Turki, Ottoman dan Jepang

Turki, Ottoman dan Jepang

Oleh: Saief Alemdar

Seperti ku katakan sebelumnya, salah satu negara yang sedang mengungkit-ungkit kejayaan masa lalunya sembari membangun masa kininya dan menatap masa depannya dengan penuh harapan bahwa kejayaan masa lalu akan kembali membumi adalah Turki. 

Ya, Turki yang suatu hari pernah menjadi salah satu penguasa di dunia, dengan perbatasannya di barat sampai ke pagar benteng Austria dan pengaruhnya di selatan sampai ke Nusantara, hal itu jelas dari surat-menyurat antara Sultan Aceh dengan Sultan Ottoman.

Salah satu cara bangsa Turki mengajak generasinya untuk mengenang kejayaan masa lalunya sebagai acuan untuk meniti masa depan adalah dengan membuat banyak film tentang kejayaan Ottoman. Mereka mengenalkan generasi mudanya mulai dari Panglima Perang Ertugrul (Dirilis Ertugrul) pra-berdirinya dinasti Ottoman, awla berdirinya Otooman (Kurulus Osman), masa kejayaan Ottoman (Fetih 1453) sampai dengan keberanian pasukan Ottoman di akhir umur Ottoman (Payitaht: Abdülhamid, Çanakkale 1915 dan Seddulbahir 32 Saat). 

Salah satu film yang cukup mengesankan adalah “Ertugrul 1890”. Ertugrul adalah nama kapal laut milik angkatan laut Ottoman yang dilaunching pertama kali pada tahun 1863, pada masa Sultan Abdülaziz I. 

Pada 14 July 1889 Ertugrul bersama 602 orang angkatan laut Ottoman berlayar dalam sebuah misi ke Jepang di bawah pimpinan Captain Ali Osman Bey. Rute awal dirancang dengan berbagai pelabuhan transit. Perhentian pertama direncanakan di Marmaris, dan yang berikutnya di Port Said sebelum melewati Terusan Suez. Kunjungan di Aden, Somalia setelah mampir di Jeddah. 

Mengingat angin musiman, kapal akan mampir di Pondicherry dan Calcutta di India. Setelah tinggal di Port Akabod dan Singapura, dilanjutkan perjalanan ke utara, kapal mampir di Saigon dan kemudian di beberapa dermaga di China dan akhirnya tiba di Hong Kong. Amoy dan Shanghai akan menjadi perhentian terakhir sebelum mencapai Jepang. Akhirnya, setelah singgah di Nagasaki, kapal tersebut melanjutkan perjalanan dan tiba di Yokohama. 

Kembalinya dijadwalkan pada bulan Oktober tahun yang sama.

Di Yokohama, Laksamana Muda Ali Osman Pasha dan para perwira Ottoman diterima oleh Kaisar Meiji pada tanggal 13 Juni 1890. Mereka menyampaikan Hadiah dan medali yang dikirim oleh Sultan Abdul Hamid II. Ali Osman Pasha mendapatkan kehormatan dengan disematkan The Order of the Rising Sun, Perwira angkatan laut lainnya juga diberikan medali. Pada tanggal 14 Juni 1890, Pangeran muda Yoshihito Haru menerima laksamana Ottoman. Pada hari-hari berikutnya, banyak resepsi, makan malam dan upacara berlangsung.

Setelah misi selesai, pada 15 September 1890 mereka kembali ke Istanbul. Dalam perjalanan dari Yokohama menuju Istanbul, badai besar menghancurkan kapal Ertugrul dan mereka terdampar di pantai Wakayama. Kecelakaan tersebut mengakibatkan “syahidnya” 533 tentara, termasuk Laksamana Ali Osman Pasha. Sisanya sekitar 69 orang berhasil diselamatkan oleh nelayan setempat. Peristiwa ini membuat hubungan Ottoman-Jepang semakin akrab.

69 orang tentara Ottoman yang masih hidup diselamatkan oleh nelayan setempat. Para nelayan itu hidup dalam kondisi yang sangat miskin, sumber kehidupan mereka hanyalah dari laut. Malam mereka berlayar mencari ikan untuk dimakan besok pagi, kalau sehari tidak berlayar, maka besok mereka harus berpuasa. 

Melihat kondisi pasukan Ottoman yang luka-luka, mereka terpaksa libur berlayar dan semua makanan harus diberikan kepada pasukan Ottoman yang kelaparan. Pengorbanan luar biasa diberikan oleh rakyat Jepang demi menyelamatkan pasukan Ottoman. Sampai akhirnya berita kecelakaan itu sampai ke Yokohama dan Kaisar mengirim kapal untuk menjemput para tentara Ottoman.

Itu kisah nyata dan tercatat dengan tinta emas dalam hubungan antara Ottoman dan Jepang.

Pada tahun 1980, ketika Presiden Saddam Hussein mengumumkan larangan terbang di atas langit Tehran dalam tempo 48 jam setelah pengumuman itu keluar. Semua negara mulai mengevakuasi warganya dari Iran, termasuk Turki dan Jepang. Setidaknya terdapat sekitar 250 orang warga Jepang yang berada di Tehran, baik yang bekerja di Kedutaan Jepang, perusahaan Iran maupun di universitas-universitas di Iran.

Karena waktu yang sangat mepet, pemerintah Jepang mengatakan kepada Dubes Jepang bahwa Jepang tidak akan mengirimkan pesawat untuk evakuasi, diharap rakyat Jepang untuk bersabar. Satu-satunya penerbangan yang masih ada hanya Turkish Airlines, penerbangan ini adalah penerbangan terakhir sebelum diberlakukannya larangan terbang. 

Dubes Jepang menemui Dubes Turki, meminta bantuan. Berita rahasiapun dikirim ke Ankara, saat itu presiden Turgut Özal bimbang harus memutuskan, pesawat hanya 2, hanya cukup untuk mengangkut rakyat Turki. 

Akhirnya presiden mengatakan kata-kata yang ditulis dengan tinta emas, “Kita bangsa Turki telah banyak membantu bangsa lain, kita tidak pernah menolak setiap permintaan bantuan dari siapapun. Maka saat ini, saya perintahkan untuk membantu evakuasi rakyat Jepang itu! Nereli olduklarının önemi var mı? Bu bir insanlık görevi! (Apakah penting dari mana mereka berasal? Ini adalah misi kemanusiaan!)".

Beberapa relawan pilot Turkish Ailines bersedia untuk berangkat ke Tehran tanpa adanya jaminan keamanan, mengingat kapan saja rudal Saddam Hussein dapat menjatuhkan besi apapun yang melayang di atas langit Tehran.

Seorang Diplomat Turki berdiri di depan para rakyat Turki yang sedang menunggu giliran check-in di airport dan mengatakan, “Dulu, jauh hari sebelum kita lahir, nenek moyang kita pernah terdampar di sebuah pulau dan dibantu oleh bangsa itu...”, sambil menunjuk ke arah Dubes Jepang. 

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat jasa para pahlawannya, mereka selalu mengingat kejayaan nenek moyangnya sebagai acuan untuk menghadapi masa depan. 

Ketika kita mengingat dan mengagumi kejayaan Ottoman, kita bukan mengingat nenek moyang bangsa Turki, tetapi kita mengingat sebuah bangsa yang pada suatu hari pernah menjadi kebanggaan Umat Islam...

(*)

Baca juga :