PKS Yang Selalu Menang di Kota Depok

[PORTAL-ISLAM.ID] DEPOK - Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok, Mohammad Idris-Imam Budi Hartono, tengah digoyang oleh DPRD Depok.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok bersiap mengajukan hak interpelasi kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok. 

Rencana ini menjadi tindak lanjut dari mosi tidak percaya yang diajukan 38 anggota DPRD. 

Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok, Mohammad Idris-Imam Budi Hartono dilantik pada 26 Februari 2021 setelah menang dalam Pilkada 2020.

Meski seharusnya memimpin untuk periode 2021-2026, tapi karena Pilkada Serentak 2024, Mohammad Idris-Imam Budi Hartono hanya akan memimpin Kota Depok sampai 2024 atau hanya 3 tahun.

Mohammad Idris saat ini juga menjabat Ketua Dewan Pakar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kota Depok. 

Sementara Imam Budi Hartono menjabat sebagai Ketua DPD PKS Kota Depok Jawa Barat untuk periode 2020-2025. 

PKS Yang Selalu Perkasa di Kota Depok

Pilkada Depok 2020 sudah menemukan pemenangnya usai KPU Kota Depok menggelar rapat pleno rekapitulasi perhitungan suara tingkat kota selama 6 jam di Hotel Bumi Wiyata, Selasa (15/12/2020).

Usungan PKS, Demokrat, dan PPP, Mohammad Idris-Imam Budi Hartono, ditetapkan sebagai wali kota dan wali kota Depok terpilih untuk periode 2021-2026.

Dari total 748.346 suara pada 4.015 TPS se-Kota Depok, Idris-Imam yang berstatus pasangan nomor urut 2 mengantongi 415.657 atau 55,54 persen suara.

Sementara itu, lawan mereka pasangan nomor urut 1, Pradi Supriatna-Afifah Alia, meraih 332.689 atau sekitar 44,46 persen suara.

Kemenangan di Pilkada Depok 2020 membawa PKS kini memasuki periode keempatnya sukses menempatkan usungan di kursi wali kota.

Di samping itu, kemenangan ini jadi capaian tersendiri, sebab nasib mereka di Pilkada Depok 2020 sempat diragukan lantaran Idris-Imam yang cuma berbekal 17 kursi dikeroyok oleh koalisi gemuk bermodal 33 kursi yang mendukung Pradi-Afifah.

Dimotori Gerindra dan PDI-P, dua partai raksasa yang sedang mesra di kancah nasional, partai-partai besar seperti Golkar, PAN, PKB, dan pendatang baru PSI akhirnya turut berbondong-bondong masuk dalam barisan Pradi-Afifah yang mengusung slogan "Benahi Depok" itu.

Slogan itu ingin menunjukkan sisi jengah terhadap dominasi PKS yang dianggap tak membawa kemajuan berarti bagi Depok selama 15 tahun berkuasa.

PKS yang selalu menang

Hegemoni PKS di Depok mulai tumbuh pada Pilkada 2005 ketika partai berlambang bulan sabit itu mengusung Nur Mahmudi Ismail sebagai calon wali kota.

Sebelumnya, Kota Depok yang baru mekar dari Kabupaten Bogor pada 1999 itu dipimpin Badrul Kamal, kader Golkar.

Pada Pilkada Depok 2005, baik Nur Mahmudi dan Badrul Kamal sama-sama maju dalam kontestasi.

Nur Mahmudi datang sebagai eks menteri kehutanan dan perkebunan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Ia duet dengan Yuyun Wirasaputra, eks Plt. Wali Kota Administratif Depok periode 1996-1997.

Keduanya diusung oleh PKS saja, tanpa partai lain. Nur Mahmudi-Yuyun keluar sebagai pemenang usai meraup 43,9 persen suara.

Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad yang notabene anggota DPRD Kota Depok hanya beroleh 38,9 persen suara meski diusung 2 partai, Golkar dan PKB.

Selain itu, beberapa kandidat lain yang dibeking banyak partai juga dicukur, seperti Harun Heryana-Farhan AR usungan PAN, PBB, PBR, PKBR; atau Yus Ruswandi-Soetadi Dipowongso usungan PDI-P bersama PPP dan PDS.

Resmi dilantik sebagai wali kota pada 2006, Nur Mahmudi membuka pintu bagi kejayaan PKS di Kota Belimbing yang ternyata bertahan 2 dasawarsa.

Pilkada Depok 2010, Nur Mahmudi kembali mencalonkan diri lewat usungan PKS, PAN, dan 3 partai lain.

Menggandeng kalangan nonpartai yang dikenal sebagai pemuka agama, Mohammad Idris, Nur Mahmudi menang mudah dengan raihan 61,87 persen suara.

Badrul Kamal yang diusung Golkar, Demokrat, PDI-P, PPP, PKB, PDS, dan PDP keok.

Yuyun Wirasaputra yang mencoba peruntungan kedua dengan menggandeng Pradi Supriatna juga tumbang meski dibeking 13 partai termasuk Gerindra dan Hanura di dalamnya.

Tahun 2015, Pradi dan gerbong Gerindra-nya pilih merapat ke kubu PKS di Pilkada Depok.

