Oleh: Faisal Lohy
Kiai komisaris bidang keagamaan PBNU mengatakan, Pulau Gag bukan kawasan wisata. Melainkan lokasi dengan IUP tambang resmi yg berlaku sejak 2017 lalu, setelah sebelumnya mengantongi izin eksplorasi di tahun 1998.
Karena sudah ada IUP tambang, maka boleh dieksplorasi.
Pak kiai komisaris nampaknya udah mabuk uang nikel. Sampai-sampai ngaco begini ngomongnya.
Ini bukan soal, di Pulau Gag sudah diterbitkan IUP tambang sehingga boleh dieksplorasi. Tapi soal apakah boleh pemerintah menerbitkan IUP tambang di Pulau Gag ?
Apakah menerbitkan izin konsesi di Pulau Gag adalah hal yg benar ?
Apa dasar kepantasan dan fondasi hukum yg membenarkan penerbitan IUP tambang di Pulau Gag ?
Pulau Gag, itu pulau kecil. Luasnya jauh di bawah standar minimal 200.000 hektare (2.000 Km2).
Sesuai amanat UU No. tahun 2014 yg telah diperbaharui dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Ciptaker, pulau dengan luas daratan di bawah 200.000 hektare, tidak boleh diterbitkan IUP Tambang.
Hal ini juga didukung oleh putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023 yg menegaskan bahwa penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau kecil dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi.
Dengan merujuk pada sejumlah aturan hukum tersebut, Pak kiai komisaris seharusnya paham, bersikap bijak dengan mengatakan: tidak boleh ada penerbitan IUP tambang di Pulau Gag karena termasuk pulau kecil.
Bahwa IUP di Pulau Gag harus dicabut, operasi tambang harus dihentikan karena bertentangan dengan aturan hukum yg berlaku.
Pak kiai komisaris juga pasti memahami. Luas daratan Pulau Gag hanya 6.500 hektare. Tentu saja sangat kecil. jauh di bawah standar minimal 200.000 hektare. Pulau sekecil itu, dihajar tambang dengan wilayah konsesi 6.050 hektare, ya pasti rusak.
Selain itu, keberadaan Pulau Gag dalam wilayah Raja Ampat yg diakui UNESCO memberikan nilai tambah dalam upaya konservasi dan pengembangan berkelanjutan kawasan tersebut. Jika rusak, maka akan menghilangkan daya dukungnya terhadap wilayah konservasi inti di Raja Ampat.
Pura-pura bodoh jika Pak kiai komisaris tidak memahami aturan hukum dan letak strategis Pulau Gag. Pak kiai pasti paham, tapi justru membela pemerintah. Mungkin karena udah nyaman makan uang nikel.
Inilah realita Indonesia. Bahkan pemuka agama pun kalau sudah nyaman menikmati jabatan dan uang, apapun akan dilakukan, termasuk mencari alasan, mengarang cerita agar bisa terus memanen manfaat.
Di satu sisi, kasus PT Gag Nikel memberi satu petunjuk penting bagi bangsa ini. Bahwa sesungguhnya terlihat indikasi praktik korupsi dalam penerbitan IUP tambang pulun Gag.
Bahwa pemberian izin pertambangan yg secara tegas dilarang oleh undang-undang, menunjukkan adanya indikasi praktik korupsi.
Sudah jelas ada undang-undang dan putusan MK yg melarang. Tetapi izin pertambangan tetap diterbitkan. Hal ini membuka mata kita, bahwa dibalik pengambilan kebijakan yg melanggar aturan hukum, pasti terjadi “kongkalikong” antara otoritas pemberi izin, dalam hal ini pemerintah, dengan perusahaan tambang.
Potensi tindak pidana korupsi, sangat kuat. Karena sangat tidak masuk akal jika pemerintah bersedia menerbitkan izin tambang dengan cara melanggar hukum jika tidak diberi kompensasi (suap), gratifikasi) oleh perusahaan. Mustahil pemerintah berani mengambil risiko melanggar hukum tanpa ada imbalan atau keuntungan yg diperoleh.
Boleh jadi, Kiai Komisrais Pemimpin PBNU juga termasuk dalam lingkaran dugaan korupsi tersebut. Boleh jadi dia juga ikut terlibat menikmati hasil korupsi tersebut sampai-sampai harus ngotot ngarang cerita untuk menormalkan sesuatu yg salah, membela kesalahan dan mengabaikan kebenaran.
Nikmatilah Pak kiai komisaris. Cuan nikel memang menyenangkan…
(fb)