Jokowi Suap Rakyat Supaya Tidak Berontak – BLT dan Bansos adalah Suap Politik

Corporate social responsibility (CSR), adalah Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah model bisnis yang mengatur diri sendiri yang membantu perusahaan bertanggung jawab secara sosial kepada dirinya sendiri, pemangku kepentingannya, dan publik.Jadi sama dengan fungsi CSR, BLT dan Bansos, adalah kata lain dari konsep “menyuap rakyat, supaya tidak berontak”

Pernah viral. Pernyataan Jokowi, saat sebagai Gubernur DKI, menyampaikan “tidak setuju dengan BLT dan Bansos”. Bahkan  kala  masih menjabat sebagai Walikota Solo, terang-terangan mengaku tidak setuju dengan program BLT. Jokowi menyatakan bantuan langsung boleh saja diberikan, namun bukan dengan cuma-cuma. Tutur berikutnya; bantuan mestinya dijadikan sebagai pemancing untuk memberdayakan ekonomi masyarakat.

Kini, Jokowi sibuk wara wiri ke berbagai daerah, memberikan bantuan lagsung dari tangannya sendiri, kepada rakyat. BLT dan Bansos, merupakan kebijakan pemerintah, sebagai pengganti subsidi BBM, yang konon, sampai pada sasaran yang tepat itu.

Mancla mencele dan ketidak ajegan cara berfikir Jokowi tersebut, menjadi perhatian dan diskursus lagi saat ini. Sontak juga menjadi sorotan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Menyentil Pemerintahan Jokowi yang saat ini memakai kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Padahal, kata AHY, dulu sempat mengkritik BLT ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menjabat. AHY mengungkapkan hal itu dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat Tahun 2022 yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, pada Kamis (15/9/22). “Dulu BLT kita dihina. ‘Apa itu BLT, hanya menghamburkan uang negara?’ Dibilang kita tidak memiliki cara lain. Padahal itu adalah cara yang bijaksana untuk membantu rakyat miskin,” ujar AHY.

Para wartawan sempat meminta Jokowi untuk menangpinya atas pernyataan tersebut.  Seperti biasa, Ia “tidak menjawab”. Tentu saja kita memaklumi itu. Pertama, karena seringkali hal tersebut dia lakukan. Kedua, boleh jadi dia kurang literasi, bagaimana bisa menjelaskan teori BLT dan atau Bansos itu.

Sebagai walfare state, istilah mensubsidi kepada BBM atau sector lainnya seperti pupuk umpamanya, tidak tepat atau boleh jadi salah kaprah. Karena hal itu adalah kewajiban negara. Jadi pedih sekali, ketika subsidi itu dicabut, dengan alasan menjadi beban negara. Ini kata lain negara membiarkan rakyatnya miskin, yang menjadi beban itu. Kalau mereka harus mati, ya matilah; begitulah konsep kasar liberalisme~kapitalisme, yang dahulu bentuknya sebagai imprealisme dan kolonialisme. Subsidi dan Bansos, adalah beban.

Neoliberalisme sempat menjadi diskursus sosial, saat dulu SBY membidik Boediono sebagai Cawapresnya. Ia dituding sebagai agen dari Neolib. Dalam wujudnya, Neolib itu, berbentuk kapitalisme, yaitu ketika negara menjadi alat kekuasaannya. Ini artinya Kapitalisme adalah kembaran dari Oligarki.

Ciri lain yang lebih kentara adalah, ketika seluruh birokrasi negara, kebijakan dan peran politik serta hukum (judicial) menjadi alat-alat oligarki. Saat ini semua penyimpangan-penyimpangan itu, dianggap absyah, karena ada dalam koridor hukum. Ini Persoalan utamanya.

Bila didalam Dunia Usaha, Capitalist, terdapat konsep CSR dan di dalam system bernegara bentuknya, yaitu BLT dan atau Bansos, dimaksudkan untuk membangun Public Goodwill. Bukan untuk mensejahterakan dari jerat atau beban hidup rakyat yang termarginalkan oleh aturan.

Corporate social responsibility (CSR), adalah Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah model bisnis yang mengatur diri sendiri yang membantu perusahaan bertanggung jawab secara sosial kepada dirinya sendiri, pemangku kepentingannya, dan publik.

Jadi sama dengan fungsi CSR, BLT dan Bansos, adalah kata lain dari konsep “menyuap rakyat, supaya tidak berontak”.[fusilat]
Baca juga :