Selesai Nur Mahmud berkuasa 2 periode, tongkat estafet beralih ke tangan Mohammad Idris yang tetap berstatus calon independen, bukan kader PKS.

PKS yang kala itu berkongsi dengan Gerindra, Demokrat, dan PBB, lagi-lagi menang mudah setelah Idris-Pradi mengantongi 61,91 persen suara.

Penantang PKS kala itu masih PDI-P dan partai berlambang banteng itu lagi-lagi harus bertekuk lutut.

Dimas Okky Nugroho-Babai Suhaimi, jagoan PDI-P yang diusung bersama PAN, PKB, dan Nasdem, cuma mendapatkan 38,19 persen suara.

Empat tahun berkuasa di periode 2016-2021, Idris-Pradi rupanya kerap tak satu suara. Pradi dan gerbong Gerindra-nya mengaku tak banyak dilibatkan dalam penentuan kebijakan walau menjabat wakil wali kota.

Pilkada Depok 2020 yang menentukan

Retaknya hubungan di Balai Kota akhirnya membuat Pradi (Gerindra) pilih pecah kongsi dengan Idris. Ia sudah bersiap sejak setahun sebelum Pilkad.

Gerindra, PDI-P, PAN, Golkar, dan PPP bahkan sudah menyatakan dukungan untuknya sejak Desember 2019.

Dalam perjalanannya, selain PDI-P, partai-partai itu sempat safari politik dan tampak menjajaki peluang koalisi dengan PKS, namun pada akhirnya mereka kembali berlabuh ke Pradi.

Gerindra dan PDI-P sebagai penggerak utama sudah curi start jauh dari PKS yang waktu itu masih bimbang menunjuk nama kandidat.

Saat PKS belum mengapungkan nama calon, Gerindra dan PDI-P sudah sepakat mengusung Pradi Supriatna dan Afifah Alia sejak Mei.

Sementara itu, Idris yang tak punya partai baru diusulkan maju oleh PKS 2 bulan berselang, berpasangan dengan Imam Budi Hartono, kader tulen PKS.

PKB dan PSI yang sempat ada di barisan PKS, akhirnya membelot ke Pradi-Afifah setelah PKS menunjuk Idris maju lagi.

Tak heran, pertarungan Idris versus Pradi di Pilkada Depok diprediksi sengit ibarat partai El Clasico di kancah sepakbola.

Pasangan yang diusung PKS ini diprediksi tak akan menang mudah sebagaimana 2 edisi Pilkada Depok sebelumnya.

Sebab, selain sama-sama petahana, duel Idris versus Pradi dipandang sebagai adu kuat mesin partai PKS melawan kedigdayaan logistik Gerindra dan PDI-P serta pembuktian koalisi langsing versus koalisi gemuk.

"Ada peluang yang sama untuk menang. Pilkada Depok 2020 ini adalah ujian dua kekuatan besar sekaligus," ungkap analis politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno.

"Ini ujian bagi PKS apakah dia sanggup mempertahankan basis konstituennya. Namun secara kasat mata Gerindra dan PDI-P punya segala-galanya dan akan mengarahkan segala-galanya," imbuhnya.

PKS akan makin kuat pada 2024

Pilkada Depok 2020 akhirnya membuktikan bahwa mesin partai PKS tetap belum mendapat lawan sepadan, sekalipun itu koalisi gemuk yang dimotori petahana dan 2 partai dengan logistik besar.
Idris-Imam bahkan hampir menang di seluruh kecamatan, kecuali Kecamatan Limo di mana mereka harus mengakui keunggulan Pradi-Afifah.

Adi memperkirakan, kemenangan di Pilkada Depok 2020, pilkada yang paling menantang bagi PKS, niscaya akan semakin memperkokoh hegemoni partai dakwah itu di Depok, kandangnya selama ini.

Ia menganggap wajar bila Pilkada Depok 2024 kelak akan jadi ujian mahaberat buat siapa pun yang nekat menantang PKS dengan jaringan akar rumputnya yang sudah terawat selama 20 tahun.

"PKS makin sulit (ditaklukkan). Mereka makin digdaya. Susah," kata Adi ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (15/12/2020).

"Ada seloroh sebenarnya kalau di Depok, kalau sudah diusung PKS, sandal jepit pun pasti menang. Seperti di Solo dan Surabaya, kalau sudah diusung oleh PDI-P, sandal jepit berpasangan dengan pohon pun merem saja menang," ungkapnya.

Ia menyampaikan, partai yang ingin menantang PKS pada Pilkada Depok 2024 tak punya pilihan lain selain merebut basis suara PKS sejak sekarang.

Kekuatan PKS yang telah berjaya selama 15 tahun di Depok dianggap telah menyerupai tembok tebal yang tak akan mudah dirubuhkan hanya dalam 1 tahun.

"Kalau mau mengalahkan dominasi PKS di Depok ya harus bekerja dari sekarang. Jadi, bekerjanya bukan hanya 5 tahun sekali jelang pilkada saja," ujar Adi.

"Kerja partai harus gradual dan rebut basis-basis mereka. Tapi, ya memang harus kita akui, kerja-kerja politik itu hanya terjadi 5 tahun sekali jelang pilkada," tutupnya.

(Sumber: KOMPAS)
Baca juga :