuangan Miskin
πΌπ‘ π‘‘π‘Ÿπ‘–π‘›π‘¦π‘Ž π‘Ÿπ‘’π‘™π‘Ž π‘π‘’π‘Ÿπ‘—π‘’π‘Žπ‘™π‘Žπ‘› π‘”π‘œπ‘Ÿπ‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘› π‘˜π‘Žπ‘Ÿπ‘’π‘›π‘Ž π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘šπ‘Žπ‘’ π‘šπ‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘šπ‘π‘–π‘™ β„Žπ‘Žπ‘Ÿπ‘‘π‘Ž π‘›π‘’π‘”π‘Žπ‘Ÿπ‘Ž

Oleh: Pizaro Gozali Idrus
(Pengajar HI Universitas Al-Azhar Indonesia)

Indonesia pernah punya pejabat keuangan yang miskin. Namanya Syafruddin Prawiranegara. Jabatannya tidak kaleng-kaleng. Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, dan Gubernur Bank Indonesia pada zaman kemerdekaan. Pusat perputaran keuangan negeri berada di tangannya.

Tapi jangan disangka mesti menjabat menteri, Syafruddin hidup bergelimang harta. Ia bukanlah pejabat kaya raya. Tidak ada pemandangan mobil-mobil mewah di rumahnya. Atau gaya anak-anak perlente di kehidupannya. Sebaliknya, istri Syafruddin harus rela berjualan gorengan karena tak memiliki uang, terang Yudi Latif dalam buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan.

Ketika Siti Halimah ditanya anak-anaknya, apakah tidak malu berjualan sukun goreng padahal suaminya seorang tokoh Republik dan memiliki jabatan? Siti Halimah dengan tenang berkata ia tidak ingin hidupnya bergantung pada orang lain. Karena begitulah pesan Syafruddin.

Menurut Siti Halimah, berjualan sukun goreng untuk menopang kehidupan keluarga bukan perbuatan tercela. Sebaliknya, kita barulah malu jika mencuri harta orang lain.

“Seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu," pesan Siti Halimah.

Kisah kegetiran Syafruddin dan istri bahkan sangat tampak saat menyongsong buah hati. Ketika sang anak, Chalid Prawiranegara lahir. Keluarga Syafruddin bahkan tak mampu membeli gurita untuk bayinya. Padahal nilai gurita mungkin tak sebanding dengan deposito para pejabat saat ini.

Tapi Syafruddin bukanlah pejabat oportunis. Ia boleh miskin harta, tapi kaya jiwa. Tokoh yang terkenal dengan prinsip hidup “takut pada Allah” tidak ingin menggunakan sedikit uang negara sekadar untuk membeli kebutuhan anaknya yang baru lahir. Sang istri akhirnya menggunakan kain bekas dengan menyobek kain kasur untuk gurita bayinya.

Saat menjadi Gubernur Bank Indonesia, Syafruddin juga dikenal sebagai pejabat yang lurus. Ia sangat hati-hati mengelola keuangan negara. Bahkan saat berhubungan dengan sejawatnya sendiri.

Suatu ketika Anwar Harjono, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia, mengunjunginya dengan maksud meminta proyek yang resmi. Proyek yang diminta Anwar Harjono bukanlah proyek haram, tapi proyek halal. Tapi siapa sangka, Sjafruddin justru menolaknya. Dengan prinsip anti nepotisme yang sangat kuat, Syafruddin balik berkata: “Saya ini Gubernur Bank Sentral Indonesia, Bukan Gubernur Bank Masyumi."

Dalam buku Syafruddin Lebih Takut Kepada Allah, Ajip Rosidi menjelaskan bagaimana teguhnya prinsip sang Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia itu memegang amanah.

Syafruddin menegaskan segala aktifitas tata kelola keuangan tidak boleh dipisahkan dari ajaran Islam. Agar tidak terjadi kesenjangan sosial ekonomi di tengah masyarakat.

“Salah satu sebab dari adanya kekacauan sosial dan perbedaan yang besar antara yang kaya dan yang miskin adalah bahwa agama itu mau dipisahkan dari ekonomi,” ujar dia.

Bahkan saat menjadi Menteri Keuangan, Syafruddin menyampaikan pesan kepada publik untuk peduli kepada sesamanya. Berjiwa tolong-menolong. Mau melihat ke kanan dan ke kiri jika ada tetangga kesulitan. Tidak memikirkan kekayaan pribadi.

“Tanyalah kepada tetangga, apakah dia tidak kekurangan sesuatu dan apabila kita mempunyai persediaan makanan buat lima hari, berikanlah kelebihan itu kepada tetangga yang kekurangan,” perintah Syafruddin.

Begitulah Syafruddin mewarisi keteladanan sebagai pejabat tinggi keuangan di Indonesia. Ia rela hidup papa asal rakyat sejahtera. Dan enggan mengambil sepeserpun uang yang bukan miliknya.

Bagi Syafruddin, seseorang tidak boleh menyelewangkan amanah yang diberikan demi kepentingan pribadi. Apalagi berlomba-lomba memperkaya diri dan mempertontonkannya kepada masyarakat yang hidup bergelimang kemiskinan.

“Dalam usaha mencari nafkah, kita harus memperhatikan dan memegang teguh norma-norma moral yang tinggi. Kaum Muslim tidak boleh mencuri dan menipu, menyalahgunakan amanah untuk memperoleh keuntungan,” tegas Syafruddin. 

(*)
Baca juga :