Jokowi ke IKN, Warga Dilarang Pasang Spanduk Keluhan Harga Ganti Rugi Lahan, Harga Udah Naik Rp 3 Juta Per Meter Tapi Cuma Diganti 300 Ribu Per Meter

[PORTAL-ISLAM.ID] SEPAKU - Warga yang lahannya terdampak Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Negara (IKN) di Sepaku, Kalimantan Timur (Kaltim) berniat memasang spanduk keluhan mereka soal nilai ganti rugi lahan yang dinilai terlalu rendah saat kunjungan Presiden Jokowi ke IKN, Kamis (23/2/2023).

Namun, niat tersebut tak bisa dilakukan karena dilarang polisi dan pihak kelurahan. 

Sebelumnya warga Desa Pemaluan sudah memasang beberapa spanduk keluhan, tapi diminta copot.

"Warga mau pasang spanduk aja enggak bisa, dilarang petugas," ungkap Ronggo Warsito, warga Desa Bumi Harapan kepada Kompas.com, Jumat (24/2/2023).

Hal tersebut diakui dua warga lain, yakni Teguh Prasetyo dan Edy. Ketiga warga ini mengaku lahan kebun dan rumahnya masuk kawasan KIPP IKN. Mereka protes harga yang diberi tim penilai terlalu rendah. Namun, binggung entah ke mana protes dilayangkan.

Tim penilai sudah melakukan pengukuran tanah dan memberi nilai ganti rugi. Nilai ganti rugi yang ditawarkan hanya berkisar Rp 115.000 sampai Rp 300.000 per meter. Sementara, harga jual tanah di Sepaku sejak ada IKN sudah melonjak hingga Rp 2 juta sampai 3 juta per meter.

Ketiganya ingin harga ganti rugi sesuai dengan harga lonjakan tanah yang ada di sekitar IKN.

Tak hanya di Desa Pemaluan, Teguh mengatakan warga memasang dua spanduk bertuliskan keluhan nilai ganti rugi yang terlalu rendah di Desa Bumi Harapan sebelum Jokowi berkunjung tiba-tiba hilang.

Dua hari setelah pemasangan spanduk itu, sudah diturunkan sebelum kunjungan Jokowi dan menginap di lokasi KIPP IKN.

"Spanduknya tiba-tiba hilang gitu, enggak tahu siapa yang copot," ungkap Teguh.

Ronggo, Teguh dan Edy bersama puluhan warga lain yang menolak harga ganti rugi pun ingin bertemu Jokowi menyampaikan langsung keluhan tersebut. (Kompas)

***

*FOTO ATAS: Aksi warga pekan sebelumnya...

Warga Pasang Spanduk Tolak Ganti Rugi Lahan IKN 

Warga Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, memasang spanduk sebagai aspirasi menolak ganti rugi lahan yang masuk dalam kawasan inti Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara karena persoalan nilai.

"Kami pasang spanduk sebagai aspirasi terkait ganti rugi lahan, kami anggap nilai ganti rugi dari pemerintah terlalu murah" jelas salah satu warga Kelurahan Pemaluan Paulus Duma di Penajam, Sabtu (18/2/2023), dilansir kantor berita ANTARA.

Masyarakat menginginkan ada pertemuan langsung dengan pemerintah atau Otorita IKN, lanjut dia, menyangkut nilai ganti rugi lahan yang masuk dalam proyek pembangunan ibu kota negara Indonesia baru.

Ganti rugi lahan dengan nilai uang antara Rp150.000 sampai Rp300.000 per meter persegi dinilai rendah sangat berdampak bagi warga, karena lahan yang dimiliki sebagai sumber kehidupan masyarakat setempat.

Jika pemerintah tidak memberikan ganti rugi sesuai harga secara umum seperti di kota besar dengan nilai Rp3 juta sampai Rp5 juta per meter persegi, kata warga Kelurahan Pemaluan lainnya Bebeng Hermanto, maka warga tidak bisa membeli lahan pengganti.

"Kalau harga ganti rugi lahan terlalu murah, maka kami tidak bisa beli lahan pengganti dari uang ganti rugi itu," ucap dia.

Selain itu, warga juga keberatan apabila harus pindah ke lokasi yang jauh dari kawasan ibu kota negara Indonesia baru, karena masyarakat ingin menjadi bagian dari IKN Nusantara.

Apabila pemerintah menyiapkan lahan pengganti harus sesuai kondisi lokasi awal, menurut dia, bukan di daerah pedalaman yang belum diketahui bisa berkembang atau tidak ke depannya.

Warga yang lahannya masuk kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) ibu kota negara Indonesia baru, tambah Bebeng Hermanto, ingin dilibatkan dalam penentuan nilai ganti rugi lahan.

Warga Kelurahan Pemaluan tidak pernah menentang pemindahan dan pembangunan IKN Nusantara, tetapi masyarakat ingin ada penjelasan penentuan nilai ganti rugi lahan dan disosialisasikan secara transparan.

Pemerintah atau Otorita IKN diharapkan melibatkan dan mendengarkan harapan masyarakat, karena lahan atau tanah milik warga tersebut sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam.

(Sumber: ANTARA)

Baca juga :